Bab. 03

Pukul 10.30, seperti biasa Rina sudah pulang dari pasar. Rina pulang sekalian menyempatkan diri untuk  menjemput Rehan di sekolahnya.

Sesampainya di rumah Rina pun bergegas beranjak ke dapur untuk memasak dan menyiapkan makan siang untuk mereka semua.

Saat ini Rina masih bersabar dan menahan diri. Dia mencoba untuk bersikap biasa saja terhadap Tyo, terutama di depan anak - anak walaupun kini dia tahu bahwa Tyo memiliki hubungan dengan wanita lain di luar sana.

Selesai memasak dan memberi makan Rehan dan Arsy. Tak lupa juga dia menyiapkan makan siang untuk Tyo. Biarpun marah dan kecewa dengan perlakuan Tyo, namun dia tak ingin melalaikan kewajiban sebagai istri.

Kurang dari pukul 12.00   Bramantyo pulang. Seperti biasa, Rina tetap melayani suaminya itu selayaknya seorang istri. 

Rina menyambut Tyo dan membukakan pintu untuk suaminya tersebut. Dia juga masih menyiapkan makan siang untuk Bramantyo.  

Dengan sabar Rina mengambilkan nasi beserta lauk pauknya untuk Tyo. Hanya saja, kali ini dia melakukan semua itu tanpa banyak bicara lagi seperti biasanya. Juga tanpa senyum. 

Sikap dinginnya itu sedikit membuat Tyo heran. Menyadari tak seperti biasanya Rina diam seperti ini membuat Tyo langsung bertanya.

“Ada apa..?” Tanya Tyo dengan wajah kaku.

“Ngak ada apa - apa, Mas. Aku hanya sedikit lelah saja.” Jawab Rina.

Tyo mencibir mendengar jawaban Rina.

“Lelah apa.? Orang kamu kerjanya di rumah hanya masak dan ngurus anak. Banyak wanita di luar sana yang harus bekerja dan mengurus rumah tangga serta anak - anaknya, tapi mereka tak pernah mengeluh. Kamu saja yang tidak becus dan lembek. Dasar perempuan tak berguna. Begitu saja sudah mengeluh…” gerutu Tyo sambil berlalu dari hadapan Rina.

Rina hanya bisa menggeleng kepala dan mengurut dada menahan perih yang menusuk di hatinya. 

Begitulah Tyo, tak pernah bermulut manis kepada Rina. Dimatanya apapun yang Rina lakukan selalu salah dan selalu saja tak pernah baik. 

Sakit rasanya karena selalu di banding - bandingkan dengan perempuan lain. Dikatakan perempuan tak berguna. Jika memang tak berguna mengapa Mas Tyo masih mempertahankan hubungan ini. Apa maksud Mas Tyo sebenarnya, itulah pertanyaan yang sering muncul di dalam hati Rina.

Sejak menemukan fakta bahwa Tyo berselingkuh di belakangku, aku mulai bersikap dingin terhadap Tyo.

Dan sikap Tyo pun juga semakin kasar saja padaku dan juga kepada anak-anak. 

Biasanya walaupun marah padaku, tapi dia tak pernah kasar pada anak-anak kami. Tapi sekarang, sikap Mas Tyo sudah berubah. Kini sikap kasar Mas Tyo juga ditujukan pada anak-anak kami terutama pada Rehan, putra tertua kami. 

Pernah suatu hari, Mas Tyo marah besar karena dia harus dipanggil menghadap ke sekolah Rehan sebab putraku itu terlibat perkelahian dengan teman - temannya. 

Mas Tyo marah besar. Dia memukuli putraku itu  habis - habisan. Aku pun  mati - matian membela putraku itu walaupun tubuhku harus babak belur karena jadi tameng untuk melindungi putraku dari kemarahan Mas Tyo yang kalap. 

Itulah kali pertama  Mas Tyo menjatuhkan tangan kepada anak-anak. Rasanya aku tak percaya bahwa Mas Tyo akan setega itu pada darah dagingnya sendiri. 

Padahal dia sudah mendengar sendiri alasan mengapa putraku itu sampai berkelahi dengan temannya. 

 

 

***

 

"Kamu, ….kenapa lagi..Sejak tadi kok diam saja...? Apa ada masalah sama  anak - anak. Rehan berkelahi lagi di sekolah...?" Tanya Tyo ketus dengan mata melotot menatap Rina. Dia bertanya seperti itu karena melihat sikap Rina yang sejak tadi tak ada suara dan berdiam diri saja ketika melayaninya di meja makan. 

Rina menjawab dengan lesu. 

"Nggak, Mas. Nggak ada apa - apa. Mas Tyo kan tahu kalau Rehan itu anak yang sabar. Kemarin itu dia sampai berantem dengan temannya karena tak terima di ejek." jawabku.

Baru saja diejek begitu saja sudah marah, Dasar anak kamu saja yang pemarah.…? sentak Tyo dengan nada tinggi. 

“Mas bukan aku ingin membela putraku Tapi jika di ejek seperti itu siapapun orangnya pasti marah " Ucap Rina.

"Memangnya di ejek apa sih anak kamu itu sampai segitu marahnya..? Tanya Tyo seraya mencibir.

Rina menggelengkan kepala.Ternyata Tyo tak menyimak ucapan Rehan saat di tanya oleh kepala sekolahnya kemarin.

“Mas Tyo, Rehan itu tak terima di ejek temannya yang mengatakan bahwa dia gembel dan tak pantas sekolah di sana.”

Tyo berdiri dan beranjak pergi meninggalkan meja makan karena sudah selesai makan. Terdengar gerutuan kesal dari Tyo. "Anak sama ibunya sama saja. Sama - sama tak berguna..."

Astaghfirullah, tega banget  Mas Tyo ngomong seperti itu. Apalagi saat itu Rehan juga ada di sana. Putraku itu sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Rina mengelus dadanya mendengar ucapan suaminya.

"Kamu itu tak becus mendidik anak.. Lihat anak - anak kamu, kurus dan lusuh  seperti gembel. Wajar saja mereka mengatakan anak kamu seperti gembel. Apa saja kerjamu di rumah, cuma makan tidur saja, anak - anak nggak diurus..?"

"Mas, kamu kok ngomong seperti itu. Aku mengurus semua anak - anakku dengan baik. Pakaian mereka lusuh karena memang mereka tak punya pakaian yang layak. Mas tak pernah memberi uang lebih untuk membeli pakaian anak - anak kecuali lebaran." ucapku.

Tyo terdiam mendengar ucapan Rina. Tumben banget hari ini Rina membalas ucapan Tyo yang menyakitkan hati. Padahal biasanya dia hanya diam saja.

Memang benar apa yang aku katakan. Semenjak menikah, Mas Tyo tidak pernah membelikan aku dan anak - anak kami pakaian kecuali lebaran. Itupun hanya pakaian anak - anak saja yang dia belikan saat lebaran. Untuk aku, Mas Tyo tak pernah membelikan pakaian. Alasannya, baju lama aku masih banyak dan masih layak pakai. Lagi pula, kata Mas Tyo  aku juga nggak kemana-mana selain hanya di rumah.

Padahal, baju yang kupakai itu adalah baju - baju bekas pemberian tetangga yang iba melihat kami. Juga baju - baju yang di pakai oleh anak-anak. Semua itu adalah baju - baju bekas pemberian tetangga kami.

"alahhhh, banyak alasan.. jangan menjelekkan aku di depan anak - anak, Rina. Masih untung aku membelikan mereka pakaian. Kamu memang perempuan yang tak tahu diri. Sudah di kasih makan dan uang belanja masih saja tak berterima kasih." bentak Tyo.

Dia lalu menyambar sepatu dan tasnya lalu bersiap - siap untuk kembali bekerja.

"Sudahlah, aku mau kembali kerja. Pusing kepalaku jika di rumah. Lihat mukamu aku jadi malas untuk istirahat di rumah." Kata Tyo. Dia pun bergegas pergi. Entah mau kembali ke kantor atau kemana. Karena jam istirahat kerja masih lama.

Sepeninggal Mas Tyo, aku hanya bisa mengurut dada. Sakit hatiku diperlakukan seperti ini oleh suamiku sendiri.

Di caci maki aku puas dan terima. Di salahkan karena nggak becus jadi istri aku juga terima. Karena aku menyadari, aku wanita bodoh. Tak punya sekolah yang tinggi. Aku sekolah hanya sampai bangku SMA saja. Tapi ketika aku di khianati, aku tak bisa terima. Hatiku sakit. Seperti luka yang siram cuka.

Aku tak tahu bagaimana caranya agar hati ini bisa tenang kembali. Rasanya serba salah. Tubuhku bergetar, jika mengingat perkataan wanita itu. Semakin sakit saja ketika aku mengingat kembali semua perlakuan kasar Mas Tyo padaku.

Apa salahku, mengapa Mas Tyo tega memperlakukan aku seperti ini. Jika memang dia tak menginginkan pernikahan ini, kenapa dia tidak menolakku saja.

Dia tega mengkhianati aku setelah sekian lama memperlakukan diriku dengan kasar seperti pembantu. Ternyata ini yang aku terima setelah sekian lama menjadi istri yang tak pernah dihargai.

 

 

***

 

 

Hari ini seperti biasa Rina pergi ke pasar untuk menjual sayur olahan dan juga membantu orang - orang di pasar.

Sepulang dari pasar dia menjemput Rehan. Sebelum pulang ke rumah Rina singgah dulu ke rumah Amel, tetangganya.

Anak-anaknya dia biarkan saja bermain, sementara  dia membantu Amel membereskan beberapa pekerjaan rumah dan mencuci beberapa lembar  pakaian Amel, suami, dan Tasya, bayi mereka.

Lalu saat pulang, biasanya Amel akan memberinya sejumlah uang. Kadang lima puluh ribu rupiah kadang juga kurang. Tergantung banyak sedikitnya pekerjaan yang dia kerjakan. Kata Amel uang itu sebagai pengganti uang lelahku.

Aku bersyukur sekali atas pemberian itu. Lumayan.... buat jajan anakku. Sebagian kusimpan buat cadangan jika ada keperluan yang mendadak.

"Rina, kemana saja kamu seharian? Rumah di biarkan berantakan, nggak diurus. Kerjamu hanya keluyuran saja, nggak jelas. Dasar istri nggak berguna!" bentak Tyo sesampainya Rina dan anak-anak di rumah.

Rupanya suami Rina itu sudah pulang sejak tadi. Rina heran, mengapa Tyo marah - marah dan mengatakan kalau rumah berantakan karena tak keurus, padahal tadi saat keluar rumah dia sudah membereskan semua pekerjaan rumah dan memasak makanan.

Rina buru - buru melangkah masuk ke kamar. Ya ampun.. pantas saja mas Tyo marah - marah. Karena kamar tidur mereka lebih mirip kapal pecah. Kasur yang tadinya tertata rapi, kini berantakan dengan bantal guling kesana kemari.

Rina bergegas merapikan kembali tempat tidur mereka yang berantakan. Dia memungut bantal guling yang berhamburan di lantai. Tanpa sengaja netranya menangkap sesuatu yang teronggok di lantai di dekat kasur tempat tidur mereka.

" Apa ini?" pikirnya seraya memungut benda kecil itu.

"Astaghfirullahalazim!" Pekik Rina seraya menutup mulut. Matanya berkaca - kaca menatap benda berbentuk segitiga itu dengan tatapan tak percaya dan juga hati yang terluka.

 

Terpopuler

Comments

Ida Has

Ida Has

nda modal

2024-06-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!