Di bawah langit kota Jakarta yang mendung, Rebecca terlihat sedang melamun tentang kehidupannya.
"Tuhan, kenapa ya, menghadirkan aku di dunia ini kalau cuma membuat aku merasa tidak diinginkan," ucap Rebecca berbicara sendiri dengan perasaan sedih.
Rebecca merasakan keputusasaan dan kebingungan tentang tujuan hidupnya. Dia merasa tidak diinginkan dan merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Namun, dalam kegelapan hatinya, dia masih mencoba mencari jawaban dan makna yang lebih dalam. Mungkin dia berharap ada jalan keluar dan kebahagiaan yang menanti di masa depan. Rebecca berusaha untuk tetap kuat dan berharap bahwa ada cahaya yang akan menerangi jalannya.
Suara deru mobil masuk ke area halaman rumah, Rebecca melihat dari kaca jendela kamarnya. Di sana, dia melihat Ayah, Ibu, dan juga adiknya keluar dari mobil.
"Jadi Nayla enak banget ya, diterima sama semua orang. Beda banget sama aku. Gak pernah diharapkan sama siapapun," ucapnya merasa iri.
Rebecca merasa iri terhadap adiknya yang selalu mendapatkan cinta dan perhatian dari semua orang, termasuk kakek dan nenek mereka. Dia merasa bahwa perlakuan itu tidak berlaku bagi dirinya. Rebecca merasa bahwa dia hanya diperlukan ketika orang-orang membutuhkannya, dan itu membuatnya merasa tidak dihargai.
"BEECCAAA!!!" teriakan Beni menggema di dalam rumah.
Dengan tertatih, Rebecca menghampiri Ayahnya yang sedang berkacak pinggang di ruang keluarga, masih mengenakan setelan jas yang melekat di tubuhnya.
"Ada apa, Ayah?" tanya Rebecca dengan nada takut, menunduk.
Beni melemparkan satu buket bunga mawar yang dia temukan di depan pintu kamar ke arah Rebecca.
"Kau anak kurang ajar ya! Saya menyekolahkan kamu untuk pintar, bukan untuk mencari pacar. Kamu itu sudah bodoh tapi banyak tingkah?!" maki Beni pada putrinya.
"Bunga ini bukan punya Becca, Ayah. Becca tidak tahu milik siapa," ucap Rebecca, mencoba membela diri.
Rebecca merasa sedih dan tidak adil karena dituduh tanpa bukti. Dia berusaha menjelaskan bahwa bunga tersebut bukan miliknya, tetapi suasana tegang masih terasa di antara mereka. Rebecca berharap dapat menyelesaikan kesalahpahaman ini dengan baik dan mendapatkan pengertian dari Ayahnya.
"Lain milikmu? Nyatanya, disitu tertulis 'bunga ini untukmu'. Kau ingin mengelabuiku?" bentak Beni dengan marah.
Rebecca menggeleng lemah, dia benar-benar tidak tahu siapa yang telah mengirim bunga tersebut padanya. Dia merasa kebingungan dan tidak mengerti mengapa Ayahnya begitu marah padanya. Rebecca berusaha menjelaskan bahwa dia tidak memiliki niat untuk mengelabui atau menyembunyikan sesuatu dari Ayahnya. Dia hanya ingin mencari kejelasan mengenai bunga tersebut dan mengklarifikasi kesalahpahaman yang terjadi.
Beni merasa muak pada putrinya, lelaki itu menarik paksa Rebecca dan membawanya kekamar gadis itu. Tidak lupa Beni membawa serta rotan yang selalu memberi tanda menyakitkan ditubuh gemuk gadis malang itu.
"Ampun ayah, jangan pukul Becca lagi Ayah."
Ctarrrr
Ctaaarrr
Ctaaarrr
Kayu rotan itu menyentuh tubuh rapuh milik Rebecca sebanyak duapuluh kali, Rebecca sendiri pun nampak terkapar diatas keramik dingin kamarnya.
"Ampuni Rebecca, Ayah!" ucapnya lemah.
Tidak kuasa menahan rasa sakit, gadis itu pun akhirnya pingsan juga. Rebecca tergeletak diatas lantai keramik yang dingin dengan penuh luka cambukan dari Ayahnya sendiri.
Melihat putrinya sudah tidak berdaya, Beni pun sama sekali tidak merasa kasihan. Pria itu malah mengambil handphone miliknya dan mengambil beberapa gambar tubuh putrinya yang mengenaskan, kemudian Beni mengirim semua gambar tersebut pada Nina yang dulu merupakan mantan pasangannya sekaligus adalah Ibu kandung dari Rebecca.
"Aku akan membuat putrimu ini serasa berada di neraka." ucapnya mengirim voice note pada Nina.
Beni kemudian keluar dari kamar putrinya dan tidak lupa dia mengunci kamar gadis itu dari luar.
Tampak di seberang rumah Rebecca, seseorang sedang tertawa puas menyaksikan adegan kekerasan yang dilakukan oleh Ayah terhadap putrinya.
"Baru gue pancing pake bunga aja bokapnya udah kaya gitu, gimana kalo gue pancing dengan yang lain. bisa-bisa si gendut menemukan ajalnya lebih cepat." kata Leon terkekeh.
Leon adalah pelaku yang mengirim sebuah bunga mawar yang dia letakan di depan kediaman Rebecca, lelaki itu senang melihat interaksi yang dilakukan Rebecca dengan ayahnya.
"Lo di kelilingi neraka ya Rebecca, tapi lo emang pantes dapatinnya karena lo gak layak ada di dunia ini." kata Leon dengan sengitnya.
Rebecca mengerjapkan matanya saat dia baru saja sadar dari pingsannya, gadis itu melihat ke sekitar dan dia merasa bersyukur bahwa Ayahnya tidak membawanya ke gudang yang sepi dan gelap.
Dengan tubuh yang masih lemah, Rebecca mencoba berdiri dan berpindah ke tempat tidurnya.
Gadis itu meringkuk di tempat tidur, merasakan sakit yang melanda seluruh tubuhnya. Rebecca merasa putus asa karena pembelaannya selalu tidak didengar. Beni selalu mencari-cari kesalahan Rebecca dan tampaknya tidak pernah memberikan kesempatan padanya untuk membela diri atau menjelaskan situasi dengan jujur. Rebecca merasa terjebak dalam lingkaran ketidakadilan dan kekerasan yang terus berulang.
Rebecca merenung dalam kebingungan, mencoba mencari tahu siapa yang mungkin telah mengirim bunga tersebut. Dia mempertanyakan apakah Justin, seseorang yang baru dikenalnya, mungkin menjadi pengirimnya. Namun, dia merasa bahwa itu tidak mungkin, mengingat hubungan mereka yang baru terjalin. Rebecca mencoba merenung lebih dalam untuk mencari petunjuk yang mungkin membantunya memahami siapa yang sebenarnya mengirim bunga tersebut.
Rebecca mulai mempertimbangkan kemungkinan bahwa Leon mungkin menjadi orang di balik semua ini. Dia menyadari bahwa Leon sangat membenci dirinya dan menganggapnya sebagai pembawa sial bagi hidupnya. Meskipun hanya berspekulasi, Rebecca merasa bahwa kebencian Leon terhadapnya bisa menjadi motivasi untuk melakukan tindakan yang merugikan dirinya.
"Kalau benar kamu yang melakukan ini semua, Leon, aku harap hidupmu tidak akan pernah seperti diriku," ucapnya dengan lirih.
Rebecca menitikkan air matanya, merasa sedih dan kecewa. Dia hanya menginginkan cinta dari keluarga, tetapi sampai saat ini, cinta itu tidak pernah ada untuknya. Dia merasa terabaikan dan tidak dihargai, dan itu sangat menyakitkan baginya. Rebecca berharap agar tidak ada orang lain yang harus merasakan kesedihan dan ketidakadilan yang dia alami.
Keesokan harinya, Rebecca masih terbaring di tempat tidur dengan tubuh yang menggigil hebat. Dia mengalami demam semalaman, ditambah asam lambungnya yang kambuh hingga menyebabkan tidurnya tidak nyenyak.
Kruk! Kruk!
Suara perutnya berbunyi, menandakan bahwa dia merasa sangat lapar. Namun, hingga pukul sepuluh pagi, tidak ada satupun yang mau membukakan pintu untuknya. Rebecca merasa terisolasi dan ditinggalkan, tidak mendapatkan perhatian atau bantuan dari siapapun. Rasa lapar dan kelemahan fisik semakin membuatnya merasa terpuruk. Dia merasa sangat terpinggirkan dan tidak dihargai oleh keluarganya.
Dengan tubuh yang masih lemah, Rebecca bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu kamarnya. Meskipun merasa lemah, dia berharap ada seseorang yang mendengar dan bersedia memberikannya makanan.
Rebecca mencoba bersuara dengan lemah, memanggil siapa pun yang mungkin berada di sekitar. Dia berharap ada seseorang yang berbaik hati dan peduli dengan kondisinya, siap membantu dan memberikannya makanan yang sangat dia butuhkan saat ini. Rebecca berharap agar ada cahaya harapan di tengah kegelapan yang dia rasakan.
"Ayah! Ibu! Nayla, bisa bukakan pintu tidak? Becca sangat lapar, bisa kasih Becca sedikit makanan?" ucapnya dengan suara yang lemah.
Rebecca berusaha memanggil keluarganya dengan harapan bahwa mereka akan mendengar dan membukakan pintu untuknya. Dia merasa sangat lapar dan berharap bisa mendapatkan sedikit makanan untuk mengisi perutnya yang kosong. Meskipun lemah, Rebecca tetap berusaha untuk bersuara dan berharap agar ada seseorang yang akan membantu dan peduli dengan kondisinya.
Dug! Dug! Dug!
Rebecca mencoba menggedor pintu kamarnya tiga kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu untuknya. Rasa putus asa dan kelelahan mulai melanda dirinya. Dengan wajah pucat, dia menangis sambil bersandar di balik pintu kamarnya. Hatinya hancur dan dia merasa sangat lelah hidup dalam keadaan seperti ini. Rebecca merasakan beban emosional yang begitu berat dan kekosongan dalam dirinya. Dia merindukan kehangatan keluarga dan perhatian yang seharusnya diberikan padanya.
Dari balik pintu kamarnya, terdengar sayup-sayup suara seseorang yang sedang mengobrol dan berbincang asik. Rebecca pun dengan jelas mengenali sosok suara itu sebagai suara Ibu Anna dan Ibu Dian yang merupakan adiknya Ibu tiri dari Rebecca.
"Itu suara Ibu Anna dan Ibu Dian. Aku akan mencoba menggedor pintunya lagi," pikir Rebecca.
Dengan sisa tenaganya yang tersisa, Rebecca mengumpulkan kekuatannya dan mencoba menggedor pintu kamar itu sekali lagi. Dia berharap dengan segenap hati bahwa Ibunya dan adiknya Ibu Dian akan mendengar dan membukakan pintu kamar untuknya.
Dug! Dug! Dug! Dug!
"Ibu, Becca mohon buka pintunya. Becca sangat lapar, Ibu. Penyakit asam lambung Becca kambuh, dan Becca perlu makan dan minum obat," Rebecca memohon dengan suara lemah.
Rebecca berusaha menjelaskan kondisinya kepada Ibunya, bahwa penyakit asam lambungnya kambuh dan dia membutuhkan makanan dan juga obat untuk meredakan gejala tersebut.
"Anak itu sangat berisik sekali, Kak," ucap Ibu Dian dengan rasa risih terhadap ulah Rebecca.
"Alah, Dian, biarkan saja!" balas Ibu Anna dengan sikap yang cuek.
Rebecca mendengar percakapan tersebut dari balik pintu kamarnya. Hatinya terasa hancur mendengar reaksi ibu dan adiknya terhadap situasinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments