“Baju cek! Oke. Tas cek! Ada. Tongkat sihir cek! Yep. Rambut cek! Rapi. Wajah cek! Cakep. Waktunya berangkat mengalahkan Bos terakhir!” seruku. Aku melangkah keluar dari rumah dengan gagah, berlagak ala pahlawan yang hendak berangkat berpetualang menuju kastil raja iblis. Padahal kenyataannya, perjalananku cuman bertujuan untuk mengagetkan Mbak Can- Ehem! Mbak Resepsionis di Guild.
Aku menggunakan perlengkapan serba baru. Bukan untuk pamer tentunya. Terakhir kali pergi ke luar, aku sadar bahwa perlengkapanku sudah habis masa pakainya. Baju kekecilan, celana dengan bekas jahitan sana-sini, sepatu yang sudah luntur warnanya dan solnya lepas, serta tas berjamur akibat lama tidak dipakai. Maka dari itu, aku memutuskan untuk membeli perlengkapan baru, yang kegunaan perdananya untuk mengalahkan Bos terakhir.
Atasan kaos oversize polos, celana chino yang nyaman untuk bergerak, plus sepatu kets ringan yang melengkapi, serta tas selempang kecil dengan tambahan khusus saku untuk tongkat sihir. Meski wajahku tidak seberapa, aku yakin perubahanku setidaknya bisa menarik perhatian. Ehem!
Aku merogoh tas selempang, mengeluarkan ponsel. Saat aku menggunakan layar ponsel sebagai cermin untuk memastikan penampilanku sekali lagi, sebuah notifikasi menghentikan langkahku. Perjalanan berhargaku terhenti sesaat sebelum dimulai.
“Amex kah?” pikirku dalam batin. Tapi, ternyata dugaanku salah. Kali ini notifikasi datang dari aplikasi pengirim pesan yang berbeda dari yang biasa Amex gunakan. Luna, adik perempuanku lah yang menghubungiku lewat aplikasi chat L.
“Apakah ini kebetulan ataukah…?” gumamku saat membuka log chat dengan Luna. Perasaan aneh menggantung di hati. Log chat-ku yang bersih dari percakapan hanya menambah perasaan aneh itu.
[Untuk kakakku tersayang, datanglah ke Guild sekarang juga. Adikmu yang cantik ini menunggumu. Mari kita lihat bagaimana perkembangan sihirmu. Kalau kamu tidak datang, hmm… gimana ya… Catatan-catatan gelapmu masih berada di tanganku. Mungkin besok aku tidak sengaja untuk mengepostnya di internet.]
Yep, sudah aku putuskan saat ini juga, mari kita tunjukkan perkembanganku. Mari kita buat wajah si adik yang ngeselin ini kaget hebat. Kalau dipikir-pikir lagi, dengan adanya Luna sebagai target tambahan sihir kejutanku, perjalananku hampir mirip dengan perjalanan seorang pahlawan ke kastil Iblis. Target-targetku jauh lebih mahir dalam bidang sihir daripada aku. Keduanya juga suka mempermainkan diriku yang polos ini. Keduanya adalah Raja Ibl- No! They’re witches! Let’s call them witches! I will storm on into the witches' lair.
Tekadku membara. Latihan-latihan yang aku jalani tiap hari sebagai batu baranya. Hari ini, tak akan ada manusia di bumi ini yang bisa menghentikanku. Aku mengambil langkah besar. Sorot mataku lurus kedepan. Setiap langkah kakiku aku hentakkan dengan kuat. Dengan target tambahan, mau tidak mau aku harus berhasil. Tidak masalah. Aku adalah pro-gamer. Tantangan seperti ini tidak seberapa. Bring it on! Game on!
...___...
[So, lu hari ini jadi pergi ke Guild? Untuk mengagetkan Mbak Katrin dan adikmu Luna–yang jauh lebih mahir dalam bidang sihir–dengan perkembanganmu?]
Di bus, Amex, bertanya kabarku. Perjalanan setengah jam membuat semangatku yang membara-bara tadi menghilang sebagian. Aku kembali tenang duduk di kursi bus. Pagi ini, Bus penuh dengan penumpang. Aku beruntung masih kebagian tempat duduk. Terhimpit diantara sepasang Ibu dan bayinya duduk di samping kiriku dan seorang kakek tua di kanan.
[Yep.]
[Hmm… Gimana ya bilangnya? Are you stupid, Zen?]
[Hey! What do you mean by that?]
[Well, begini Zen, niatmu untuk belajar sihir cuman untuk pamer saja, yang bakal kamu dapat nanti ya cuman kesenangan pamernya doang.]
Aku hendak mengetik protes bahwa niatku sebenarnya bukan seperti itu, tapi Mex duluan memotong.
[Terlebih lagi,]
[Meski Mbak Katrin tidak masuk dalam list ranking, aku pernah dengar kalau dia dulu termasuk individu genius dalam bidang sihir. Dan dia sudah mengenal sihir bahkan sebelum pandemi menyerang.]
[...]
Aku tak bisa mengetik jawaban. Informasi itu tidak ada dalam memori internalku. Di samping itu, semangatku yang membara hampir padam karena perkataan Mex sebelumnya.
[Adik perempuanmu bener namanya Luna, Zen?]
[Ho’o, bener.]
Mex, tiba-tiba merubah topik. Bertanya mengenai adikku yang baru pertama kali aku sebut dalam percakapanku dengan Mex.
[Dan dia lebih muda darimu 2 tahun?]
[Ho’o, emang kenapa?]
Aku menggaruk kepalaku, heran. Tumben-tumben si Mex banyak pertanyaan hari ini.
[Aku pernah denger sebuah rumor.]
[Rumor?]
'Kenapa si Mex tiba-tiba membicarakan rumor? Dia bukan tipe orang yang suka mempercayai informasi tidak terpercaya seperti itu. Apa rumor ini ada hubungannya denganku?'
[Ya, sebuah rumor yang bercerita bahwa di guild cabang ibukota negara ada seorang gadis genius yang berhasil meraih top ranking tunggal nasional.]
[Oh… Dari caramu membicarakan soal ini, apakah gadis itu lu kira adalah adikku, si Luna?]
[Tidak ada yang tahu nama aslinya, yang ada hanya fakta bahwa gadis itu bahkan belum SMA dan level ether-nya yang berada jauh di level atas.]
[Tapi Mex, itu tidak cukup membuktikan bahwa gadis dalam rumor itu apa memang benar adikku.]
Chat kami berhenti sebentar. Mex sedang berpikir.
[Ada satu hal yang membuatku mencurigai Luna sebagai gadis dalam rumor itu. Sebagai top ranking, dia memiliki julukan. “Putri Bulan.” Orang-orang sering memanggilnya begitu.]
[Hmm… Memang benar nama ‘Luna’ sedikit berhubungan dengan kata ‘Bulan’. Tapi ya… tetap saja aku masih tidak bisa percaya hal itu. Lagian, benar-tidaknya rumor itu, genius-tidaknya Mbak Katrin, tetap saja rencanaku tidak berubah. Aku harus menampilkan sihir terbaikku kepada mereka berdua.]
Apa yang dikatakan Mex sebelumnya memang masuk akal. Niatku memang sedikit melenceng dari awal. Saat aku memutuskan belajar sihir untuk mengubah diri. Informasi-informasi baru mengenai Mbak Katrin dan Luna juga menggoyahkan semangatku. Tapi, bodo amat dengan itu semua! Bagaimana pun komentar mereka nanti, aku tetap harus menunjukkan secara maksimal kepada mereka berdua bahwa aku sudah berjuang keras selama dua bulan ini.
[Yaelah, Zen. Lu baca apa yang aku tulis tadi, ngak? Serius lu mau ngelanjutin rencana mengagetkan mereka berdua?]
Mex, mengingatkan lagi.
[Tenang saja, Mex. Aku punya buku panduan yang top kok. Berkat buku itu sihir yang aku bisa gunakan sekarang beragam.]
Aku membalas dengan sombong peringatan Mex.
[...]
[Hm? Kenapa kok diem aja, Mex? Apa ada sesuatu yang salah?]
[Gini Zen, apa kamu yakin nggak ada masalah dengan buku itu? Sampai sekarang aku masih merasa bahwa buku itu kurang benar.]
Dari tiga orang penyihir yang aku kenal. Hanya Mex yang aku beritahu bahwa aku menggunakan buku Devil Guide. Tapi, setiap kali aku membahas tentang buku itu, Mex selalu bereaksi seperti ini. Tidak terlalu tertarik dan berusaha untuk menjauhkanku dari buku itu seperti tadi.
[Aduh, Mex… Sudah berapa kali aku bilang nggak ada masalah dengan buku itu.]
[Tapi, perkembangan level ether-mu itu abnormal. Aku aja butuh 6 bulan untuk mencapai level segitu.]
[Dari hasil informasi yang aku cari. Tidak hanya aku yang memiliki perkembangan level ether seperti ini. Orang lain juga banyak yang sepertiku. Tenang saja kok, sampai saat ini tidak terjadi apa-apa padaku.]
[Tidak terjadi apa-apa bukan berarti kesempatan untuk terjadinya sesuatu itu nol lho, Zen!]
Mex mengingatkan untuk terakhir kalinya, yang malah aku anggap sedikit menyebalkan.
[Ah sudahlah, Mex. Capek bicarain topik ini terus. Aku baik-baik saja kok.]
[Baiklah kalau kamu berkata seperti itu. Tapi ingat, kalau terjadi sesuatu segera laporkan ke Mbak Katrin. Dia bisa membantumu.]
[Siap deh…]
Hadeh… Si Mex itu, khawatiran sekali. Aku sudah lebih dari dua bulan memakai sihir dalam buku itu dan buktinya aku oke-oke saja. Bukankah dia seharusnya ikut senang melihat perkembangan cepat kawannya? Bukankah kesempatan kami berdua untuk bertemu di kota sihir akan menjadi lebih tinggi jika perkembanganku secepat ini? Aku tak habis pikir mengapa si Mex bertingkah seperti itu.
Seperti sedang menjawab pikiran-pikiran yang ada di benakku, bayi di sebelahku menangis dengan keras. Secara reflek, aku mengarahkan pandanganku ke pasangan Ibu dan anak itu. Sang Ibu berusaha untuk menenangkan si bayi yang tiba-tiba menangis. Tetapi, bukannya malah tenang, saat aku tak sengaja bertatapan mata dengan si bayi, tangisan bayi semakin menjadi-jadi. Seluruh penumpang bus menengok keributan yang terjadi.
Belum selesai suatu kejadian, yang lain ikut terjadi. Giliran kakek tua di sebelah kananku batuk terbahak-bahak. Gadis dua kursi di seberang kananku, yang aku anggap sebagai cucunya, bersegera untuk membantu kakek tua tersebut.
Aku kebingungan salah tingkah terjepit di tengah-tengah dua keributan. Ikut menenangkan si bayi dengan membuat wajah aneh, kah? Atau membantu si kakek? Pilihan yang sulit. Yang aku tahu, jika aku sekarang menyandarkan punggung ke kursi dan menutup mata, aku bakal di pandang sebagai orang yang acuh tak acuh. Ketika aku hendak membuat wajah aneh untuk menenangkan si bayi, kondektur bus digital atau speaker informasi mengumumkan bahwa tujuanku sudah dekat.
Nice one, konduktor bus digital! Aku menerima panggilan dari sumber suara elektronik dan segera bangkit menuju pintu keluar bus. Selang berapa detik, bus sampai di tujuan. Aku melompat turun. Meninggalkan keributan di dalam bus. Ongkos busnya? Sudah kubayar semenjak tadi. Zaman sekarang penggunaan uang cetak berkurang drastis. Thanks to technology.
Tak tahunya diriku, saat aku melompat turun, keributan dalam bus seketika mereda. Bayi kembali tenang di gendongan sang Ibu dan batuk kakek tua hilang tak bersisa. Seolah-olah keributan barusan hanya sebuah angin lewat.
...___...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments