"wah wah wah, kenapa lagi lo?" tanya clara sengaja melewati intan yang berdiri memberi hormat pada tiang bendera di bawah terik matahari yang mulai menyengat kulit.
"eh foto dong. ini tuh moment langkah loh" ucap veni mengambil ponselnya untuk mengambil gambar mereka berempat.
sungguh sebuah kejadian yang membuat mereka mendapat sedikit terhibur.
"kasian banget sih loe, baru juga beberapa minggu loe hampir mati di sekolah, eh sekarang masih saja di hukum seperti biasa" ucap risa bersidekap tangan memandang intan dengan mencemooh. ingatan mereka masih sangat kental dengan kejadian hari itu. Hari dimana intan terjatuh yang hanya dinyatakan sebagai kasus percobaan bunuh diri yang gagal. Tanpa adanya penyelidikan lebih lanjut dari pihak sekolah maupun keluarga intan sendiri.
"tapi loe cukup beda sih sekarang. Loe cukup berani dari intan yang dulu. intan yang hanya bisa diam dan pasrah dengan semua yang terjadi" ucap clara yang kini menatap intens pada intan dari ujung kakinya hingga ujung kepalanya dengan seksama.
"eh kalian ngapain?" tanya ikram dengan suara lantangnya mendekat ke arah lapangan dengan langkah tegapnya.
"kita cuma ngobrol sama intan. Kita nggak ngelakuin hal aneh lainnya kok" jawab risa tersenyum ramah pada ikram yang semakin mendekat ke arah mereka.
"ini tuh bukan tempat ngobrol, atau kalian juga mau nemenin intan sampai jam pergantian pelajaran berbunyi" jelas ikram dengan pandangan tidak suka dengan kehadiran mereka bertiga.
mendengar itu clara lebih duluan meninggalkan tempat itu, tidka ingin terlibat dengan pria yang terkenal tegas itu. Veni dan risa yang masih ingin berdebat juga mulai beranjak mengikuti clara.
"sok sibuk banget si tuh ketos satu!" ujar klara sambil menghentak - hentakkan kakinya kesal dengan kehadiran ikram.
"tahu tuh. Masih punya dendam apa dia sama loe?" tanya risa menatap le arah veni yang hanya mengangkat kedua bahunya menandakan ketidaktahuannya.
"masih dendam kali, karena loe mutusin dia" kata klara menatap veni dengan sedikit terkekeh.
"mana ada, orang dia duluan yang mutusin gue" sanggah veni kembali menatap ke arah lapangan yang menampakkan interaksi antara ikram dengan intan. Ada rasa yang menyesakkan menatap pemandangan itu.
"udahlah, ke kantin aja yuk" ajak clara yang mengerti perasaan sahabatnya itu. Meski mereka memiliki hubungan yang sangat dekat, namun mereka juga memberi batasan pada hubungan pertemanan itu. Mereka masing - masing saling mejaga privasi mereka.
...****************...
“Wah wah wah, kenapa lagi lo?” tanya Clara sambil melewati Intan, yang berdiri memberi hormat pada tiang bendera di bawah terik matahari yang mulai menyengat kulitnya. Rasa gerah sudah membuat Intan merasa tidak nyaman, tetapi dia berusaha tetap tegar.
“Eh, foto dong! Ini tuh momen langkah!” ucap Veni sambil mengeluarkan ponselnya, bersiap mengambil gambar mereka berempat. Saat kamera ponsel mengarah ke mereka, suasana hati yang tegang sejenak teralihkan oleh tawa dan senda gurau yang mencairkan suasana.
“Kasihan banget sih lo, baru juga beberapa minggu, lo hampir mati di sekolah. Eh, sekarang masih saja dihukum,” cemooh Risa, menyilangkan tangan dan memandang Intan dengan nada mengejek. Ingatan mereka masih sangat kental dengan insiden tragis itu—hari di mana Intan terjatuh dan hanya dinyatakan sebagai kasus percobaan bunuh diri yang gagal. Tanpa adanya penyelidikan lebih lanjut dari pihak sekolah maupun keluarga Intan sendiri, rumor terus beredar.
“Tapi lo cukup beda, sih, sekarang. Loe cukup berani dari Intan yang dulu, Intan yang hanya bisa diam dan pasrah dengan semua yang terjadi,” kata Clara, menatap Intan dengan intens dari ujung kaki hingga ujung kepala, seolah sedang mencari kekuatan baru dalam dirinya.
“Eh, kalian ngapain?” tanya Ikram, mendekat dengan suara lantang dan langkah tegapnya, menunjukkan ketegasan yang biasa dia tunjukkan.
“Kita cuma ngobrol sama Intan. Kita nggak ngelakuin hal aneh lainnya kok,” jawab Risa, tersenyum ramah pada Ikram yang semakin mendekat. Namun, Intan merasakan ketegangan yang timbul dari kehadiran Ikram.
“Ini tuh bukan tempat ngobrol. Atau kalian mau menemani Intan sampai jam pergantian pelajaran berbunyi?” jelas Ikram, dengan pandangan tidak suka pada kehadiran mereka bertiga.
Mendengar itu, Clara lebih dulu meninggalkan tempat, tidak ingin terlibat lebih jauh dengan pria yang terkenal tegas itu. Veni dan Risa saling berpandangan, tetapi melihat ekspresi Clara yang sudah pergi, mereka pun mulai beranjak mengikuti sahabatnya.
“Sok sibuk banget sih itu ketos satu!” ujar Clara sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal dengan kehadiran Ikram.
“Tahu tuh. Masih punya dendam apa dia sama lo?” tanya Risa, menatap ke arah Veni, yang hanya mengangkat kedua bahunya, menandakan ketidaktahuannya.
“Masih dendam kali, karena lo mutusin dia,” kata Clara, menatap Veni dengan sedikit terkekeh, menciptakan suasana yang lebih ringan meski terasa menyesakkan.
“Mana ada, orang dia duluan yang mutusin gue!” sanggah Veni, kembali menatap ke arah lapangan. Di sana, dia melihat interaksi antara Ikram dan Intan. Rasa cemburu yang aneh menyesakkan dadanya saat melihat bagaimana Ikram tampak begitu protektif terhadap Intan.
“Udahlah, ke kantin aja yuk,” ajak Clara, merasakan perubahan emosi sahabatnya. Dia tahu bahwa meskipun mereka memiliki hubungan yang sangat dekat, mereka juga saling memberi batasan dalam hubungan pertemanan itu, masing-masing menjaga privasi dan perasaan satu sama lain.
Sementara itu, di lapangan, Ikram masih memperhatikan Intan dengan cermat. Raut wajahnya berubah lembut, dan meskipun dia terpaksa menjadi tegas, dia merasa khawatir terhadap keadaan Intan. “Kamu harus lebih hati-hati, Intan. Aku tidak ingin hal buruk terjadi padamu lagi,” ujarnya, menyisipkan rasa peduli di balik teguhnya sikapnya.
Intan, merasakan perhatian Ikram, merasa campur aduk. Dia ingin bersyukur atas perhatian itu, tetapi di saat yang sama, dia merasa tertekan. Menghadapi ingatan kelam itu bukanlah hal yang mudah. “Terima kasih, Ikram. Aku akan berusaha lebih baik,” jawabnya, berusaha menunjukkan bahwa dia lebih kuat dari sebelumnya.
...****************...
“Ah, seandainya saja, gue bisa menggunakan sedikit saja harta keluarga Hagara, nggak bakalan repot begini,” monolog Intan, menatap ke arah lapangan di mana anak-anak basket berlatih dengan semangat. Suara bola basket yang memantul dan teriakan ceria mereka seolah menjadi pengingat akan kebebasan yang hilang dalam hidupnya.
“Coba aja gue nggak nabrak orang aneh itu, nggak bakalan habis tabungan milik Intan,” keluhnya, mengingat betapa dia tidak ikhlas mengeluarkan uangnya untuk membayar pengobatan lelaki misterius yang hingga kini tak lagi dia dengar kabarnya. Kenangan itu masih membekas, dan rasa penyesalan menggerogoti pikirannya.
Intan kemudian beralih ke buku catatannya yang terletak di pangkuannya, kembali mengamati nama-nama yang telah dia rangkum berdasarkan informasi yang L kirimkan padanya. Dia menandai nama-nama yang tidak familiar baginya, berharap mereka akan berpihak pada Devano saat rencana eksekusi itu berlangsung. Setiap tanda yang dibuatnya adalah harapan untuk mendapatkan dukungan yang dia butuhkan.
“Loe ada urusan apa sama Deki?” tanya Abraham, mengambil tempat di samping Intan. Dia merasakan adanya ketegangan di antara mereka dan ingin tahu lebih banyak. Menyebut Deki, yang juga terlibat dalam rencana itu, hanya akan menambah kemarahan Intan dengan jawaban Deki yang bisa semakin menyulut emosinya, jadi Abraham memilih untuk bertanya langsung pada Intan.
“Bukan hal yang penting,” jawab Intan, menutup kembali buku itu. Dia tidak ingin Abraham terlibat dalam rencananya. Mengingat betapa cerobohnya pria itu, Intan merasa Abraham tidak akan bisa diandalkan dalam rencana besar yang dia persiapkan.
“Akhir-akhir ini kalian semakin aneh saja,” ujar Abraham, mengisap minuman es jeruk yang dibelinya dari kantin. Dia merasa bingung dengan perubahan yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya. “Entah itu Anno, Deki, ayah, bahkan loe juga mulai ikut-ikutan aneh. Kalian semua berubah!”
“Dengar yah! Nggak semua hal harus sama. Terkadang ada beberapa momen yang memaksa kita untuk lebih berani mengambil perubahan,” jelas Intan, berusaha memberi pemahaman pada Abraham yang belum bisa menerima perubahan besar dalam keluarga mereka, terutama dengan adanya isu perselingkuhan Darwin sebagai kepala keluarga.
“Mengenai ayah?” tanya Abraham, berusaha menerka arah pembicaraan Intan.
“Tapi itu semua belum pasti. Bisa saja kan, ayah hanya sibuk dengan perusahaan sehingga dia berubah, atau rival ayah yang sengaja merencanakan semua ini,” kata Abraham, mengeluarkan semua isi pikirannya, berusaha memberi pemahaman pada Intan.
“Dunia orang dewasa tidak sedangkal itu, Bram. Ada kalanya mereka begitu ceroboh melakukan kesalahan tanpa mempertimbangkan imbas dari perbuatan mereka. Selama semua berada dalam kendali, mereka akan terus bermain-main tanpa memperhatikan konsekuensi yang mungkin akan membawa kehancuran pada mereka,” jelas Intan panjang lebar, berharap Abraham bisa sedikit memahami keadaan yang terjadi dari sudut pandang yang lain.
“Kenapa kau sebenci itu dengan ayah?” tanya Abraham dengan nada tidak suka terhadap perkataan Intan.
“Aku nggak punya hak untuk benci padanya, tetapi langkah yang dia pilih menghilangkan semua rasa simpati dan hormatku terhadapnya,” jawab Intan, nada geramnya semakin meningkat mengingat Darwin tidak hanya berselingkuh dari Windana yang setia menemaninya, tetapi juga berencana merebut semua aset, properti, bahkan perusahaan yang didapat dari orang tua Windana.
“Ayah dan bunda pasti bisa memperbaiki semuanya,” ujar Abraham, masih berharap keluarga mereka akan kembali bersatu setelah semua yang terjadi. Namun, harapan itu terasa semakin tipis.
“Sudahlah, percuma membahas ini denganmu. Sebaiknya kita lakukan urusan kita masing-masing,” ujar Intan, beranjak berdiri dan meninggalkan tempat itu. Berdebat dengan Abraham hanya akan membuat amarahnya semakin tidak terkendali.
“Sebisa mungkin aku harus fokus pada rencanaku!” batin Intan, menghela napas dalam-dalam untuk menetralisir emosinya yang sudah membumbung ke ubun-ubunnya. Dia tidak bisa membiarkan rasa marah itu mengganggu fokusnya.
Intan kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Devano untuk membicarakan beberapa hal. Suara dering yang memenuhi telinga membuat jantungnya berdebar.
“Hallo! Bagaimana?” tanya Intan setelah panggilan tersebut tersambung.
“Semua berjalan dengan mulus, tidak perlu khawatir. Tapi, apa kau yakin kita akan berhasil?” ujar Devano dari seberang, nada suaranya menunjukkan keraguan.
“Tenang saja. Selama kau bersiap dengan baik, kita pasti akan berhasil,” ujar Intan, senyumnya mengembang lebar, mengingat dokumen-dokumen yang berhasil dia temukan di brankas kecil milik intan. Dokumen yang bisa menjadi kunci untuk memulai langkah baru mereka.
“Oh yah, bisa kah kau pulang sebelum makan malam hari Sabtu?” tanya Intan, mengingat tanggal spesial yang selalu mereka rayakan, meskipun suasana di dalam dirinya terasa getir.
“Iya, akan aku usahakan,” jawab Devano lesu, mengingat bahwa hari itu juga memiliki makna tersendiri yang membuatnya merasa berat.
“Baiklah, aku tutup,” ucap Intan, menutup panggilan tersebut. Dalam hati, dia berharap bisa dengan mudah mengajak petinggi perusahaan untuk mendukung rencananya nanti.
“Semua ini demi keluarga, dan aku tidak akan menyerah,” monolog Intan, menatap layar ponselnya yang menampilkan jadwal pertemuan yang sudah dia susun dengan rapi selama sepekan ini. Dia bertekad untuk mengubah nasibnya dan keluarganya, tidak peduli seberapa sulit jalannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Ajusani Dei Yanti
alurnya makin seru aja thorrrr kuh
2024-03-13
0
Daniela Whu
kukira abraham itu kakax intan juga vano laa knp di sini jd sepupuan sekarng binggung gue
2024-02-28
0