Rebecca bangun lebih awal dari yang lainnya dan segera bergegas ke dapur untuk membantu Bi Asih menyiapkan sarapan untuk ayah, ibu, dan saudara tirinya.
"Tumben bangun lebih awal, Non Becca," ucap Bi Asih saat menyadari kehadiran Rebecca di sampingnya.
"Kalau terlambat, ayah akan marah lagi, Bi," balasnya sambil tersenyum.
Bi Asih menepuk pundak Rebecca dengan lembut, memberinya semangat.
"Sabar ya, Non. Bibi yakin suatu saat nanti tuan pasti akan sayang sama non Becca," ucap Bi Asih.
Rebecca hanya mengangguk pelan sambil tersenyum pahit. Dia tidak yakin ayahnya akan mencintainya, karena hingga sekarang pun dia tidak merasa memiliki tempat di hati ayahnya.
Saat Rebecca menyiapkan sarapan di meja, Beni turun dari tangga dan berjalan menuju meja makan. Pria itu duduk dan tidak menyapa putri kandungnya sama sekali, bahkan tidak melirik Rebecca.
"Selamat pagi, Ayah," sapa Rebecca sambil tersenyum.
Beni hanya melirik sebentar lalu kembali fokus pada tablet yang dia genggam.
Rebecca tersenyum pahit saat Beni tidak membalas sapaannya.
"Selamat pagi, Ayah," sapa Nayla, mengecup singkat pipi Beni.
Lalu Anne menyusul mengecup pipi suaminya, yang lebih dulu berada di ruang makan.
"Selamat pagi, Sayang," sapa Anne pada Beni.
"Selamat pagi juga, Sayang," balas Beni sambil tersenyum ke arah istrinya.
Rebecca, yang masih berada di sana, tersenyum pahit melihat ayahnya hanya tersenyum pada ibu dan adik tirinya.
Tidak ingin merasa semakin sakit hati, Rebecca bergegas kembali ke dapur untuk sarapan bersama Bi Asih.
Dia mengambil piring makanannya dan cepat-cepat bergabung bersama Bi Asih di dapur.
"Ini, Non, ambil saja ayamnya," ucap Bi Asih, menyodorkan ayam goreng miliknya.
"Tidak usah, Bi. Itu kan milik Bibi, jadi Bibi makan saja," tolak Rebecca dengan sopan.
Namun Bi Asih tetap meletakkan ayam goreng itu di atas nasi milik Rebecca. Dia tidak tega melihat Rebecca hanya makan nasi dan penyedap rasa saja tanpa lauk seperti yang lainnya.
"Non masih muda, dan harus makan makanan yang bergizi," ucap Bi Asih.
"Tapi aku takut kalau Ayah melihatnya, Bi," ucapnya pelan.
"Makanya cepat dimakan, Non. Jangan sampai Tuan melihatnya," balas Bi Asih, menyuruh Rebecca segera menghabisi makanannya.
Setelah selesai sarapan, Rebecca bergegas ke kamarnya, lalu keluar lagi dengan tas butut yang sudah pudar dan berjahitan di beberapa sisinya.
Sambil menggendong tasnya, Rebecca berjalan menghampiri ayah dan ibunya di ruang makan.
"Ayah, Ibu, Becca mau berangkat sekolah dulu ya," ucap Rebecca, hendak menyalami Beni dan Anne. Tapi saat Rebecca mengulurkan tangan, tidak seorang pun yang menyambut uluran tangannya.
"Ibu, lihat kaos kaki Nayla gak?" teriak Nayla dari lantai atas.
"Tunggu sebentar, Sayang, Ibu akan mencarinya," jawab Anne.
Setelah itu, Anne pergi dan menyisakan Beni dan Rebecca di sana. Saat Rebecca ingin melangkahkan kakinya pergi, Beni memanggilnya.
"Tunggu," serunya.
"Ada apa Ayah?" tanya Rebecca.
Beni merogoh dompetnya di saku celana, lalu membukanya dan memberikan uang tunai sebesar lima puluh ribu kepada putri kandungnya.
"Ini uang bulananmu!" ucap Beni, meletakkan uang selembar lima puluh ribuan di atas meja.
"Terima kasih, Ayah," ucap Rebecca tersenyum.
Rebecca selalu mensyukuri pemberian yang diberikan oleh Beni, Karena Rebecca sangat membutuhkan uang di saat seperti ini, dimana biaya sekolah memerlukan banyak pengeluaran.
Rebecca pergi ke sekolah dengan terburu karena dia harus berjalan kaki dari rumah ke sekolahnya. Melewati jalanan ibukota yang padat, gadis bertubuh gemuk itu tampak tergesa-gesa untuk bisa sampai di sekolahnya.
Namun, naas baginya, saat tiba di depan sekolah, gerbang itu sudah tertutup rapat. Itu berarti dia terlambat lagi masuk ke sekolahnya.
"Sial, banget kamu Becc? Lalu, sekarang harus bagaimana? Kalau aku membolos, pasti Ayah tahu. Nanti pasti Ayah akan memukulku," ucapnya dengan kebingungan.
"Hei, kenapa kamu masih berdiri di sana! Cepat masuk!" teriak satpam pada Rebecca.
Dengan cepat, Rebecca pun masuk kedalam halaman sekolahnya.
Rebecca berjalan mengikuti satpam tersebut menuju tengah lapangan. Setelah itu, satpam menginstruksikan Rebecca untuk berdiri di depan tiang bendera hingga jam istirahat pertama selesai.
"Sesuai instruksi dari Pak Steve, silakan kamu menghormat bendera hingga jam istirahat selesai. Kamu mengerti?" tanya satpam itu dengan tegas.
"Mengerti, Pak," jawab Rebecca dengan suara pelan.
Setelah itu, satpam tersebut pergi, dan hanya menyisakan Rebecca yang berdiri di lapangan.
Rebecca menghela napas dengan rasa pasrah, "Kamu pasti bisa, Rebecca," ucapnya, menguatkan hatinya sendiri.
Rebecca berdiri menghormat tiang bendera sudah lebih dari tiga jam. Tubuhnya yang gemuk tampak berkeringat banyak dan dia terlihat sangat kelelahan.
Hingga bel sekolah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar dari kelas dan menyaksikan dirinya sebagai tontonan mereka.
"Najis banget si gajah keringatan,"
"Badak lagi berjemur tuh,"
Samar-samar, Rebecca mendengar ejekan dari teman-teman sekolahnya tentang fisiknya. Gadis itu hanya bisa diam, menatap ke atas tiang bendera sambil berharap air matanya tidak jatuh membasahi wajahnya.
Sebuah bola mendarat tepat di kepala Rebecca, hingga gadis itu mengaduh kesakitan karena kerasnya hantaman bola itu.
"Eh, sorry. Astaga, hidung lo berdarah," ucap Stefano dengan panik.
Lelaki itu membuka baju seragamnya, lalu dengan sigap membantu Rebecca untuk menghentikan pendarahannya.
Leon, Daniel, dan Nathan tampak berdiri tanpa bergerak, melihat kesigapan Stefano menolong Rebecca.
"Lo gak mau bantu dia, Leon? Itu kan pacar lo" tanya Daniel yang berdiri tepat di samping Leon.
"Najis gue bantuin dia!" jawab Leon dengan ketus.
"Lo masih ingat sama taruhan kita kan?" ucap Nathan, menatap sahabatnya itu.
Leon membalas tatapan Nathan dengan kesal, "Persetan?!" ucapnya kesal, lalu dia pergi meninggalkan lapangan.
Sementara itu, Stefano sudah pergi membawa Rebecca ke ruang UKS.
Di ruang UKS, Stefano membantu Rebecca berbaring di atas tempat tidur. Setelah itu, seorang adik kelas yang bertugas menghampiri Rebecca dan Stefano, dan dengan cepat melakukan tindakan penanganan untuk Rebecca.
Stefano menatap Rebecca dengan rasa bersalah, karena dialah yang telah menendang bola itu tanpa sengaja.
"Maafin gue ya, gue gak sengaja," ucap Stefano dengan rasa penyesalan.
"Tidak apa-apa, terima kasih sudah membawa ku ke ruang UKS," jawab Rebecca, tersenyum ke Stefano.
"Kalau begitu, gue kembali ke kelas dulu ya. Sebentar lagi bel akan berbunyi," ucap Stefano sambil berpamitan.
Rebecca mengangguk dengan lembut. Dia juga berencana untuk kembali ke kelas dan melanjutkan pelajaran berikutnya.
Stefano pergi lebih dulu, lalu disusul oleh Rebecca yang juga ingin meninggalkan UKS.
Saat Rebecca keluar, seseorang mencegahnya dengan mencengkram lengannya begitu kuat hingga gadis itu terkejut.
"Lepaskan tanganmu itu, Leon," ucap Rebecca, berusaha melepaskan diri.
"Gue bilang diam!" bentak Leon dengan kesal.
Lelaki itu membawa Rebecca menjauh dari ruang UKS.
"Kamu ingin membawaku kemana, Leon? Sebentar lagi jam pelajaran berikutnya akan dimulai," ucap Rebecca, meminta untuk dilepaskan.
Leon pun menghempas lengan Rebecca dengan kuat saat mereka tiba dibelakang halaman sekolah, setelah itu dia mencengkram wajah Rebecca hingga gadis itu sulit membuka mulutnya.
"Sekarang lo memang pacar gue, tapi lo harus tahu bahwa gue gak sudi membantu lo. Dan satu lagi, jangan sok nebar pesona deh sama sahabat-sahabat gue, karena lo gak pantas untuk siapa pun!" ucap Leon dengan tajam.
Setelah itu, Leon melepaskan cengkramannya dan pergi meninggalkan Rebecca sendirian di halaman belakang sekolah.
Rebecca menangis setelah mendapat perlakuan seperti itu. Dia ingin melawan tapi tidak berani mengingat Leon adalah anak pemilik sekolah ini.
"Kamu wanita lemah, Rebecca, sungguh lemah. Kenapa kamu mau diinjak-injak oleh mereka?" ucapnya, menangis terisak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments