Brak!
Rebecca dan Justin terkejut saat Ibu Dian menggebrak meja didepannya, wanita itu dengan tatapan sangar melihat kearah Rebecca maupun Justin.
"Tahu kah apa kesalahan kalian berdua?" tanya Ibu Dian dengan nada marah.
"Ya, tahu, Bu. Lagian kita tidak melakukan apa-apa, kenapa harus dibesar-besarkan?" ucap Justin merasa jengah.
"Diam, kamu Justin!" bentak Ibu Dian.
Rebecca hanya diam menunduk. Dia takut jika Ibu Dian mengadu pada ayah maupun ibunya.
"Kali ini saya maafkan kamu, Justin. Tapi jika hal ini terulang kembali lagi, saya tidak segan-segan mengeluarkanmu dari sekolah ini," ucap Ibu Dian.
"Silakan keluar!" perintah Ibu Dian.
"Ayo, Becca, kita keluar," ajak Justin pada Rebecca yang duduk di sampingnya.
"Kamu saja," ucap Ibu Dian dengan tegas.
Rebecca melihat ke arah Justin dan memberi kode agar lelaki itu menuruti perintah Ibu Dian.
Justin yang mengerti kode tersebut akhirnya keluar dari ruang kepala sekolah dengan rasa kesal.
"Dasar nenek lampir," gumamnya kesal.
Lelaki itu berdiri tepat di dekat pintu ruang kepala sekolah. Dia ingin mendengar hukuman apa yang akan diterima Rebecca, karena sedari tadi Ibu Dian selalu menyudutkan gadis itu.
Setelah Justin pergi, tinggal lah Rebecca dan Ibu Dian. Kemudian Ibu Dian menghampiri Rebecca dan berdiri tepat di depan gadis itu.
"Saya tidak menyangka kamu akan mencoreng nama baik sekolah ini. Jika saya tahu tingkah kamu seperti ini dari awal, kamu sudah saya tolak saat Kak Beni meminta kamu bersekolah di sini," ucap Ibu Dian dengan ekspresi marahnya.
Rebecca tidak setuju dengan tuduhan itu,"Maaf, Bu, tapi saya dan Justin tidak melakukan hal seperti itu. Kami hanya mengobrol dan saling menguatkan satu sama lain."
"Ah, tidak ada maling yang mau mengaku. Kamu mencerminkan wajah ibumu, wanita murahan! Merebut kekasih kakakku, melahirkan dirimu, lalu setelah itu kamu lahir tidak cantik dan bodoh. Akhirnya kamu disia-siakan oleh kedua orangtuamu." ungkap Ibu Dian tentang masalalu Rebecca.
Rebecca diam, tidak menyangkal. Dia memang lahir sebagai kesalahan.
"Mulai hari ini, kamu tidak lagi bersekolah di sekolah ini. Silakan pergi dari sekolah ini dan jangan pernah kembali," ucap Ibu Dian tanpa ada rasa kasihan.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Rebecca menolak ucapan Ibu Dian barusan.
"Maafkan saya, Ibu Dian, tapi jangan keluarkan saya dari sekolah. Saya mau tetap sekolah, Bu. Saya ingin menuntut ilmu dan menjadi orang pintar," ucap Rebecca hingga menangis pilu.
"Silakan pergi, saya tidak menerima gadis banyak tingkah seperti dirimu!" tunjuk Ibu Dian ke arah pintu agar Rebecca segera pergi dari ruangannya.
"Tidak mau, saya berjanji, Bu, tidak akan berbuat seperti ini lagi. Saya mohon ampun," pinta Rebecca tidak henti-hentinya.
Ibu Dian tidak menerimanya. Wanita itu membuka pintu dan menyuruh Rebecca keluar.
"Silakan keluar, keputusan saya tidak dapat diubah. Kamu sudah mencoreng nama baik sekolah ini, dan sekarang silakan pergi!"
Rebecca menghampiri Ibu Dian dan gadis itu bersujud di hadapan wanita itu. Dia hanya meminta ampun. Dia takut jika ayahnya mengetahuinya, maka habislah dia nanti.
Ibu Dian menarik kasar tangan Rebecca, kemudian dia menyeretnya keluar.
Brak!
Ibu Dian menutup pintu ruang kepala sekolah dengan kuat, dan menguncinya agar Rebecca tidak dapat masuk.
"Ibu Dian, saya mohon jangan lakukan hal ini," ucapnya sambil menangis.
Justin yang duduk segera berdiri dan menghampiri Rebecca.
"Becca, ada apa?" tanya Justin dengan khawatir.
"Aku dikeluarkan dari sekolah, Justin. Aku takut," jawab Rebecca dengan tubuh bergetar hebat.
Justin memeluk Rebecca memberi kekuatan. Dia tidak terima dengan hukuman ini. Lelaki itu mencoba menggedor ruang kepala sekolah, tapi Ibu Dian tidak bergeming.
"Buka pintunya, Ibu Dian! Kita harus bicara!" teriak Justin berbicara di depan pintu.
Justin tidak menyangka bahwa dunia ini tidak pernah adil pada Rebecca. Apa salah gadis itu hingga semua orang membencinya?
Justin menatap Rebecca dengan tatapan kasihan. Lelaki itu mendekati Rebecca dan mencoba menenangkan dia.
"Tenanglah, gue bakal bantu lo."
Waktu pulang sekolah telah tiba, Justin berjalan menuju meja Leon.
"Pacar lo dikeluarkan dari sekolah," ucap Justin memberi tahu kondisi Rebecca.
"Karena kasus lo mesum sama dia, kan?" tanya Leon dengan nada menyindir.
"Gue tidak mesum sama dia. Gue dan Becca di taman belakang hanya mengobrol dan saling mendukung satu sama lain. Jadi semua yang dituduhkan ke gue dan Becca salah," ucap Justin menjelaskan.
Leon dengan tatapan tidak perdulinya, pergi mengambil tas miliknya dan jalan melewati Justin.
"Percuma lo ngomong sama Leon, dia itu cuma jadikan Rebecca pacar taruhannya," celetuk Nesya yang belum pulang.
Justin menatap ke arah Nesya. "Maksud lo apa?"
"Iya, Rebecca cuma jadi pacar taruhan Leon. Leon gak benar-benar cinta sama si gendut."
"Sialan!" umpat Justin marah.
Bisa-bisanya Leon menjadikan Rebecca bahan taruhan, bersama dengan sahabat-sahabatnya yang lain.
Lelaki itu langsung pergi dan ingin menyusul Leon, dia butuh memberi pelajaran pada lelaki kurang ajar barusan.
Rebecca keluar dari kelasnya dengan wajah yang lesu. Ini adalah hari terakhirnya bersekolah karena besok gadis itu tidak akan bersekolah lagi.
Dengan menggendong tas usangnya, Rebecca menyusuri koridor yang masih ramai. Beberapa siswi dan siswa masih membicarakan tentang dirinya, tapi seakan dia tidak begitu perduli.
Yang dia pikirkan sekarang adalah, amukan dari ayahnya yang pasti akan lebih berkali lipat dari yang biasanya.
Rebecca meninggalkan sekolah dengan perasaan yang sedih. Dia ingin berlindung dan mengadu, entah dengan siapa, karena semua orang tidak menginginkan keberadaannya.
Gadis itu berjalan pelan menyusuri jalanan ibukota yang berlawanan arah dengan jalanan menuju ke rumahnya.
"Aku harap Bunda bisa menerima kehadiranku," gumamnya penuh harap.
Besar sekali harapan Rebecca pada Nina. Dia ingin Nina bisa menerimanya, tapi dia merasa kurang yakin karena Nina sangat menyayangi anak dari suami barunya.
Tiba di depan pagar rumah Nina, Rebecca bertemu dengan seorang satpam yang mengenalinya.
"Aduh, Mbak, kenapa kemari sih? Saya takut dimarahi sama Ibu!" ucap satpam itu tidak suka.
"Maaf, Pak, saya ingin bertemu Bunda. Apa Bunda ada?" tanya Rebecca.
"Tidak ada, Mbak. Sudah pulang ya, saya tidak mau dimarahi lagi sama Ibu dan Bapak Dirga," usir satpam tersebut.
"Saya mohon, Pak, ada sesuatu yang ingin saya katakan sama Bunda. Saya mohon sekali," pinta Rebecca sambil menangis.
Tapi lagi-lagi satpam tersebut tidak menggubrisnya. Lelaki itu malah keluar dari pagar dan menyeret Rebecca pergi dari kediaman Nina.
"Pak, saya mohon, sebentar saja."
"Tidak bisa, Mbak, saya mohon maaf."
Dengan derai air mata, Rebecca menangis pilu. Dia harus berbesar hati bahwa lagi-lagi dia gagal bertemu dengan Nina, sang ibu kandung.
Dengan perasaan putus asa, Rebecca pun memutuskan untuk pergi. Gadis itu berjalan tanpa tujuan, dia tidak berani pulang karena takut jika ayahnya telah menunggunya.
Hingga tiba di atas jembatan penyeberangan, Rebecca memandang ke bawah jembatan dan melihat padatnya kendaraan yang berlalu lalang.
"Sepertinya hidup mereka sangat menyenangkan, tidak sama seperti aku yang sangat menyedihkan," gumamnya pelan.
Gadis itu mencoba tersenyum menerima semua cobaan ini. Dia berusaha menjadi Rebecca yang kuat tapi kali ini dia tidak bisa, Rebecca menyerah dia sudah lelah berada didunia ini seorang diri dan tidak ada yang memperdulikannya.
Rebecca mencoba menaiki pembatas jembatan, dia ingin mengakhiri hidupnya yang tidak pernah berpihak padanya.
"Aku rasa ini adalah jalan terbaik bagiku, terimakasih Tuhan karena telah memberiku kesempatan mencicipi manis pahitnya hidup ini. Maaf jika keputusan ini akan mengecewakanmu, tapi aku rasa ini jalan terbaik bagiku." kata Rebecca penuh putus asa.
"Aaaarghh!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Bian
Sumpah greget!!
2024-01-05
1
Ria Nasution
aduh Justin bawalah Rebecca pergi sejauh mungkin dan tinggalkan lingkungan dan buat dia pergi keluar negeri dimana semua pihak keluarga toxic itu tidak termasuk Leon tidak dapat menemukan nya.
2024-01-04
1