Intan menarik Abraham bersembunyi di antara kontainer-kontainer yang berjejer rapat, berusaha menemukan celah kecil untuk menghindari deteksi. Napas mereka terengah-engah setelah berlari cukup jauh dari pemecah gelombang, dan ketegangan di udara membuat Abraham semakin cemas. Ia menatap Intan dengan penuh kekhawatiran, pikiran buruk melayang-layang di benaknya tentang kemungkinan terburuk yang mungkin akan mereka hadapi.
"Tenanglah, semua pasti akan baik-baik saja," seolah Intan berusaha menenangkan Abraham melalui tatapannya. Dengan lembut, ia menggenggam tangan kanan Abraham, memberi semangat di tengah kepanikan.
Sebuah suara memecah keheningan. "Sial!" teriak salah satu pria yang berdiri tak jauh dari mereka, menendang batu-batu kecil di tanah.
"Kenapa perempuan itu bisa mati segampang itu?" ujar pria lain, mengepalkan tangannya dengan marah. Suara ketiga pria itu menggema di malam yang sepi, mengisi udara dengan ketegangan.
"Jadi, bagaimana sekarang?" tanya pria lain dengan nada yang lebih tenang. Ia tampak lebih berwawasan, berusaha meredakan ketegangan di antara mereka.
"Bagaimana lagi? Kita harus melaporkannya pada bos," jawab pria yang berusaha menahan emosinya.
"Gila kau! Jika bos tahu kita tidak berhasil mengambil barang itu, bisa-bisa besok kita tidak bernapas lagi," bentak pria yang masih mencari sasaran kemarahannya setelah menendang batu-batu kecil.
"Memangnya kau punya cara lain untuk mendapatkan barang itu? Tidak, kan?" ucap pria yang lebih tenang, suaranya tegas dan rasional meskipun dalam situasi genting ini.
"Kurasa itu yang terbaik sekarang. Kita harus mengatakannya pada bos. Lagipula tidak ada siapa pun yang menggunakan kode biasa saat perempuan itu mengambil barang," kata salah satu pria, mengangguk setuju dengan pendapat temannya.
Abraham menahan napas ketika mendengar kata "perempuan itu". "Mer..." ia hendak bersuara, tetapi Intan segera membungkam mulutnya dengan tangan kanan, menggeleng pelan.
Mereka bertiga masih berada di sana, meski perdebatan mereka tak lagi terdengar. Intan merasakan ketegangan memuncak, dan mendengarkan pembicaraan ketiga pria itu membuat jantungnya berdebar.
"Apakah kalian tahu, kematian perempuan itu terjadi karena campur tangan bos di dalamnya?" ucap salah satu pria, membongkar rahasia yang tampaknya sudah lama disimpan. Dia tampak tegang, seolah merasakan ancaman di sekitarnya.
"Jangan bicara sembarangan! Jika perkataan itu sampai ke telinga bos, kita semua bisa mati," bantah pria lain, ketakutan menyergapnya. Keluarga mereka bisa terlibat jika sesuatu terjadi.
"Semua orang tahu dia perempuan hebat. Tidak mungkin dia kalah begitu saja di tangan para polisi. Lagi pula, polisi-polisi itu tidak mengendus bisnis ini sedikit pun. Padahal, Aster adalah kunci utama dalam kesuksesan bisnis ini," jelas pria itu, mencoba menghubungkan semua spekulasi yang beredar di kalangan mereka.
"Aster saja dengan mudah dihilangkan bos. Bagaimana dengan kita nanti?" ucap pria itu, disetujui oleh kedua pria lainnya. Mereka tampak gelisah, merasakan ancaman yang kian mendekat.
"Ayahnya saja kini menjadi buronan kelompok kita," tambah pria lain, merasa kasihan dengan kehidupan Aster yang berakhir tragis. Tidak ada yang tahu pasti alasan di balik keputusan pemimpin mereka.
"Padahal besok adalah hari ulang tahun istriku. Dan kedua anakku mungkin akan menjadi yatim piatu," keluh salah satu pria, meratapi nasib yang akan menimpanya jika mereka harus mati.
"Kau kira kau satu-satunya? Aku masih punya ibu, ayah, dan saudara perempuanku yang minggu depan akan menikah," ucap pria lain, menunjukkan kesedihannya.
"Sudahlah, ayo kembali. Jangan buang-buang waktu lagi di sini," kata pria yang tampak lebih tenang di antara mereka, seolah telah memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan itu.
Setelah hampir 16 menit berlalu dalam keheningan, Intan meyakini bahwa ketiga pria itu telah pergi. "Apa sudah aman?" bisik Abraham, raut wajahnya menunjukkan kecemasan yang mendalam. Dia ingin sekali keluar dari situasi berbahaya ini.
"Tunggu aku di tempat parkir," ucap Intan, mengambil masker hitam dari saku jaketnya dan menggulung rambutnya ke atas. Ia berharapa hal ini akan membantunya menghindari identifikasi.
"Lo mau ke mana? Jangan macam-macam!" kata Abraham, menarik tangan Intan ketika ia hendak pergi.
"Ini satu-satunya cara agar kita bisa lolos. Kita harus keluar dengan jalan yang berbeda," jelas Intan, membuat Abraham mengangguk mengerti maksud dan tujuannya.
"Hati-hati," ucap Abraham, menatap Intan dengan kekhawatiran sebelum ia beranjak meninggalkan tempat itu, sementara Abraham tetap bersembunyi di antara kontainer.
Intan melangkah mantap ke dalam pelabuhan, berbeda dengan Abraham yang memilih jalan keluar melalui pintu samping bangunan gudang penyimpanan. Ia tahu risiko ini sangat besar, tetapi tekadnya untuk melindungi dirinya dan juga Intan membuatnya tidak ragu. Dengan langkah hati-hati, ia terus bergerak, berharap bisa menemukan jalan keluar tanpa tertangkap oleh siapapun.
Dalam keheningan malam yang mencekam itu, semua yang pernah terjadi terbayang kembali di benaknya. Intan bertekad, tidak peduli seberapa sulit jalannya, ia tidak akan membiarkan apa pun menghancurkan hidupnya lagi.
Tok tok tok.
Intan mengetuk kaca yang menjadi sekat pemisah antara ruang tunggu dan petugas yang berada di balik meja. "Aku ingin memeriksa barang," ucapnya dengan nada tenang namun terdengar tegas, berusaha menjaga penampilannya tetap santai.
Pria yang sudah berumur itu mengangkat wajahnya, memperhatikan Intan dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi ramah. "Barang apa yang Anda ingin periksa? Boleh saya lihat resi pengirimannya?" tanyanya, suaranya sopan tetapi ada ketelitian di balik setiap kata yang ia ucapkan.
“A09S,” jawab Intan, sambil melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang yang mengamati mereka terlalu dekat. Suasana di dalam ruangan itu membuatnya merasa waspada.
“Apakah Anda ingin membawanya sekarang?” tanya pria itu, ekspresi seriusnya mengalahkan nada ramah sebelumnya. Ia menatap tempat di sekeliling mereka, seolah merasakan ada yang tidak beres.
“Aku hanya ingin memeriksanya,” ucap Intan pelan, berusaha mengatur nada suaranya agar tidak menarik perhatian.
“Ini aman, tapi beberapa orang sudah datang mencarinya sebelum Anda,” pria itu menjelaskan dengan suara rendah, mengisyaratkan adanya potensi bahaya yang mengintai.
“Jangan biarkan siapapun mengambilnya. Sepertinya mereka juga mulai mengincarku. Jika aku sudah merasa aman, aku akan datang untuk mengambilnya,” Intan menekankan, beranjak dari tempatnya dan meninggalkan pria tersebut yang masih menganggukkan kepala, memahami maksudnya.
“Kenapa lama sekali!” teriak Abraham, yang menunggu di luar sambil menyodorkan helm kepada Intan.
