Rani menceritakan semua kejadian yang ia alami malam itu, terutama soal supir bus yang hendak memp*rk*sanya. Rani menceritakan ciri-ciri sang supir bus termasuk plat mobil yang dikendarainya.
"Lalu, apa sebenarnya alasan Anda berada di sana sendirian malam-malam?" tanya pak polisi. Rani melirik Juna yang duduk di sampingnya. Kalau orang-orang melihat, pasti mengira lelaki itu sedang memeluk Rani dengan mesra. Padahal faktanya Juna sedang mencengkeram pinggang gadis itu sebagai bentuk ancaman.
"Iya sayang, kenapa kamu bisa ada di sana?" Juna menatap Rani seolah ia khawatir, padahal sebenarnya cengkeramannya semakin erat di pinggang Rani.
"Anu, saya..tersesat," jawab Rani berbohong.
"Tersesat?" pak polisi mengerutkan kening.
Juna menghela napas panjang. "Ceritanya panjang Pak. Beberapa hari sebelumnya kami sempat bertengkar, lalu istri saya bilang mau pergi duluan. Saya sudah melarang, tapi dia bersikeras. Saya bilang tunggu, saya mau ambil mobil sebentar. Tapi saat saya kembali, dia sudah tidak ada di sana. Dan saat saya menyusulnya ke sini, ternyata dia belum datang. Saya khawatir sekali Pak,"
Rani tertawa terbahak-bahak di dalam hatinya. Wah, lelaki ini sungguh hebat. Dia sangat pandai bersandiwara. Rani yakin Juna akan mendapatkan piala Oscar bila terjun ke dunia akting.
"Lalu saat kembali, keadaannya malah seperti ini," Juna mengusap air matanya yang entah keluar atau tidak. "Maafkan aku sayang. Aku gagal melindungi kamu,"
Juna memeluk erat Rani. Sesuai dugaan Rani, air matanya palsu. Rani bahkan bisa merasakan tawa lelaki itu di balik punggungnya.
***
"Kalau begitu, terimakasih atas waktunya Pak," Pak Polisi menjabat tangan Juna saat berpamitan. "Kami permisi,"
"Saya yang lebih berterimakasih karena Bapak sudah menemukan istri saya," Juna tersenyum.
"Berterimakasihlah pada orang yang menemukan Bu Rani terlebih dulu Pak. Dia yang menghubungi kami untuk menjemput Bu Rani,"
"Kalau begitu, saya mohon bapak sampaikan salam saya," ujar Juna.
Rani memperhatikan mereka dari jendela kamarnya di lantai dua. Juna benar-benar licik seperti ular. Rani tidak bisa melawannya sama sekali.
Pintu kamar Rani terbuka. Mama masuk dan langsung mengunci pintu dari dalam. Rani sangat menyesal tidak mengunci pintunya terlebih dulu.
"Ada apa Ma?" Tanya Rani masih dengan suara lemas. Ia mendudukkan pantatnya di atas kasur.
"Kamu apa-apaan sih?" Tanpa basa-basi, Mama langsung memarahi Rani.
Rani menghela napas panjang. "Apa lagi sih Ma?"
"Rani, kamu itu jangan kekanak-kanakan ya. Ingat, sekarang itu kamu membawa nama baik keluarga Handoko. Jangan sampai perbuatanmu menghancurkan keluarga kita!"
"Ma, aku mengatakan yang sebenarnya pun, pasti Mama tidak percaya,"
"Memangnya apa yang sebenarnya terjadi? Sudah jelas buktinya kamu pergi meninggalkan Juna duluan. Juna datang kesini sambil nangis-nangis, dia bilang kamu hilang. Dia bahkan menelepon polisi untuk menemukan kamu!"
"Ma, cobalah percaya sama aku sedikit saja. Memang masuk akal, jika aku yang pergi duluan, tapi Kak Juna yang malah datang ke sini lebih dulu? Yang ada Kak Juna lah yang meninggalkan aku!"
"Tidak mungkin. Juna tidak mungkin meninggalkan kamu. Itu pasti karena kamu keluyuran dulu sama pacar kamu," tuduh Mama. "Pokoknya Mama nggak mau tahu ya Rani. Kamu harus segera memutuskan pacar kamu itu. Coba contoh kakakmu Ratih! Selama ini dia sudah menjadi istri yang baik! Jangan sampai kamu membuat keluarga Wijaya kecewa!"
"Ma," Rani hampir menangis karena Mamanya sama sekali tak percaya. "Tidak bisakah Mama tanya kabarku dulu? Aku baru mengalami hari yang buruk! Aku hampir dip*rk*sa! Ketimbang Mama memarahi aku, tanya dulu apa aku baik-baik saja!"
