"Hei, kak."
"Hm?"
"Kakak mau gak mencoba sesuatu yang baru?" tanya adik perempuanku di suatu siang. Kami berdua sedang bersantai di ruang tengah.
Dua bulan yang lalu, November 2037, tepat dua tahun setelah pandemi muncul, keputusan yang menyatakan bahwa pandemi telah selesai resmi dikeluarkan. Dan bulan ini, Januari 2038, merupakan musim liburan sekolah. Adikku tengah mengunjungi kediamanku. Sebuah vila bekas rumah almarhum nenekku yang telah direnovasi.
"Sesuatu yang baru? Like what?" jawabku tanpa menoleh. Bukan karena aku tidak mau menatap wajah adikku–yang semakin lama semakin glowing. Namun karena kedua bola mataku terpaku ke ponsel canggih di ditanganku. Dengan posisi ponsel miring, aku mengetuk-ngetuk layar ponsel tersebut dengan lincah.
"Mencoba sihir," balasnya singkat.
Mendengar kata "Sihir" kali ini aku menoleh. Jariku yang lincah bergerak, terhenti mendengar kata ajaib itu. Kata yang akhir-akhir ini sedang viral. Semua media ramai membicarakannya. Banyak orang sudah mengklaim bahwa sihir itu benar-benar nyata tapi aku masih belum percaya jika belum melihat dengan mata kepala sendiri.
"Sihir seperti yang ada di tren jejepangan itu? Atau seperti yang ada di film-film barat?" Aku balik bertanya, memastikan. Aku menatap adikku yang sedang tiduran di sofa asyik dengan sosmed-nya.
"Ya," timpal adikku singkat. Melihat diriku melepas tatapanku dari layar ponsel, dia bangkit dari tidurnya.
"Mengeluarkan bola api, terbang di langit, berjalan di atas air, mengendalikan tanah, berlayar dengan sapu terbang, hal-hal fantasi seperti itu?" Sekali lagi aku memastikan.
"Tidak harus seperti itu juga, tapi yang seperti itu bisa dilakukan." Mendengar perumpamaan aneh yang aku sebutkan, gadis di depanku mengerutkan dahinya.
"Kamu beneran bisa melakukan sihir, Luna?" Masih tidak percaya, aku bertanya lagi.
"Jelaslah! Buat apa terus aku mengajakmu, kak?" Kesal dengan sikapku yang masih belum percaya, adikku mulai meninggikan nada suaranya.
"Aku pikir kamu terjangkit hoax," Aku melirik ponselku sedetik. Kemudian kembali menatap adikku. "Dan sekarang, kamu sedang menyebar informasinya dengan sembarangan," sindirku asal. Kedua bahu kuangkat dengan gaya mengejek.
Aku mengembalikan pandangan ke layar ponsel, menyelesaikan percakapan. Melanjutkan apa yang aku lakukan sebelum ini. Jari-jariku kembali bergelut kanan-kiri di layar ponsel.
Sayangnya, sepertinya Luna belum puas berbicara. "Heh, tidak sepertimu, kak. Yang cuma berdiam diri di rumah dan selalu menunggu. Penasaran dengan sihir, aku langsung mencari informasi apakah sihir itu asli atau sekedar omongan kosong orang-orang menganggur. Setidaknya tidak seperti kamu–"
"Oke-oke, terserah kamu dah, aku mau lanjut main dulu." Aku memotongnya sebelum dia bisa melanjutkan ceramahnya. Luna terdiam.
Ruangan kembali sunyi, suara yang terdengar tinggal suara ketukan jariku ke layar ponsel dan suara game yang sedang aku mainkan. Betul sekali, inilah yang menyita perhatianku dari tadi. Jika ada seseorang memegang ponsel genggam dengan posisi miring, ditambah dengan jari-jemari yang sibuk meliuk-liuk, apalagi kalau bukan sedang bermain game?
"Kak Zen, kamu jadi mau mencoba sihir?" Luna kembali menawarkan. Tetapi, aku tidak menjawab. Fokusku sudah terkunci di layar ponsel, detik-detik ini adalah puncak pertandingan. Sekali melakukan kesalahan, kalahlah diriku.
Tak kusangka kesalahan yang aku lakukan pertama kali tidak berada dalam permainan, tetapi di dunia nyata. Luna yang tidak terima dicuekin, dengan cepat menyambar gadget di tanganku. Aku terpana, menatap kedua tanganku yang terangkat. Tidak bisa mencerna apa yang baru terjadi.
'What?! Di tengah permainan gini, ponselku diambil? Beraninya dia!' Aku menoleh ke arah si pencuri ponsel. Emosiku memuncak.
"Heh, Luna!! Kenapa kamu ambil HP-ku?! Permainan belum selesai! Kalau kamu sambar kayak gitu, bakal auto-lose nanti!" sentakku marah.
Tidak mau kalah, Luna balas menyahut, “Salah Kak Zen sendiri tidak menjawab pertanyaanku! Padahal tinggal jawab Ya atau Ngga doang!"
"Aduh! Itu tunggu sebentar kan bisa. Lagian, kamu gak perlu mengambil HP-ku segala!"
"Halah! Yang namanya Kak Zen, kalau sudah fokus, sama sekali gak bisa diganggu! Dulu, sudah pernah aku menepuk-nepuk pundakmu karena kakak sedang memakai headphone. Tapi, apa yang terjadi? Tidak ada! Kak Zen sama sekali berkutik, sibuk dengan dunianya sendiri. Makanya, sekarang aku langsung ambil HP-nya!" jelas Luna. Dia menyebutkan kesalahan lamaku.
"Yah, mau gimana lagi. Namanya juga sudah kebiasaan!" Aku mengelak.
"Kebiasaan buruk kok dipelihara, kakak bodoh, ya?" Sayang, alasanku langsung dipotong secepat kilat oleh Luna.
Dipanggil bodoh oleh adik sendiri ingin aku rasanya lanjut membalas. Still, kalau begini terus, tidak akan selesai pertengkaran ini.
"Ah! Sudahlah, capek debat sama kamu Lun, sinikan HP-nya!"
"Eh, enak aja. Jawab dulu pertanyaanku, Kak Zen jadi mau mencoba sihir, gak? Kalau Ya akan aku siapkan peralatannya."
"Iya-iya, akan kucoba nanti, setengah jam lagi. Sekarang aku mau lanjut main dulu, tadi kamu ganggu sih, makanya harus ngulang lagi deh," kataku sambil mengulurkan tanganku, menagih gadget genggamku.
Luna mengembalikan gadgetku dengan ekspresi enggan terpampang jelas di mukanya. Seperti anak yang keberatan menyerahkan gadget kepada ibunya karena kebanyakan bermain. Nyatanya, kondisi aktualnya berkebalikan.
Tangan Luna mengambang di udara. Sebelum bisa sampai ke telapak tanganku, aku lebih dulu menyambar ponselku dengan kecepatan hampir sama saat Luna mengambilnya. Melihat itu, Luna mengeluarkan nafas pasrah.
"Haahh... Kapan kamu mau berhenti bermain game, kak?" keluhnya.
"Oh? Kamu belum tahu pepatah ini, Lun? No game, No life. Hidup ini tidak seru kalau tidak ada permainan." Aku mencomot asal salah satu judul film lawas yang aku tonton dan menjadikannya pepatah.
"Tapi, kalau kebanyakan bermain game, hidupmu bakal enggak ada gunanya. More game, No life."
Luna membalas dengan pepatah buatannya sendiri.
Aku tidak membalas. Game selanjutnya dimulai. Aku mengembalikan pandanganku ke layar. Memfokuskan diri. Sedangkan Luna, dia berdiri dari sofa dan meninggalkan ruang tengah. Mempersiapkan percobaan sihir nanti.
...___...
Setengah jam kemudian, aku beranjak ke halaman luar rumah. Angin sore berhembus menerpa wajahku seketika aku melewati pintu. Aku menyipitkan mataku. Tidak heran, sudah beberapa hari sejak terakhir kali aku keluar dari rumah. Bola mataku harus beradaptasi terlebih dahulu dengan sinar benderang matahari.
Rumah peninggalan nenek kami berada di pinggiran kota tua di suatu dataran tinggi. Seperti kebanyakan rumah-rumah zaman dulu, rumah ini memiliki area yang cukup luas. Dengan model bangunan zaman kuno dibalut renovasi terbaru di sana dan sini. Halaman depan yang luas penuh tanaman dan bunga. Serta kebun buah di pekarangan belakang. Tempat ini lebih mirip seperti villa untuk masa tua.
Di suatu sisi di halaman depan, di bawah pohon rindang, aku melihat adik perempuanku duduk di rerumputan sembari menyiapkan sesuatu. Rambut hitam panjangnya yang dikuncir berumbai diterpa angin sore. Aku berjalan menghampirinya.
"Bagaimana, Lun? Sudah selesai persiapannya?" tanyaku membuka percakapan.
Luna menoleh ke arahku sebentar lalu kembali melanjutkan mengotak-atik benda di tangannya,
"Sebentar kak. Dikit lagi nih."
"Itu benda apa, Lun?" Penasaran dengan benda asing di tangan Luna, aku melanjutkan bertanya. Benda itu berbentuk lonjong seperti sumpit, bedanya benda ini lebih tebal dan lebih panjang. Bagian bawah benda tersebut–yang lebih tebal dari bagian atasnya, penuh dengan ukiran-ukiran kecil. Luna sedang mengotak-atik kabel-kabel di bagian bawah benda tersebut.
"Tongsis," jawabnya polos. Namun, itu malah membuatku tambah bingung.
'Eh? Tongsis? Gak salah dengar nih? Kita mau percobaan sihir atau fotografi?' pikirku.
Sebelum aku sempat bertanya lagi, Luna melanjutkan, "Tongsis, alisas tongkat sihir."
Aku menjiplak dahiku, 'Tongsis dari mana? Tongsih iya kali...!' teriakku dalam hati. Entah Luna sengaja atau tidak dalam menyingkatnya, di luar pikiran aku tetap diam. Memasang wajah datar, supaya tidak mengganggu konsentrasi Luna.
"Nah... akhirnya selesai," tutur Luna sembari merenggangkan tangannya ke atas. Kemudian dia berdiri, memandangku.
"Hm? Kenapa kamu, kak? Kok tersenyum aneh seperti itu?"
Sepertinya ekspresi datar wajahku sedikit buyar saking anehnya permainan kata Luna.
'Salahmu sendiri membuat singkatan yang salah!' ingin diriku menjerit seperti itu, tapi ku urungkan niatku. Sebagai gantinya, aku menggelengkan kepala dan berkata, "Gak ada apa-apa kok..."
Luna terlihat bingung awalnya, tapi dia dengan cepat melupakannya dan memulai percobaan sihir kami.
"Sebelum kita mulai mencoba sihir, aku ingin bertanya, sejauh apa Kakak tau tentang sihir?"
Aku berpikir sebentar lalu menjawab, "Yang kutahu cuma fakta bahwa sihir muncul setelah pandemi datang merajalela." Mendengar pernyataanku, Luna memijat dahinya. Dia terlihat jengkel. Seakan-akan dia tengah berurusan dengan anak bermasalah.
"Kak, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Apa?"
"Kapan terakhir kali kamu melihat berita?"
Aku heran mengapa Luna tiba-tiba memberikan pertanyaan semacam itu. Namun, aku tetap merespons.
"Kemarin, saat kamu menonton TV."
"Sebelum itu?"
"Hmm... Mungkin... tahun lalu?" tanggapku tidak pasti. Sejak kedatanganku di rumah nenek dua tahun lalu, aku hampir tidak pernah menyentuh layar persegi panjang tersebut.
"Mengurung diri di rumah, sibuk dengan dunianya sendiri, tidak peduli apa pun yang terjadi di luar sana." Luna menyebutkan satu persatu kegiatanku dengan hitungan jari, "Hah... Kakak ini benar-benar jadi pemalas level akut... Apa yang kamu lakukan selama ini, kak?" Selidik adik perempuanku ini, yang lebih muda 2 tahun dariku.
Aku mengangkat bahu. Enggan menanggapi. Melihat itu, Luna menghembuskan nafas pasrah entah untuk yang ke berapa kalinya hari ini.
"Baiklah kalau begitu, akan aku jelaskan terlebih dahulu bagaimana sihir bekerja. Pertama..."
"Eh, kita langsung lompat ke sana? Bagaimana dengan asal usul sihirnya, Lun?" selaku tiba-tiba. Yang malah membuat Luna tambah sewot.
"Aihh...! Itu mah bisa kakak cari sendiri di internet! Aku malas menjelaskannya padamu," ucap Luna kesal. "Dan, satu hal lagi! Kalau ada orang berbicara, jangan dipotong! Kalau Kak Zen memang ingin tahu bagaimana sihir itu. Kakak cukup diam dan dengarkan!" Mata Luna memelototiku dengan intensitas tinggi. Menjadikanku otomatis bisu dan mengangguk.
"Good. Pertama, apa kakak tahu sumber energi sihir?"
"Ether, kan? Sebuah energi asing yang tiba-tiba muncul dua tahun lalu. Kalau cuman ini aku juga tahu. "
Luna mengangguk, "Ya, Ether dari kata Ethereal. Energi yang juga menjadi penyebab utama pandemi. Aku tidak akan membahas panjang bagaimana energi gaib itu muncul karena itu akan sangat panjang ceritanya. Yang perlu kakak tahu sekarang, untuk menggunakan sihir kita perlu merasakan energi Ether ini." Luna berhenti. Mengambil nafas panjang, kemudian dia menutup kedua matanya.
"Ether tersebar bebas di sekitar. Untuk merasakannya tutup matamu dan konsentrasi. Gunakan indramu yang lain untuk merasakan sekitar." Sampai di sini, Luna masih terlihat normal di mataku.
"Lalu, kumpulkan Ether tersebut ke tanganmu atau ke alat pembantu sihir yang kamu bawa." Luna mengangkat tangan kanannya yang memegang tongkat sihir. Dia mengarahkan ujung tongkat sihir tersebut ke langit. Aku merasakan ada energi yang tidak terlihat berkumpul di tangan Luna. Energi itu tidak terlihat. Namun, entah mengapa aku bisa merasakan bentuknya yang seperti air dan gerakannya yang seperti angin.
"Selanjutnya, ucapkan mantra sihir dan lepaskan energi Ether di tanganmu seketika mantra itu selesai." Luna mulai mengocehkan sesuatu. Aku tidak mengetahui bahasa apa yang dia gunakan. Dalam pandanganku dia seperti berkomat-kamit tidak jelas. Selagi aku memperhatikannya, mendadak Luna berteriak, "Keluarlah! Water Ball!"
Mengikuti perintah Luna, sebuah bola air muncul di ujung tongkat sihirnya. Gumpalan cairan biru berukuran kepala manusia melayang di sana. Gumpalan tersebut kemudian dengan cepat meluncur ke udara.
Pyar!
Bola air tersebut meletus di langit. Butir-butir air jatuh layaknya hujan membasahi bunga-bunga.
'Ah, ada pelangi mini!' Pikiran itu sempat terlintas di kepalaku saat melihat pemandangan ganjil nan indah ini.
"Bagaimana, kak? Indah bukan?" kata Luna mengeluarkanku dari keadaan tercengang.
"Eh, cuman begitu?" komentarku dengan muka datar. Padahal, di dalam kepala, pikiranku heboh membayangkan apa yang bakal aku lakukan jika nanti aku bisa menggunakan sihir.
Daripada menjawab, Luna mendekatiku. Kedua tangannya terulur dan mencubit kedua pipiku. "Jangan sok gak tertarik begitu kamu, kak! Aku tahu kamu kegirangan di dalam hati. Kamu kira aku bakal tertipu dengan ekspresimu karena sudah lama tidak bertemu, hah? Aku masih ingat ekspresimu yang satu ini. Ekspresi saat kamu kegirangan karena menemukan game baru dan kamu berusaha untuk tidak menampilkannya di muka karena takut ketahuan oleh Ayah," celoteh Luna sambil menarik-narik kedua pipiku, menganggap pipiku ini mainan slime.
"Aduduuh! Oke-oke Lun, kamu menang. Aku memang benar-benar tertarik dengan sihir. Jadi, adikku Luna yang cantik nan imut, bisakah kamu melepaskan tanganmu! Pipiku bakal melar nih nantinya!" tuntutku mengeluarkan bendera putih, menyerah. Luna melepas cubitannya dan aku bisa membayangkan pipiku mendal seperti karet karena saking kerasnya ditarik.
"Tapi Lun, kok kelihatannya gampang, ya?" Aku mengatakan pendapatku mengenai percobaan sihir tadi. Tentunya, aku masih mengusap-usap pipiku yang merah.
"Hmm? Kamu mau aku cubit lagi, kak?" balas Luna seraya menggerak-gerakan jarinya seperti capit kepiting.
"Ngga-nggak, ampun Lun. Aku jujur kok. Dari yang aku lihat kamu tadi, pertama, kamu berkonsentrasi dengan mengambil nafas panjang, terus kamu berkomat-kamit tidak jelas sambil mengangkat tangan, dan yang terakhir kamu berteriak. Simpel dan mudah tuh kelihatannya."
"Kak Zen... Aduh Kak Zen... Coba dipakai dikit dong otakmu yang lumutan itu. Mana mungkin cuman begitu doang. Kelihatannya memang mudah karena aku sudah melakukan ini berkali-kali. Faktanya dulu, untuk melakukan tahap pertama yang aku sebutkan tadi, aku membutuhkan berhari-hari untuk berhasil melakukannya. Tahap kedua dan ketiga pun seperti itu, membutuhkan waktu lama untuk menguasainya."
Aku masih tidak percaya. Mungkin karena tidak terima dipanggil otak lumutan oleh adik sendiri. Gini-gini, dulu, saat sekolah menengah, aku termasuk juara kelas.
"Lagian–" Luna melanjutkan. "Ada beberapa hal yang tidak bisa Kak Zen lihat dengan kondisimu saat ini," jelasnya dengan senyum misterius.
Aku mengerutkan alisku, bingung dengan maksud kalimat Luna. "Kondisi diriku yang pemalas ini maksudmu, Lun?"
"Yes and No!" timpal Luna dengan nada riang. Dia kelihatan puas sekali melihat diriku yang tambah bingung.
Aku hendak bertanya lagi apa maksud dari jawabannya, tapi tiba-tiba Luna bertepuk tunggal. Membatalkan niatku untuk bertanya.
"Pokoknya, tidak semua yang kamu lihat semudah yang kamu kira, kak. Dan itu termasuk dalam sihir. Untuk maksud dari kalimat yang aku katakan tadi, jadikan itu PR hari ini. Pikirkan matang-matang, atau, kamu mungkin bisa menemukannya jawabannya di mbah google yang serba tahu itu. Dah ya kak, aku kembali ke rumah dulu," jelas Luna seperti guru yang sedang mengajari murid-muridnya. Dia langsung membalikkan badan dan berjalan ke rumah. Di tengah langkahnya dia berhenti dan menambahkan,
"Oh ya! Jangan lupa untuk mempelajari asal-usul sihir yang aku lewatkan tadi. Itu penting untuk besok! Karena kita akan pergi ke suatu tempat."
Selesai menambahkan, Luna kembali melangkah, meninggalkanku dengan beribu pertanyaan. Aku menatap punggungnya yang kecil itu. Saat itulah, aku tersadar. Tak kusangka adik perempuanku yang selalu membuntutiku saat kecil sudah tumbuh sedewasa ini. Entah berapa hambatan yang sudah dilaluinya selama 2 tahun ini aku tidak tahu. Yang pasti, Luna sudah berubah. Tingginya sudah hampir setara denganku. Punggungnya yang kecil itu sudah menampung banyak beban, lebih banyak dari yang aku kira. Rambut panjangnya menguraikan jarak yang sudah ditempuhnya dalam hidup ini.
Dunia berjalan dengan cepat. Meninggalkanku yang tak mampu mengikutinya, yang tak dapat melakukan perubahan, yang terkurung dalam kurungan masa lalu. Sendirian.
...___...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Lauraaa♑️
Terima kasih karena telah membagikan kisah yang sangat menyentuh hatiku
2023-12-27
2