“Maaf, aku mampir ke toilet sebentar,” Intan menjawab sambil mengenakan helm dan naik ke motor Abraham.
“Apakah kau kenal mereka?” tanya Abraham sebelum melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
“Aku tidak mengenal mereka,” jawab Intan, memeluk pinggang Abraham untuk mengusir dingin yang semakin menusuk tulang.
“Aku harap kita tidak akan pernah lagi bertemu dengan mereka,” ucap Abraham, menambah kecepatan motornya melintasi jalan yang tampak sepi dari pengendara lain.
“Tidak yakin,” batin Intan, pikirannya melayang jauh. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia selidiki lebih dalam. Kematian Aster tidak bisa dibiarkan begitu saja, dan ia yakin ada hubungan erat antara mereka. Ayahnya, yang tak pernah dia temui, juga tampak terlibat. Pertanyaan-pertanyaan tentang siapa bos yang mereka bicarakan kian membebani pikirannya. “Apa hubungan Reval dengan ayahku? Kenapa semua ini terjadi?”
“Kalau aku berhasil menemukan ayah, mungkin aku akan mendapat sedikit informasi darinya. Mungkin aku juga akan tahu siapa bos yang selalu enggan aku temui sebelumnya,” Intan terus berpikir dalam lamunan, berusaha menduga keberadaan ayahnya yang misterius.
“Sudah sampai,” ucap Abraham, menghentikan motornya di garasi.
“Terima kasih,” Intan mengembalikan helm kepada Abraham, merasa sedikit lega bisa sampai di tempat yang aman.
“Kalian dari mana saja?” tanya Devano, yang baru pulang dari kantor. Sepertinya pekerjaan di kantornya semakin banyak, hingga ia harus pulang saat malam sudah larut.
“Dari nongkrong, kak,” jawab Abraham, berdiri di samping Intan sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, berusaha tampak santai meski baru saja keluar dari situasi menegangkan.
“Kalian seharusnya belajar yang benar, jangan hanya keluyuran sampai malam-malam begini,” Devano mengingatkan, menurunkan tas kerjanya sambil menatap Intan dan Abraham dengan raut wajah khawatir.
“Kurasa kakak butuh seorang sekretaris untuk membantu kakak,” Intan berkata sambil berjalan ke arah Devano, mengambil alih tas kerja yang berat dari tangannya. Ia ingin mengalihkan perhatian Devano.
“Itu pun yang juga sedang saya rekrut sekarang, Intan,” ucap Devano, melangkah menaiki tangga yang menghubungkan mereka dengan pintu utama mansion tersebut.
Dalam perjalanan ke atas, Intan merasakan tatapan Devano yang curiga. Dia tahu saudara laki-lakinya itu selalu peduli dan akan mengkhawatirkannya jika mencium ada yang tidak beres. Intan bertekad untuk tidak membiarkan siapa pun tahu tentang pencariannya yang berbahaya.
Saat mereka sampai di pintu utama, suara tuts-tuts langkah sepatu terdengar menghampiri mereka. Intan menoleh dan melihat seorang wanita muda dengan penampilan anggun, membawa beberapa berkas. Wanita itu berhenti sejenak, menatap Intan, dan kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam mansion.
“Siapa itu?” tanya Intan, rasa ingin tahunya terbangkit.
“Oh, itu Nara, pegawai baru di kantor kakak,” jawab Abraham sambil terus menapaki anak tangga. “Dia sangat berdedikasi, suka membantu. Kakak pasti akan senang sekali kalau kamu mengenalnya.”
“Ya, mungkin lain kali,” Intan menjawab, meski pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang orang-orang yang mencarinya. Ia berharap Nara bukan bagian dari dunia yang sedang ia hadapi.
Ketika mereka memasuki ruang tamu yang hangat dan terang, Intan mencoba untuk bersikap normal, menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti hatinya. Tidak ada waktu untuk bersantai; kebenaran tentang kematian Aster dan misteri di baliknya harus segera terungkap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments