Ruby ditangani dengan cepat. Untunglah mereka datang ke rumah sakit tepat waktu, sehingga nyawa gadis kecil itu bisa diselamatkan.
"Tadi itu benar-benar hampir sekali," Ujar dokter yang merawat Ruby. "Kalau terlambat sedikit saja, bisa fatal akibatnya,"
Juna mengusap wajahnya dengan perasaan lega. Selama perjalanan ke rumah sakit, ia merasa ruhnya sudah melayang karena rasa panik yang luar biasa. Sekarang ia baru bisa bernapas dengan tenang.
"Syukurlah.." Lily menangis tersedu-sedu di pelukan suaminya. Ia kira ia akan kehilangan cucunya hari ini. Bani yang biasanya berwajah dingin pun saat ini terlihat lega sekali.
Lalu bagaimana dengan Rani? Rani juga ada di sana. Diam-diam mengintip dari jendela kamar. Ia berangkat ke rumah sakit naik taksi, karena Juna sudah lebih dulu menancap gas sebelum Rani naik. Tapi tak apa, ia merasa bersyukur Ruby bisa selamat.
Selang infus dan oksigen yang menempel pada tubuh Ruby membuat dada Rani sesak. Ia merasa bersalah karena seorang anak kecil yang baru berumur tiga tahun harus mengalami hal seperti itu gara-gara kelalaiannya.
Tak berselang lama, Mama dan Papa datang. Mereka langsung masuk ke kamar Ruby untuk melihat keadaan cucu perempuan mereka. Mama bertanya apa yang terjadi dan Lily menceritakan rangkaian peristiwa dengan lengkap.
Mendengar cerita sang besan, wajah Mama langsung berubah merah padam. Ia lalu keluar dari kamar itu dan menghampiri Rani yang berdiri di luar ruangan.
PLAK!
Satu tamparan mendarat di pipi kanan Rani.
"Dasar anak tak tahu diuntung!"
Rani memandang ibu kandungnya yang menatapnya dengan penuh amarah.
"Ma, dengarkan Rani dulu.."
"Apalagi yang harus di dengar? Mama sudah dengar semuanya dari mertuamu! Kenapa kamu selalu saja membuat ulah, Rani? Tidak bisakah kamu hidup dengan tenang seperti kakakmu dulu?"
"Aku benar-benar tidak tahu Ma," Rani berusaha menjelaskan. "Aku tidak tahu kalau Ruby alergi sama telur,"
"Tidak usah banyak alasan," Mama mencengkram kedua bahu Rani. "Mama tidak peduli apakah kamu sengaja atau tidak. Yang Mama tahu, kamu hampir mencelakai satu-satunya keturunan Handoko yang menjadi pewaris keluarga Wijaya,"
Mama mendekatkan wajahnya pada Rani dan berkata tepat di depan matanya:
"Bersikaplah yang benar, agar Mama tidak menyesal telah melahirkan kamu!"
...----------------...
Rani duduk menyendiri di bangku panjang taman rumah sakit. Ia menghembuskan napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ucapan sang ibunda kembali terngiang-ngiang di kepalanya.
"Bersikaplah yang benar, agar Mama tidak menyesal telah melahirkan kamu!"
Rani menahan diri agar air matanya tidak kembali jatuh. Semakin dipikir lagi, ucapan Mama semakin terdengar kejam. Apakah Rani memang tidak seberguna itu sampai Mama menyesal telah melahirkannya?
Rani tahu ia salah. Tapi haruskah ia ditampar di depan banyak orang dan dikata-katai oleh ibu kandungnya sendiri?
"Kak Ratih.." nama itu disebut Rani dalam setiap helaan napasnya. "Kenapa semuanya jadi begini.."
Rani menundukkan kepalanya. Rasa bersalah karena telah mencelakai putri dari kakak kandungnya itu kembali menghampiri.
"Maafkan aku Kak Ratih, aku memang bodoh.." Rani memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Rani," sebuah tangan terulur, menahan tangan Rani agar tidak memukul kepalanya lagi. Rani mendongakkan kepala. Tampak Papa berdiri di depannya dengan wajah cemas.
"Papa!" Rani langsung menghambur ke pelukan lelaki itu. Tangisan yang telah ia tahan-tahan dari tadi pecah begitu saja. Dengan lembut, Papa mengusap-usap punggung putri bungsunya.
"Pa! Aku benar-benar tidak tahu kalau Ruby alergi telur! Aku sama sekali tidak berniat mencelakai Ruby!" jelas Rani dalam tangisnya.
"Iya.." Papa menjawab lembut.
"Aku mencoba menjelaskan semuanya, tapi tidak ada yang peduli padaku! Aku benar-benar menyesal Pa! Sungguh! Aku menyesal telah membuat Ruby sakit!"
"Iya Nak.. Papa mengerti.. Papa percaya padamu.."
Sampai beberapa lama, Rani terus menangis di dalam pelukan sang papa seperti seorang anak kecil. Papa dengan sabar menenangkan Rani hingga tangisnya mereda.
"Aku sudah tidak tahan dengan pernikahan ini Pa,"
Ucapan Rani membuat Papa terkejut bukan main Ia tak menyangka putrinya akan bicara seperti itu di usia pernikahannya yang baru memasuki minggu kedua.
"Tidak ada yang berpihak padaku Pa. Semuanya membandingkan aku dengan Kak Ratih. Aku tahu, aku memang tidak sesempurna Kakak. Tapi bisakah mereka menghargai aku sedikit?" Rani mencurahkan segala isi hatinya. "Aku ingin cerai Pa, aku mau pergi yang jauh, agar tidak perlu bertemu mereka lagi."
Papa menghela napas panjang. Ia tak menyangka keadaan rumah tangga putrinya akan sehancur ini. Papa pikir, Rani akan hidup tenteram seperti Ratih, karena mereka menikah dengan laki-laki yang sama. Tapi ternyata justru kebalikannya.
"Kalau memang kamu mau cerai, Papa akan dukung semua keputusan kamu," ujar Papa setelah berpikir lama. "Papa tidak mau mengorbankan kehidupan putri Papa hanya demi perusahaan,"
Mendengar perkataan sang Papa membuat Rani terdiam seketika. Ia memandang wajah papanya lekat-lekat, terlihat keseriusan di wajah lelaki itu.
"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu?"
Rani tidak bisa menjawab. Sebenarnya, kalau disuruh jujur dari hati yang paling dalam, Rani benar-benar mengharapkan perceraian. Ia tak tahan lagi dengan sikap Juna yang kerap menyiksanya secara fisik maupun verbal. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, bukankah orang yang akan dirugikan adalah ayahnya?
Sama halnya dengan pernikahan Ratih, pernikahan Rani juga bertujuan untuk mempererat kerjasama antara keluarga Handoko dengan keluarga Wijaya. Perusahaan keluarga Handoko yang hampir bangkrut dapat bangkit kembali berkat bantuan keluarga Wijaya. Jika sekarang Rani dan Juna bercerai, maka sudah dipastikan sokongan dana dari keluarga Wijaya akan terputus, dan perusahaan keluarga Handoko benar-benar hancur.
Rani berpikir keras. Ia tak bisa hanya memikirkan dirinya sendiri. Jika ia bercerai, ia memang bisa meraih kebebasan dan pergi sejauh mungkin dari jangkauan Juna. Tapi tidak begitu dengan keluarganya. Juna tidak akan membiarkan Rani pergi begitu saja, ia bisa memanfaatkan keluarganya untuk mengancam Rani.
Rani kembali menatap wajah Papa yang terlihat semakin keriput. Rani baru sadar jika rambut Papa sudah sepenuhnya memutih. Wajah Papa kelihatan jauh lebih tua dari umurnya karena stres memikirkan banyak hal. Rani tidak bisa menambah beban pikiran papanya.
"Rani tidak akan bercerai Pa," ucap Rani dengan suara lirih. "Papa jangan khawatir. Rani pasti bisa menghadapi semuanya sendiri,"
"Kamu serius?" tanya Papa dengan kening berkerut. "Tidak apa-apa Rani. Katakan saja kalau sudah tidak sanggup. Papa akan membantumu bagaimanapun caranya!"
"Tidak Pa," geleng Rani. "Kalau Kak Ratih bisa, Rani pasti juga bisa. Ini semua terjadi karena Rani belum terbiasa dengan kehidupan baru Rani. Rani memang terlalu manja. Maafkan Rani Pa,"
"Tidak, tidak, jangan minta maaf. Papa lah yang harus minta maaf. Gara-gara Papa, kamu jadi terlibat dengan semua ini,"
Papa memeluk kembali putri bungsunya itu, mengecup puncak kepalanya perlahan. "Maafkan Papa yang tidak becus menjadi Ayah ya Nak,"
"Tidak Pa, Papa adalah ayah yang paling hebat. Rani bangga punya Papa dalam hidup Rani,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
ibu kandung rasa ibu tiri, senang di atas penderitaan anak. nyesel kamu, mana tau Ratih juga ngebatin biar ortu senang. kel piskopat, 😖
2024-12-27
0
Ita rahmawati
mungkin rani anak papanya sm wanita lain makanya emaknya jehong
2025-03-28
0
Eti Alifa
ibunya rani ibu kandung bukan sihh masa ibu kandung kok bengis😬
2024-10-09
0