Rebecca mengerjapkan matanya setelah pingsan begitu lama, gadis itu menatap sekitar dan merasa kebingungan.
"Bagaimana aku bisa ada di rumah sakit?" gumamnya pelan.
Justin yang sedari tadi sibuk memainkan ponselnya, menoleh ke arah Rebecca.
"Syukurlah lo sudah sadar," ucap Justin, berjalan menghampiri Rebecca.
"Kamu siapa?" tanya Rebecca terkejut, saat Justin sudah ada di hadapannya.
"Kenalkan, nama gue Justin," ucapnya, mengulurkan tangan untuk berkenalan.
Rebecca menatap sejenak tangan Justin, yang mengajaknya bersalaman.
"Aku Rebecca, kamu bisa memanggilku Becca," balas Rebecca, menyambut uluran tangan Justin.
"Apa kamu tahu kenapa aku bisa berada di sini?" tanya Becca, menatap Justin.
"Gue lihat lo di trotoar dengan dahi yang sudah berlumuran darah, jadi gue bawa lo ke sini," ucap Justin, memberikan penjelasan.
Becca mencari jam tangan miliknya yang tidak ada di tangannya. Justin, yang mengerti, memberikan jam tangan tersebut yang dia simpan di saku baju miliknya.
"Lo cari ini kan?" ujarnya sambil menyerahkan jam tersebut.
"Terima kasih, Justin," ucap Becca sambil mengambil jam tangannya.
Rebecca melihat jam tangannya dan terkejut saat melihat bahwa jam tersebut menunjukkan bahwa sudah sore.
"Aku harus pulang, Justin," ucapnya.
"Tapi lo masih sakit, Becca. Lo gak bisa pergi dari rumah sakit," ucap Justin sambil menghadang Becca untuk tidak pergi.
Tapi Rebecca bersikeras ingin pergi, saat ia mencoba menggeser tubuhnya untuk turun, ia merasakan sakit yang sangat hebat ketika menggeser kaki kirinya.
"Aduh! Kakiku sakit sekali," ucapnya sambil meringis kesakitan.
Justin segera menolong Rebecca dan membantunya berbaring kembali.
"Kaki ku kenapa, Justin?" tanyanya.
"Tulang kaki lo retak, Becca, dan kaki kiri lo harus dipasang gips. Proses penyembuhannya akan memakan waktu 4-5 bulan," ucap Justin dengan penuh perhatian.
Rebecca menangis mendengar penjelasan Justin, dia memperhatikan kakinya yang sudah terbalut gips.
"Kenapa Leon jahat padaku? Kenapa dia membuatku seperti ini?" ucapnya sambil menangis.
Justin menatap Rebecca dengan penuh kasihan. Dia ingin mendekap Rebecca untuk memberikan dukungan, namun merasa sungkan karena mereka baru saja kenal.
"Sabar, Becca. Lo harus kuat. Lo harus menjalani ini semua dengan ikhlas," ucap Justin dengan penuh kesabaran.
Rebecca menatap Justin dengan tatapan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Justin, karena telah membantuku. Aku akan menabung untuk membayar ganti rugi uangmu selama aku berada di sini," ucapnya dengan tekad.
"Tidak usah dipikirkan, Becca. Mama gue dengan senang hati akan membantu lo," ucap Justin dengan tulus.
"Ucapkan terima kasihku pada Tante Melani, Justin. Aku harap bisa bertemu dengannya di lain waktu," ucap Becca sebelum turun dari mobil Justin.
Gadis itu diantar oleh Justin pulang ke rumah setelah perdebatan panjang mereka berdua mengenai kondisi Rebecca. Akhirnya, Justin pun mengalah dan mengantarkan Rebecca setelah pihak rumah sakit menyetujui kepulangannya, dengan perjanjian bahwa dia harus konsultasi setiap dua minggu sekali untuk memantau perkembangan kesehatan tulangnya.
"Iya, Becca. Bakal gue sampaikan terima kasih lo," ucap Justin sambil tersenyum.
Lalu Justin membuka pintu mobilnya dan menghampiri Becca yang hendak turun. Lelaki itu dengan sabar membantu Becca turun dari mobil.
"Terima kasih, Justin," ucap Becca sekali lagi.
"Sama-sama. Kalau begitu, gue pamit pulang dulu ya," ucap Justin.
Justin kembali ke dalam mobilnya dan meninggalkan Becca yang masih berdiri, menunggu kepergiannya. Di sisi lain, seseorang tengah mengintip dari balkon kamarnya, memperhatikan interaksi yang baru saja terjadi antara Rebecca dengan lelaki yang tidak dia kenal.
"Gila banget tuh cewek, jelek gitu aja sok kecantikan banget." ucap Leon kesal
Rebecca masuk ke dalam rumah dengan tertatih. Dia berharap Beni dan yang lainnya tidak ada di rumah agar dia bisa beristirahat dengan tenang.
"Non Becca, kenapa non? Kok dahi dan kaki non seperti ini?" tanya Bi Asih dengan paniknya.
"Becca gak apa, Bibi. Cuma ada insiden sedikit," jawab Becca dengan tenang.
"Ya sudah, Non. Ayok, biar Bibi antar ke kamar," ucap Bi Asih.
Rebecca pun menerima bantuan dari Bi Asih. Dengan tertatih, dia berjalan ke kamarnya agar bisa beristirahat.
"Ayah dan yang lainnya pergi ke mana, Bibi? Kok mereka tidak ada?" tanya Rebecca, menyadari ketidakadaan anggota keluarganya yang lain.
Bi Asih menjawab dengan lembut, "Mereka sedang pergi ke acara keluarga di bogor, Non. mungkin dua hari lagi mereka akan pulang."
Rebecca mengangguk dengan lelah, memahami penjelasan Bi Asih, dan masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.
Di dalam kamar, Becca merenung dan mengingat ucapan Bi Asih barusan. Kedua orangtuanya dan adiknya pergi meninggalkannya, padahal keluarga Justin sudah menghubungi mereka tentang musibah yang dialami oleh Rebecca.
"Aku sama sekali tidak penting bagi Ayah," ucapnya dengan suara lemah, merasa sedih dan terabaikan.
Sebenarnya, Becca masih memiliki seorang ibu kandung bernama Nina. Nina, wanita yang telah melahirkan Rebecca, memiliki sikap yang sama seperti Beni, yang tidak mengharapkan kehadirannya di dunia ini. Nina sama sekali tidak menginginkannya, bahkan saat dia datang ke rumahnya, Nina seakan tidak peduli bahkan mengusirnya.
"Untuk apa aku dilahirkan jika tidak dianggap oleh siapapun? Apakah karena aku anak hasil dari kesalahan?" ucap Becca dengan suara terisak. "Ayah dan Bunda begitu tega tidak menganggap aku ada."
Becca merasa sedih dan kecewa dengan perlakuan orangtuanya yang tidak menghargai kehadirannya. Dia merasa seperti menjadi beban dan meragukan nilai dirinya sebagai anak.
Pagi hari telah tiba, dan Becca memaksakan diri untuk pergi ke sekolah hari ini. Dia merasa lega karena bisa tidur pulas tadi malam tanpa gangguan dari siapapun, termasuk adiknya Nayla.
Meskipun masih merasa sedih dengan perlakuan orangtuanya, Becca mencoba untuk melanjutkan kehidupannya dan fokus pada pendidikan. Dia berharap hari ini akan menjadi hari yang lebih baik.
"Selamat pagi, Non Becca yang cantik," ucap Bi Asih sambil meletakkan sepiring nasi goreng spesial lengkap dengan ayam goreng, makanan kesukaan Becca.
Becca tersenyum dan berterima kasih kepada Bi Asih atas perhatiannya. Meskipun masih merasa sedih, kehadiran Bi Asih memberikan sedikit kehangatan dan dukungan dalam hidupnya.
"Ini, Non, sarapannya. Dimakan ya!" ucap Bi Asih.
"Terima kasih, Bibi," balas Becca sambil tersenyum.
Dengan lahap, Becca menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Dia sangat senang bisa menyantap ayam goreng, yang sangat jarang dia bisa nikmati. Rasanya membuatnya merasa sedikit lebih baik di pagi hari ini.
Setelah sarapannya habis, Becca beranjak pergi ke sekolah dengan tertatih. Dia menggunakan tongkat yang dipinjamkan oleh Justin kemarin untuk membantunya berjalan.
Meskipun masih merasa lemah dan kesakitan, Becca berusaha untuk tetap semangat dan melanjutkan kegiatan sehari-harinya. Dia berharap bisa menghadapi tantangan ini dengan tekad yang kuat.
"Kau harus kuat, Becca. Ini semua demi cita-citamu," ucap suara lembut dalam pikiran Becca.
Tin! Tin!
Klakson mobil membuat dia menoleh ke arah mobil yang telah mengklaksonnya.
"Becca, ayo masuk. Biar gue antar lo ke sekolah!" panggil Justin dari dalam mobil.
"Tidak usah, Justin. Sekolahku sudah dekat," tolak Rebecca dengan sopan.
Dia tidak ingin menyusahkan Justin dan membuatnya terlambat pergi ke sekolahnya sendiri. Dia belum menyadari bahwa Justin akan bersekolah di tempat yang sama dengannya.
Justin membuka pintu mobilnya dan mendekati Becca yang masih terdiam di tempatnya.
"Udah, ayo. Biar gue antar," ajak Justin dengan memaksa.
"Tapi nanti kamu bakal terlambat kesekolah Justin," tolak Rebecca lagi.
"Gak bakal, tenang aja. Semua bakal baik-baik aja." ucap Justin menyakinkan Rebecca.
Gadis itu ragu sejenak, namun melihat ketegasan dan kepedulian Justin, dia akhirnya mengangguk setuju. Dia merasa lega memiliki seseorang yang peduli dan siap membantunya.
"Baiklah, aku akan ikut denganmu." ucapnya pasrah.
Justin tersenyum senang, lelaki itu membantu Rebecca menuju mobilnya dan mereka pun berangkat ke sekolah bersama-sama.
Dari kejauhan, seseorang menatap dengan rasa kesal pada kedua orang di depannya.
"Sialan, tuh cewek ganjen banget!" umpatnya kesal.
Leon merasa kesal pada Rebecca, yang terlihat sok menarik perhatian siapapun. Hal ini membuatnya merasa bingung dan cemas terhadap perasaannya sendiri. Dia bertanya-tanya mengapa dia merasa kesal terhadap gadis tersebut, padahal Rebecca hanya menjadi pacar taruhannya.
"Awas aja entar, habis lo ditangan gue!" umpatnya kesal.
Lelaki itu menjalankan motornya kembali dan pergi ke sekolah dengan perasaan kesal yang masih menghantui pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments