Rinamenghampiri dan membujuk Rehan agar tenang dan kami pun pergi meninggalkan tempat itu.
"Mah, ... aku benci papa...!" ucap Rehan.
Rina hanya bisa terdiam. "Lihatlah, Mas. Kini putramu juga sudah membenci dirimu. Kenapa kamu masih belum mau berubah. Apa salahku, apa salah kami. Mengapa kamu tega menyakiti hati kami semua."
***
POV Rina....
Semenjak kejadian di rumah makan itu, Rehan tak pernah lagi menyebut - nyebut papanya.
Dia juga tak pernah lagi menanyakan papanya. Bahkan, dia sampai memarahi adiknya ketika Arsy menangis dan memanggil - manggil papanya.
Sampai hari ini Tyo belum juga pulang. Entah dia tinggal di mana saat ini. Apakah dia tinggal di rumah kedua orang tuanya atau di rumah wanita itu.
Aku sebenarnya kecewa atas sikap Mas Tyo yang sangat pengecut dan tak juga bertanggung jawab.
Seharusnya dia pulang dan menyelesaikan masalahnya denganku.
Aku masih mencoba untuk bertahan dengan rumah tangga yang seperti ini. Semua demi anak - anak. Mereka masih memerlukan sosok Mas Tyo sebagai sosok kepala keluarga.
Aku mencoba menasehati anak - anakku agar jangan membenci papanya.Terutama kepada Rehan. Kulihat dia yang paling terluka karena melihat papanya dengan wanita lain.
Aku sudah berusaha untuk menyembunyikan kebusukan Mas Tyo. di depan anak - anak. Walaupun kini aku tahu bahwa Mas Tyo memiliki hubungan dengan wanita lain di luar sana.
Tapi yang terjadi, kenyataan berkata lain, Rehan melihat dan menyaksikan sendiri pengkhianatan yang dilakukan papanya. Bocah yang hampir genap delapan tahun itu nyatanya sudah mengerti bahwa yang dilakukan papanya adalah sebuah pengkhianatan.
***
Hari ini hari Minggu. Selesai memasak dan memberi makan anak - anaknya. aku bersiap - siap untuk keluar rumah.
Hari ini ada tetangganya yang minta dijualkan kuenya. Aku pun menerima pekerjaan ini. Lumayan hasilnya buat jajan Rehan dan Arsy, pikirku.
"Rehan, jaga adikmu. Mamah mau pergi jualan dulu. Nanti kalau adikmu atau kamu mau jajan, uangnya mama simpan di bawah teplak meja,.." pesanku pada Rehan.
"Iya, Mah..." jawa Rehan. Saat ini dia sedang asyik bermain bersama adiknya.
Aku pun pergi meninggalkan rumah untuk berjualan kue. Bermacam-macam kue yang kubawa kali ini. Aku menjajakan kue - kue tersebut dengan berjalan kaki dari rumah ke rumah dan di sepanjang pertokoan dan juga pinggir jalan.
Aku berjualan untuk menghibur hati. Karena jika terus - terusan di rumah dia bisa stres bahkan mungkin juga sudah bunuh diri.
Maka dari itu untuk menenangkan hatiku, aku mengerjakan apa saja. Karena dengan bekerja, sedikit banyak aku bisa melupakan sejenak rasa sakit hatiku ini.
Rasa lelah yang aku rasakan tak sebanding dengan rasa sakit di hatiku yang aku sendiri pun tak tahu bagaimana sudah bentuknya. Terluka dan tercabik-cabik.
Aku tak tahu bagaimana caranya agar hati ini bisa tenang kembali tanpa bekerja. Padahal, saat bekerja, pikiranku juga kadang suka melamun.
Rasanya serba salah. Tubuhku selalu saja bergetar, jika mengingat perkataan wanita itu. Hatiku semakin sakit saja, jika mengingat kembali semua perlakuan kasar suamiku. Dan aku merasa semakin sakit jika mengingat perselingkuhan yang terjadi di kamar tidur kami.
Ohh, iya. sejak malam itu aku tak pernah lagi tidur di kamar. Aku sekarang lebih memilih tidur di ruang tamu bersama anak - anakku.
Apa salahku, kenapa dia memperlakukan aku seperti ini. Jika memang dia tak menginginkan pernikahan ini, kenapa dia tidak menolakku. Dia memilih menduakan aku dan memperlakukan diriku dengan kasar seperti pembantu saja. Dia tak pernah menghargai aku sebagai istri.
"Matamu dimana? " bentak seseorang menyadarkanku dari lamunan.
Aku menoleh dan mendapati seorang pria yang sedang mendorong kereta bayi, sedang melotot menatap padaku. Buru - buru aku minta maaf kepada pria itu.
"Maaf, sekali lagi maafkan saya, Mas. Saya melamun tadi." ucapku.
Pria itu tak berucap tapi malah menatap ku lama, lalu berseru.
"Rina!.....Kamu Rina, kan? " tanya pria itu sambil mencoba menyakinkan dirinya bahwa itu memang benar dirinya, Rina. Aku mengangguk pelan dengan sedikit heran.
" Iya, saya Rina. Tapi Mas ini.. siapa, ya?" aku bertanya karena bingung. Bagaimana bisa pria itu mengenali diriku, sedang aku saja tak mengenalnya.
" Ya ampun, Rina. Masa lupa sama aku? Aku Devan, teman kamu waktu di SMP dulu." jawab pria itu.
Aku mengingat - ingat nama Devan dalam daftar nama semua teman - temanku semasa duduk di bangku SMP.
Ingatanku tertuju pada seorang anak lelaki berpenampilan cupu dan berkaca mata yang duduk tepat di belakang tempat duduk.
"Kamu anak laki-laki yang duduk di belakangku, kan? " tanyaku memastikan.
"Benar sekali. Ternyata kamu masih ingat sama aku." jawab Devan.
" Iya, bagaimana aku bisa lupa, kamu kan yang selalu bantuin aku kalau aku kesulitan saat menjawab soal - soal ulangan matematika yang diberikan oleh Pak Adnan, guru matematika kita yang galak dulu."
Aku tersenyum saat ingat kejadian dulu sewaktu duduk di kelas XIII, bangku SMP. Aku dan Devan harus rela di suruh menulis sebanyak lima ratus kata " saya minta Maaf " karena kedapatan bekerja sama saat mengerjakan tugas matematika dari pak Adnan.
"Kita selalu dihukum berdua. Aku ingat dulu tangan kamu sampai bengkak karena kecapean nulis." kata Devan lagi.
"Hhm,. iya. terus kamu rela menukar tulisan kamu dengan tulisan aku.. Padahal tulisan aku saat itu belum selesai.. " ucapku.
"yah,..gimana... Habisnya kamu sudah mau nangis. Aku kan paling tak tega kalau lihat cewek nangis.Apalagi yang nangis itu kamu... " kata Devan lagi.
Devan dan aku tertawa bersama. Lucu rasanya mengingat semua kejadian - kejadian yang konyol yang terjadi saat - saat kita bersama dulu di bangku SMP.
Kenakalan remaja memang. selalu lucu dan terkadang menggemaskan. Sulit untuk dilupakan.
" Kamu sudah menikah?" tanya Devan.
Aku tertegun mendengar pertanyaan Devan. Senyum manisku mendadak lenyap saat aku menyadari apa yang telah terjadi dalam pernikahanku. Kehidupan rumah tanggaku.
Aku meringis ketika mengingat mengapa aku bisa sampai ke tempat ini. Mengapa aku yang tanpa sadar berjalan jauh seorang diri dengan hati yang gundah sambil menjajakan aneka kue. Dan yang paling membuat aku tersentak adalah anakku, ya.. anak - anakku.
"I.. iya. Aku sudah menikah dan punya dua orang anak." jawabku dengan gugup.
" Wah, hebat dong! Selamat, ya!" kata Devan sambil tersenyum, ....hambar.
"Makasih?" Aku menatap ke arah balita dalam kereta bayi tadi "Ini anak kamu?"
" Hmm, Ini anak..... " belum selesai Devan menjawab pertanyaanku seorang wanita cantik memanggil namanya.
"Devan, Wah.... rupanya kalian disini! " sebuah suara lembut menyapa telinga kami.
Devan segera mendatangi dan menyerahkan balita yang sedang tertidur di dalam kereta kepada wanita cantik itu.
"Apa dia rewel, tadi? " tanya wanita itu.
Devan menggeleng saat menjawab pertanyaan wanita cantik itu.
Aku merasa tak enak hati. Segera saja aku pamit, mohon diri dan berbalik pulang menuju ke rumah. Lagi pula hari sudah sore.
"Rina, tunggu! " ku dengar suara Devan memanggilku. Aku pun berbalik dan menoleh.
"Iya, ......ada apa? " tanyaku heran.
"Boleh aku minta nomor teleponmu?" tanya Devan sambil tersenyum. Aku melirik tak enak pada wanita di belakang Devan.
"Tak apa - apa, dia tak akan marah. Bolehkan aku minta nomor teleponmu?" tanya Devan penuh harap sambil menyodorkan handphone.
Aku tak tega dan akhirnya dengan terpaksa aku memberikan nomor Whatsappku padanya.
Mata Devan berbinar saat selesai aku menuliskan nomorku. Segera dia menyimpan nomorku di whatsappnya.
" Terima kasih, Rina. Aku akan segera menghubungimu." kata Devan.
"Sama - sama. Kalo gitu aku pulang dulu karena hari sudah sore.." kataku.
"Jalan kaki?"
Aku kembali mengangguk.
"Aku antar, ya?" tawar Devan.
"Nggak usah, Dev! Sudah dekat, kok! " tolakku halus. Sungguh mati, aku merasa tak enak hati pada wanita cantik di belakang Devan yang dengan sabar menunggu Devan selesai bicara denganku.
Aku berlalu pergi meninggalkan Devan yang masih saja menatap kepergianku dengan tatapan yang aneh.
Sepulang dari mengantar uang hasil jualan kue, aku menyempatkan diri singgah ke warung untuk membeli beras satu kilo dan mie instan.
Upah hasil jualan kue hari ini lumayan besar. Cukup untuk membeli sekilo beras dan dua bungkus mie instan. Itulah yang kupakai sebagai lauk campur nasi. Yang penting perut kami kenyang.
Disamping itu aku masih mendapatkan kue sisa dari pemilik kue yang bisa dimakan oleh anak-anakku di rumah.
Tadi pagi selesai bekerja di pasar, aku menyempatkan diri singgah ke rumah Amel untuk mencuci dan mengerjakan pekerjaan rumah di rumah Amel.
Lalu saat pulang, biasanya dia memberiku uang lima puluh ribu rupiah sebagai pengganti uang lelah katanya. Lumayan.... buat jajan anakku. Sebagian kusimpan buat cadangan jika ada keperluan yang mendadak.
"Mina, kemana saja kamu seharian? Rumah di biarkan berantakan, nggak diurus. Kerjamu hanya keluyuran saja, nggak jelas. Dasar istri nggak berguna!" bentak Mas Tyo sesampainya aku di rumah.
Rupanya Mas Tyo sudah pulang dari tadi. Aku melihat ke arah Rehan yang berdiri menatap ayahnya dengan waspada.
"Rehan, ....Arsy .... masuk ke kamar. Rehan kerjakan PR kamu.!"
Tanpa disuruh dua kali, kedua anakku itu langsung beranjak pergi ke kamar.
"Akhirnya kamu pulang juga, Mas. Untung saja kamu masih ingat jalan pulang. Aku pikir kamu sudah lupa...?" sindirku.
Mas Tyo diam tak menyahut. Dia sepertinya sedang memikirkan untuk berucap sesuatu.
"Rina, .... Mas mau mau menikah dengan Rindu pada hari Minggu ini." ucap Tyo pelan tapi seperti sambaran geledek di telingaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Ida Has
dasar bucin gregetan banget bacanya, demi anak2 tp bpknya merasa ga punya anak bulsit
2024-06-17
0
Sunarmi Narmi
Kmu bertahan demi rumah tangga yg tidak sehat Rin...
mental anak" mu yg hancur....sadar R I N A......
2024-04-13
0