"Kamu nggak papa?"
Rani mengibaskan tangan lelaki itu. "Lepaskan saya! Please! Saya nggak mau!"
Rani terus saja berteriak-teriak. "Tolong! Tolong! Saya mau dip*rk*sa!"
"Hei, hei, tenanglah! Saya bukan orang jahat! Saya justru mau menolong kamu!" ucap lelaki itu mencoba meyakinkan Rani.
"Bohong! Tadi kamu juga bilang begitu! Tapi kamu malah meleccehkan aku!"
"Oke, oke, tunggu sebentar," lelaki itu kemudian menjauh dari Rani dan mulai mengetik sesuatu pada ponselnya.
"Halo, polisi? Ya, saya mau melaporkan sesuatu," Rani samar-samar mendengar percakapan laki-laki itu di telepon. Dengan hati-hati, Rani menoleh ke arah si laki-laki. Ternyata laki-laki itu bukan si supir truk, melainkan seorang laki-laki muda yang berpakaian rapi.
Selesai menelpon, lelaki itu kemudian berjalan mendekati Rani dan berhenti di jarak yang aman, sekitar satu meter dari tempat Rani duduk.
"Mbak, saya sudah telepon polisi. Mereka akan segera kesini untuk menjemput kamu. Saya tahu kamu baru mengalami kejadian yang sulit. Tapi tenang saja, saya bukan orang jahat. Saya akan menemani kamu di sini sampai polisi datang,"
Rani tidak menjawab. Ia masih dalam mode waspada. Ia takut jika lelaki itu sama jahatnya dengan si supir truk.
Lelaki itu memperhatikan pakaian Rani yang sudah sobek di sana sini. Ia sadar kalau tubuh gadis itu sedang menggigil. Entah karena hawa dingin malam yang menusuk kulit atau karena kejadian yang barusan menimpanya.
Lelaki itu kemudian berbalik ke mobilnya, lalu kembali membawa sehelai selimut. Dengan hati-hati, disodorkannya selimut itu pada Rani, masih dari jarak satu meter.
"Ini, pakailah. Anginnya kencang, kamu pasti kedinginan,"
Rani memandang selimut itu dengan ragu. Tubuhnya sudah mati rasa karena menahan dingin dari tadi. Perlahan, Rani meraih selimut itu dan menggunakannya untuk menutupi tubuh.
Lagi-lagi hening. Rani tak kuasa membuka percakapan. Ia sudah kelaparan dan kehausan. Tiba-tiba saja di tengah keheningan itu perut Rani berbunyi nyaring, tanda lambungnya minta diisi.
"Kamu lapar ya? Tunggu sebentar," Lelaki itu bergegas lari ke mobilnya, kemudian kembali lagi dengan membawa sebungkus roti dan sebotol air mineral yang tinggal separuh.
"Maaf, aku cuma punya ini. Kamu makanlah. Setidaknya ini bisa mengisi perut sampai bantuan datang,"
Lelaki itu kali ini meletakkan roti dan air minum di atas aspal. Membiarkan Rani mengambilnya sendiri. Karena lapar, Rani mengambil roti itu dan langsung memakannya sampai habis. Air minum yang ada di botol itu juga langsung ia tenggak saking hausnya.
"Kasihan sekali kamu," Lelaki itu memandang Rani dengan iba. "Apa kamu tersesat? Dimana rumahmu? Dari mana kamu sendirian selarut ini?"
Rani terdiam. Trauma akan kejadian tadi membuatnya masih tidak kuasa bicara. Bahkan mengucapkan terimakasih pun rasanya berat. Tapi lelaki itu juga tak mengatakan apa-apa lagi, ia menemani Rani dalam diam.
Hampir setengah jam berlalu, iring-iringan mobil polisi datang. Dua orang polwan langsung memapah tubuh Rani, dan lelaki itu dimintai keterangan. Saat Rani hendak dimasukkan ke dalam mobil, Rani terlebih dulu menoleh ke arah si lelaki.
"Hei," panggilnya lirih, meski begitu si lelaki masih bisa mendengar. Ia sontak menatap Rani.
"Te-rimakasih," Ucap Rani dengan bibir bergetar. Setelah itu ia masuk ke dalam mobil polisi bersama para polwan.
"Rumah Anda dimana?" tanya polwan itu.
Rani terdiam sejenak. Rumah? Entahlah, Rani tak yakin apakah masih ada tempat baginya untuk pulang. Bahkan di rumahnya sendiri pun ia tak merasa pulang. Mama yang ia kira adalah seseorang yang bisa melindungi malah mengatakan hal yang kejam. Tapi Rani tak punya tempat lain yang bisa dituju.
Siapa tahu setelah mendengar ceritaku Mama akan mengerti, dan tidak memaksaku melanjutkan pernikahan ini, begitu batinnya. Pada akhirnya, Rani menyebutkan alamat rumah orangtuanya.
Sampai di rumah, Rani tercekat. Juna sudah menyambutnya di depan rumah bersama Mama dan Papa. Bahkan yang membuat Rani semakin heran, lelaki itu tiba-tiba menghampiri Rani dan memeluknya.
"Sayang.. Kenapa kamu memilih pulang lebih dulu meninggalkan aku? Aku sudah mencari kamu kemana-mana, tapi tidak ketemu. Sebenarnya kemana saja kamu?"
Rani tidak mengerti. Apa-apaan lelaki ini? Kenapa dia tiba-tiba berubah sikapnya seperti ini?
"Selamat malam Pak," Polisi yang mengantarkan Rani menghampiri Juna. "Apa anda suami dari Nona ini?"
Juna menganggukkan kepalanya. "Benar Pak,"
"Saya tadi mendapatkan laporan dari seseorang yang menemukan istri Anda berjalan sendirian di pinggir jalan. Saya ingin meminta izin untuk meminta keterangan istri Anda tentang apa yang terjadi. Apakah boleh?" tanya Pak Polisi.
"Boleh, tentu saja boleh," Juna menganggukkan kepalanya. "Saya juga ingin tahu apa yang terjadi pada istri saya sampai bisa seperti ini. Ayo sayang, kita masuk dulu," Juna mengeratkan pegangannya pada pundak Rani, sangat kuat sampai terasa sakit.
"Jangan sampai bicara macam-macam," bisik Juna mengancam. "Kalau kamu tidak mau pelluruku melubangi kepalamu,"
Rani terhenyak. Jadi inilah rencana Juna. Ia berpura-pura di depan banyak orang seolah menyayangi Rani, padahal ia hanya mau mengancamnya dan memastikan kedoknya tidak terbongkar.
Sungguh, Rani tidak tahu mana yang lebih baik. Menghadapi supir truk messum yang hampir memp*rk*sanya atau menghadapi suaminya yang kejam dan manipulatif. Rani merasa kalau di dunia ini tidak ada satu orangpun yang berpihak padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
sadis Juna, ambil pestolnya ksh polwan, biar buka kedoknya
2024-12-27
0
Eti Alifa
semoga pria yg dipanggil hei itu jodoh rani sesungguhnya 😊
2024-10-09
0
Novie Achadini
horor ih
2024-07-29
0