"Gimana, Bec? Lo diizinkan gak sama anaknya Tante Sisilia?" tanya Salma saat mereka sedang di kantin.
"Tidak, Salma, Leon tidak membolehkan aku pergi," jawab Rebecca murung.
Salma menghela nafas panjang. Gadis itu sebenarnya ingin mengajak Rebecca dan sepupunya nonton film dan makan bersama.
"Lo alasan apa kek, Becca, bilang ada tugas kelompok atau apa gitu. Atau perlu gue aja yang izinkan lo sama si singa itu," tawar Salma.
"Singa?" tanya Rebecca bingung.
"Iya, sama si Leon, singa itu," jawab Salma mengejek nama Leon.
"Kamu ini, Salma, singa itu 'lion', bukan 'Leon'," ucap Rebecca sembari menggelengkan kepalanya.
Salma terkekeh mendengar penjelasan dari Rebecca. Dia sangat gemas melihat gadis di depannya yang sangat polos dan tidak mau berbohong pada siapa pun.
"Ayo lah, Becca, gue pengen banget jalan sama lo," bujuk Salma.
"Tapi kan kemarin kita sudah jalan bersama," ucap Rebecca, mengingatkan saat waktu itu.
"Itu sama Tante Sisilia. Lo tahu sendiri kan kalau anak muda jalan sama ibunya tidak akan bebas," ucap Salma.
Rebecca pun bingung harus berbuat apa, dia takut berbohong dan membuat Leon akan marah padanya.
Hingga pulang sekolah, Rebecca memikirkan alasan yang tepat untuk bisa pergi jalan. Dia juga ingin seperti gadis-gadis remaja seusianya yang jalan bersama dengan teman-temannya.
Tiba di apartemen, Rebecca lebih dulu masuk ke dalam lift, lalu disusul oleh Leon yang juga baru datang dan masih lengkap dengan baju sekolahnya.
Selama di lift, kedua orang itu seperti layaknya tidak mengenal satu sama lain. Rebecca melihat bagaimana Leon sibuk dengan telepon genggamnya.
Masuk ke dalam apartemen, barulah Leon mendekap tubuh Rebecca dan mencium pipi gadis itu.
"Aarrgghh, Leon," teriak Rebecca kesal setelah Leon dengan jahil menggigit pipi gadis tersebut.
"Cepat masak, gue sudah lapar," bisik Leon sebelum pergi ke kamarnya.
Rebecca pun menurut, Dia pergi ke kamar terlebih dahulu dan berganti pakaian sebelum membuatkan makan siang untuk Leon.
Rebecca sedang berada di dapur ketika Leon datang sambil mengangkat telepon.
"Iya, sayang. Aku tidak sabar untuk berkencan denganmu nanti malam," ucap Leon dengan nada lembut.
Rebecca secara tidak sengaja mendengarnya dan merasa sedikit aneh di hatinya. Gadis itu tidak tahu mengapa dia bereaksi seperti itu.
Cup!
Leon mengejutkan Rebecca yang sedang memasak. Gadis itu menoleh dan mendapati Leon sedang memeluknya dari belakang.
"Perasaan baru saja teleponan dengan orang yang dia panggil sayang, kenapa sekarang malah memeluk aku?" kata Rebecca dalam hati, bingung dengan perubahan sikap Leon.
"Udah selesai masaknya?" tanya Leon sambil menyandarkan kepalanya di bahu Rebecca.
"Sebentar lagi selesai, Leon," jawab Rebecca sambil tetap fokus memasak.
Leon melepaskan pelukannya pada Rebecca dan berjalan menuju ruang televisi. Sambil menunggu Rebecca menyelesaikan masakannya, Leon memutuskan untuk menonton acara sepakbola favoritnya di televisi.
"Masakan telah jadi, Leon," panggil Rebecca.
Leon bangkit berdiri dan menghampiri Rebecca yang sedang menata piring makan siang mereka berdua.
"Aromanya enak juga," puji Leon pada sup asparagus milik Rebecca.
"Terima kasih, Leon," jawab Rebecca dengan senyum.
Mereka mulai menyantap makanan tersebut. Kali ini, Leon memaksa untuk menyuapi Rebecca makan. Rebecca sudah mencoba menolak, tetapi Leon tidak ingin dibantah. Akhirnya, gadis bertubuh gemuk itu pasrah dan membiarkan Leon menyuapinya.
Setelah selesai makan, Leon mengusap rambut Rebecca yang sudah mulai memanjang. Lelaki itu tersenyum senang melihat gadis di depannya mulai menjalani hidupnya dengan didampingi oleh Leon sebagai penentu arah kehidupan Rebecca ke depannya.
