"Menikah?" Rani mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mencerna apa yang ia dengar barusan. Sekarang Rani telah duduk di atas sofa, diapit oleh kedua orangtuanya dan berhadapan dengan Juna yang duduk bersama orangtuanya juga. "Aku nggak salah denger kan Kak?"
Panggilan 'kak' yang diucapkan oleh Rani ditujukan kepada lelaki muda yang sekarang sedang memandangnya dengan tatapan tajam. Juna menghela napas panjang sejenak sebelum kemudian mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan adik iparnya itu.
"Kamu nggak salah dengar Rani. Kami memang datang ke sini dengan niat untuk melamar kamu,"
Jawaban Juna serta merta membuat kedua mata Rani terbelalak. "Kak! Jangan bercanda! Kuburan Kak Ratih bahkan belum kering! Kenapa Kak Juna sudah mau menikah? Itu pun dengan aku, adik kandung Kak Ratih sendiri?"
"Rani," Tante Lili, Ibunda dari Juna lantas meraih tangan Rani dengan lembut. "Kami tidak bercanda. Tante tau hal ini pasti sangat mengagetkan buat kamu. Tapi, Juna melakukannya setelah mempertimbangkan banyak hal Nak. Salah satunya adalah karena Ruby, keponakanmu satu-satunya, yang sekarang sangat memerlukan sosok seorang ibu.."
Tante Lili menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
"..Juna sudah bicarakan hal ini sama kami, dan kami semua setuju. Satu-satunya orang yang bisa menggantikan Ratih ya hanya kamu, Rani. Kamu juga pasti nggak mau kan kalau suatu saat nanti Ruby diasuh oleh seorang ibu tiri yang tidak tahu asal usulnya, yang belum tentu menyayangi Ruby seperti halnya kamu menyayangi dia?"
Ucapan Tante Lili membuat Rani menundukkan kepalanya. Entahlah, perasaannya benar-benar campur aduk. Dia tidak bisa menyangkal kalau ucapan mertua dari kakak kandungnya itu memang benar adanya. Tapi, bagaimana dengan Kak Ratih?
"Kami tidak akan memaksa kamu menjawabnya sekarang Rani," Juna ikut menimpali. "Tapi, aku harap Ruby menjadi alasan kuat untuk kamu menerima lamaran ini."
Rani mengangkat wajahnya. Wajah Kak Juna benar-benar terlihat serius. Rani bahkan tidak bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran laki-laki itu.
"Aku mau minta waktu buat berpikir dulu," Rani berdiri dari duduknya. "Permisi Kak, Om, Tante. Saya harus masuk karena kepala saya pusing," Ucapnya sembari beranjak menuju kamarnya.
Dari jendela besar yang berada di dalam kamarnya, Rani bisa melihat mobil Juna dan keluarganya yang menjauh dari gerbang rumah. Rani terus melihat kepergian mereka sembari menghela napas panjang.
Akhir-akhir ini, semuanya terjadi seperti sebuah kejutan. Kakaknya yang meninggal dalam kecelakaan bersamanya, lalu dirinya yang bahkan tidak ingat apapun soal itu, sampai tiba-tiba kakak iparnya melamarnya. Rani jadi bertanya-tanya, kejadian apalagi yang akan terjadi berikutnya?
"Rani.." Mama tiba-tiba sudah masuk ke dalam kamar. Kali ini Mama tidak perlu mengetuk pintu karena pintu kamar Rani sudah tidak berfungsi. "Mama mau bicara."
Rani memandang mamanya dengan tatapan bingung. "Ma, apa Mama juga setuju dengan pernikahan ini?"
Mama terdiam sejenak, tapi kemudian menganggukkan kepala. "Mama dan Papa sependapat dengan keluarga Wijaya,"
Keluarga Wijaya adalah sebutan untuk keluarga Juna.
"Ma!" Rani membelalakkan mata. "Yang benar saja! Masa Rani menikah sama suaminya Kak Ratih? Lagipula aku sekarang sedang kuliah! Bagaimana dengan kuliahku?"
"Rani," Mama meraih kedua pundak Rani, mencoba membuat kontak mata intens dengan putri bungsunya itu. "Kuliah sudah tidak penting sekarang. Dan Ratih itu sudah meninggal. Sekarang, yang ada hanyalah masa depan untuk orang-orang yang masih hidup. Jangan sampai kepergian Ratih menjadi alasan untuk kita terpuruk. Rani, selama ini Mama nggak pernah minta apa-apa kan sama kamu? Sekarang, Mama minta sama kamu untuk menerima lamaran Juna. Demi Ruby, dan juga perusahaan kita."
Dahi Rani berkerut mendengar kalimat terakhir Mama. "Perusahaan kita? Jangan-jangan, Mama memaksa aku untuk menikah sama Kak Juna bukan semata-mata demi melindungi Ruby, tapi juga untuk keuntungan perusahaan keluarga kita?"
Mama melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu Rani. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, Mama menjawab. "Seperti kata pepatah Rani. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Kalau pernikahan ini bisa menguntungkan banyak pihak, lantas kenapa tidak?"
"Nggak Ma," Rani menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Aku nggak bisa melakukan itu! Aku nggak mau mengkhianati Kak Ratih!"
"Ratih sudah meninggal Rani!" Teriak Mama sambil menatap tajam Rani. "Sebenarnya, Mama sama sekali nggak mau membahas ini. Tapi, satu-satunya cara agar kamu bisa berguna di keluarga kita ya hanya ini. Kalau kamu nggak mau, maka keluarga kita hancur. Apa jadinya jika nanti Juna menikah sama wanita yang entah darimana asalnya? Kamu mau tidak mendapat sedikitpun warisan dari keluarga Wijaya?"
Mama kembali meraih kedua pundak Rani, kali ini ia mencengkramnya dengan kuat sampai Rani mengaduh. "Rani. Semua ini tidak akan terjadi kalau saja kamu yang meninggal dalam kecelakaan itu, dan bukan Ratih."
Usai mengucapkan hal yang kejam itu, Mama lantas melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan Rani yang sudah jatuh terduduk di atas lantai kamarnya.
...----------------...
Satu bulan kemudian, pernikahan Juna dan Rani digelar dengan cukup sederhana. Keluarga Juna dan keluarga Rani hanya mengundang beberapa kerabat penting. Tapi, menurut Rani, pernikahan itu tidak ada unsur sederhananya sama sekali. Tentu saja, mana ada orang penting yang tidak mengenal keluarga Wijaya? Keluarga Wijaya adalah pemilik beberapa perusahaan besar yang ada di Jakarta. Salah satunya adalah Hotel Wijaya Royale, yang beberapa tahun ini dinobatkan sebagai hotel terbaik nomor dua di Jakarta. Jadi, meskipun hanya digelar secara privat, tetap saja ada beberapa media yang datang untuk memenuhi kolom berita mereka.
Rani berdiri di depan cermin dengan wajah lesu. Selama satu bulan, tidurnya tidak nyenyak sama sekali. Untunglah, penata rias yang disewa oleh Juna sangat piawai dalam menutupi kantong matanya yang sudah melebar. Gaun putih yang ia pilih secara asal-asalan juga sudah terbalut dengan indah di badannya yang kurus.
Aku ingin kabur. Gagasan itu berkali-kali menghampiri kepala Rani, meskipun ia cukup takut untuk merealisasikannya. Apalagi saat ini ada Mama yang dengan ketat menjaganya sepanjang waktu, seolah ia tahu pikiran sang putri.
"Senyum," perintah Mama sembari merangkul Rani dengan kasar. "Jangan sampai kamu merusak kebahagiaan hari ini."
Dengan terpaksa, Rani mengangkat sudut-sudut bibirnya yang telah dipoles dengan lipstik berwarna merah. Meskipun sebenarnya di dalam hati dirinya sudah menangis hingga air matanya kering.
"Pengantin wanita dipersilahkan keluar," salah seorang anggota WO masuk ke dalam ruangan itu, memberikan informasi kepada mereka. Mama segera meraih tangan Rani, kemudian dengan segera menuntun gadis itu keluar. Rani tidak ada pilihan lain selain mengikuti mamanya.
Maafkan aku Kak Ratih, ucap Rani di dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Ita rahmawati
nah ini juga nih aneh masa emaknya bilang ini gk akan terjaadi kalo yg meninggal kamu dn bkn ratih,,kan aneh masa seorang ibu bgtu
2025-03-28
0
Katherina Ajawaila
knp ya orkai hanya mentingin kekayaan mgk liat perasaan anak nya 😎
2024-12-27
0
Ega Egi
ibu tiri kh...🤔
2024-12-20
0