"Halah, itu pasti cuma karangan kamu saja. Kamu mengarang cerita seperti itu supaya tidak dimarahi kan? Mama itu sudah tau sifat kamu dari kecil! Sudahlah, hentikan drama kamu ini! Awas kalau sampai kejadian begini lagi!"
Setelah mengancam sang putri, Mama pergi begitu saja meninggalkan Rani. Membanting pintu kuat-kuat. Rani sampai khawatir daun pintu yang malang itu akan rusak lagi.
Rani mengacak-acak rambutnya. Ia merasa frustasi. Tidak ada seorangpun yang percaya padanya, bahkan kemalangan yang menimpanya dianggap karangan saja. Astaga, Rani menundukkan kepala. Haruskah dia matti saja ketimbang hidup seperti ini?
Pintu diketuk. Rani mengangkat kepalanya. Papa membuka pintu kamar perlahan-lahan. Melihat kemunculan Papa, air mata Rani merebak.
"Kamu pasti lapar," Papa memberikan Rani sepiring nasi dan lauk. "Makan dulu yuk?"
Rani mengusap air matanya. Mau setua apapun umurnya, Rani tetap putri kecil ayahnya. "Pa, Rani tidak berbohong Pa. Rani benar-benar hampir dip*rk*sa! Rani juga tidak pergi dengan pacar Rani! Rani.."
"Iya, iya, Papa sudah dengar pembicaraanmu sama Mama. Papa percaya sama kamu," Papa menganggukkan kepalanya sembari mengusap lembut rambut Rani. "Kamu pasti sudah mengalami hari yang berat ya Nak..Kamu baik-baik saja?"
Pertanyaan itu adalah satu-satunya pertanyaan yang ingin Rani dengar sekarang. Rani memeluk papanya erat-erat. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan sang Papa.
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja Rani.. Percayalah,"
...----------------...
Malamnya, Juna masuk ke kamar Rani. Mama mertuanya memaksa agar ia menginap disini. Juna sebenarnya ogah-ogahan, mana mungkin dia sekamar dengan wanita yang ia benci. Tapi tidak ada pilihan lain jika tidak ingin membuat mereka curiga.
Rani sudah tidur duluan di atas ranjangnya. Wajahnya kelihatan lelah, keningnya berkerut kusut. Sepertinya wanita itu sedang bermimpi buruk. Perlahan, Juna menempelkan jari telunjuk dan tengahnya di kening Rani, bersama ibu jari membentuk pisstol.
"Dor," ujar Juna menirukan suara temmbakan.
Mata Rani perlahan terbuka. Ia langsung mematung saat menyadari Juna berdiri di depannya sambil menyeringai lebar. Jari-jari Juna yang menempel pada dahi Rani menyalurkan hawa dingin yang langsung menguasai tubuh Rani.
"Perjalanan hari ini seru kan?" tanya Juna sambil tersenyum mengerikan. "Kamu tahu? Semua ini hanya permulaan Rani, aku memastikan kamu akan mendapatkan yang lebih buruk. Tunggu saja,"
Air mata Rani menetes membasahi kurung bantalnya. Tapi badannya tak bergerak sama sekali. Keberadaan Juna membuatnya terintimidasi.
"Salahku apa Kak?" Rintih Rani. "Kenapa kamu sangat kejam padaku?"
"Kamu jauh lebih kejam Rani!" Hardik Juna. "Kamu sudah membunuh kakakmu sendiri! Jadi kamu harus menerima karmanya!"
"Tapi aku tidak melakukannya," tangis Rani. "Aku bahkan tidak ingat apapun,"
"Bagaimana kamu yakin kamu bukan pelakunya, jika kamu saja tidak ingat apapun?" Juna tersenyum miring. "Tunggu saja Rani, cepat atau lambat aku yang akan membongkar semua kebusukanmu,"
Setelah berkata begitu, Juna keluar dari kamar Rani. Dibandingkan tidur bersama Rani di ranjang yang hangat, ia jauh lebih baik tidur di dalam mobil.
Rani lagi-lagi hanya mampu menangis tersedu-sedu. Ia tak tahu bagaimana menghadapi hari esok.
"Bisakah aku bertahan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Hafifah Hafifah
katanya orang kaya cari bukti tentang kematian istrinya aja g bisa
2024-12-23
1
Dewa Rana
apa Rani bukan anak kandung
2025-01-11
0
moenay
😭😭😭😭😭😭😭😭
2024-12-06
0