"Malam ini gue akan pergi, jadi lo gak boleh keluar untuk alasan apapun! Jika gue melihat lo keluar, ingat gue gak akan ragu untuk memperlakukan lo sama seperti Beni memperlakukan lo dulu," ucap Leon dengan nada sedikit mengancam.
Rebecca mengendus sebal. Gadis itu ingin sekali pergi ke taman atau sekedar ke mini market depan apartemen, tapi Leon tidak pernah memperbolehkannya. Padahal, Rebecca merasa bosan belakangan ini karena hanya memiliki televisi sebagai teman. Tidak ada teman untuk berbincang seperti saat dia masih tinggal di rumahnya. Tapi dulu, dia bersyukur karena Bi Asih masih kadang-kadang menyelinap masuk ke dalam kamarnya dan mengajaknya untuk mengobrol bersama.
"Lo dengarkan sama apa yang gue omongin barusan?" tanya Leon untuk memastikan bahwa Rebecca telah memahami perintahnya.
"Iya, Leon, aku mengerti!" jawab Rebecca dengan sedikit cemberut.
Rebecca berharap dia memiliki pegangan yang kuat, seperti pekerjaan. Dia sangat ingin pergi dari sini dan memulai hidup baru sebagai Rebecca yang baru. Namun sepertinya, itu hanyalah harapan karena Leon seolah-olah telah mengikatnya dan dia tidak bisa lepas darinya.
Rebecca menemani Leon bermain PlayStation hingga akhirnya tertidur di paha lelaki itu. Awalnya, Rebecca ingin pindah ke kamar lain, tetapi Leon melarangnya karena dia ingin ditemani oleh Rebecca.
Leon mengamati setiap sudut wajah Rebecca, sambil membelai lembut bekas luka bakar yang ada di pipi gadis itu.
"Kamu hebat banget, bertahan sampai sejauh ini. Kalau waktu itu aku tidak menyelamatkanmu, mungkin sekarang kamu sudah tidak ada di sini bersamaku," katanya dalam hati.
Leon merasa kasihan pada Rebecca saat Sisilia menceritakan tentang kedua orangtuanya. Awalnya, dia senang melihat perlakuan Beni terhadap putrinya, tetapi entah mengapa malam itu, saat dia merawat luka-luka di punggung Rebecca, hatinya teriris.
Gadis malang itu memiliki banyak luka yang bahkan meninggalkan bekas yang tak bisa hilang.
"Maafkan gue karena pernah merasa senang melihat lo diperlakukan seperti samsak oleh Beni," ucap Leon dengan pelan.
Setiap hari, Rebecca selalu mengigau tentang keluarganya. Bahkan malam tadi, Leon harus berlari keluar dari kamarnya setelah Rebecca menangis histeris sambil memohon ampun kepada ayah dan ibunya.
Kring! kring! kring!
Panggilan telepon membuat Leon menghentikan mengelus pipi Rebecca, lalu dia menjawab panggilan telepon dari ibunya.
"Leon, bagaimana keadaan Becca?" tanya Sisilia dengan khawatir.
"Baik-baik saja, Ma, tidak perlu khawatir," jawab Leon dengan nada santai.
"Syukurlah, sayang. Mama sangat khawatir dari tadi, Nak."
Leon memahami perasaan Sisilia, dan dia juga tahu betapa besar rasa sayang mamanya terhadap Rebecca, yang notabene hanyalah putri dari sahabat lamanya.
"Leon, apakah Mama boleh meminta izin? Salah satu teman Rebecca ingin mengajak gadis itu berjalan-jalan di akhir pekan, Nak. Kamu mengizinkannya, kan?" tanya Sisilia meminta izin.
Leon menggeleng dengan tegas, dia tidak akan pernah mengizinkan Rebecca pergi berjalan-jalan tanpa izinnya.
"Tidak, Ma, Leon tidak akan mengizinkan hal itu," sahut Leon dengan nada yang tak terbantahkan.
Sisilia mengendus kesal, sulit sekali membujuk Leon, pikirnya. Putra tunggalnya sama seperti suaminya, sangat sulit dipahami dan keras kepala.
"Leon, Mama belum selesai berbicara," ucap Sisilia kesal saat Leon memutuskan sambungan telepon mereka berdua.
Armand terkekeh melihat Sisilia marah, "Ada apa?" tanya Armand yang berdiri tepat di hadapan istrinya.
"Putramu ini sangat mirip denganmu, Armand, sangat keras kepala!" jawab Sisilia masih dengan nada kesalnya.
Armand mencoba menenangkan istrinya, "Sudahlah, tidak apa, biarkan saja dia yang mengurus Becca, Sayang. Leon pasti tahu mana yang terbaik untuk Rebecca, dan kita hanya bisa mendukung Leon untuk misinya membantu Rebecca menghilangkan masa traumanya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments