"Ughh..." keluh Intan pelan berusaha menghilangkan rasa tak nyaman pada tenggorokan dengan membasahi kerongkongannya dengan air liurnya.
"haus, aku butuh minum" batin intan menatap sekilas gelas dan beberapa botol air mineral di atas nakas yang terletak di sisi kanan bednya. Kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada Devano yang sibuk memperhatikan laptop hitam dalam pangkuannya. Pria itu terlalu serius mengerjakan tugas kuliahnya hingga dia tidak menyadari pergerakan intan.
"Ahh percuma saja rasanya, aku harus berusaha sendiri" batin Intan kembali menyadari suaranya yang tercegat keluar. Dengan perlahan intan mengingsut ke tepian bed, menjulurkan tangannya berusaha meraih salah satu botol air mineral tersebut.
"Kau sudah sadar!" seru Devano meletakkan asal laptop ke atas sofa, berjalan mendekat ke arah intan yang menjatuhkan tangan kembali di samping tubuhnya.
"Tunggu! Aku akan segera panggilkan dokter untuk memeriksa keadaanmu" kembali Devano berujar mengubah arah langkahnya menuju pintu meninggalkan Intan sendiri.
"hei! Berhenti, setidaknya beri aku sedikit air dulu" batin Intan berusaha menghentikan langkah Devano dengan mengambangkan kembali tangannya di udara kosong. namun suaranya lagi - lagi tidak dapat keluar meski sudah berusaha membuka mulutnya yang keluh.
...****************...
"Bagaimana Dok? adik saya baik - baik saja bukan?" tanya Devano pada dokter dengan tag name Aldrian tersebut. Mengalihkan pandangannya dari Intan yang baru mendapat beberapa pemeriksaan tanda - tanda vital.
"Selamat datang kembali nona!" ucap Aldrian tersenyum ramah pada Intan, tanpa menggubris pertanyaan Devano sebelumnya.
"Perkembangannya cukup baik, mungkin kami akan segera melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Terutama pada bagian kepalanya yang mengalami luka yang cukup serius. Untuk beberapa waktu ke depan pasien akan muntah beberapa kali, itu hal yang biasa dan tidak akan membahayakan" jelas Aldrian kembali mengalungkan stetoskop pada lehernya, sebelum pergi meninggalkan ruangan VIP tersebut.
"Akhirnya kau sadar juga, Mendengar ini bunda pasti takkan marah lagi pada bram" kata devano menatap intan dengan senyum yang merekah sempurna. Dia sudah tidak sabar ingin segera mengabari Windana mengenai kondisi intan yang sudah siuman dari komanya.
"a..ir" lirih intan tanpa mempedulikan ucapan Devano sebelumnya, dia sungguh hanya membutuhkan air untuk membasahi kerongkongannya.
"ahh maaf! kau pasti sangat kehausan sekarang!, baiklah adikku aku akan segera memberimu minum" kata Devano bergerak mendekat untuk mengambil sedotan serta botol air mineral. kemudian membantu Intan meminum secara perlahan.
"Kau siapa?" tanya Intan penasaran dengan sosok yang berdiri di hadapannya. Dirinya tahu dia pasti berada di rumah sakit. Namun dia tak mengenal pria itu, dan siapa yang sedang dia bicarakan.
"Jangan bercanda, itu gak lucu Intan!" ucap Devano mengendalikan ekspresi wajahnya. saat mendengar Intan tidak mengenal dirinya ada rasa getir yang menghantam hatinya, menghilangkan senyumnya dalam sekejap.
"Apa kita saling mengenal?" tanya Intan dengan ekspresi dinginnya, berusaha mengingat - ingat jika dirinya memiliki keluarga jauh.
"Apa aku yang salah mengingat?" batin Intan menatap lekat wajah Devano berusaha menggali ingatannya.
Segera Devano kembali berlari keluar memanggil Aldrian yang sedang memeriksa pasien yang berada tidak jauh dari ruangan rawat Intan.
"Dokter tolong, cepatlah! adikku sepertinya menjadi sedikit aneh sekarang" ucap Devano berusaha mempercepat langkah menemui Intan, dia terus mendesak agar Aldrian mempercepat langkah untuk memeriksa ulang keadaan Intan.
"Baiklah, baiklah aku segera pergi memeriksa adikmu kembali" jawab Aldrian mengikuti kecepatan langkah Devano, meninggalkan seorang perawat yang menggantikannya memeriksa tanda - tanda vital pasiennya.
"Apa nona mengenal pria ini?" tanya Aldrian dengan tenang, senyum ramahnya tidak pernah pudar dari wajahnya. Sedangkan Devano yang berdiri di sampingnya tampak memperhatikan reaksi Intan dengan cemas.
"Tidak" satu jawaban yang Intan katakan dengan yakin, setelah berusaha mengingat meski hasilnya nihil. Dia tidak pernah bertemu dengan pria asing itu.
"apa nona tahu penyebab, nona berada di rumah sakit ini sekarang?" kembali Aldrian bertanya, berusaha memastikan diagnosa awal yang sedang terjadi.
"Entahlah, aku juga kurang yakin" jawab Intan menurunkan pandangannya pada tangannya yang saling bertautan dalam pangkuannya.
"Bukankah seharusnya aku sudah meninggal. Bagaimana aku akan membayar biaya perawatan rumah sakit yang mungkin sangat mahal" batin Intan mengingat kejadian terakhir yang bisa dia ingat dari kejadian penembakan itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Windana yang berdiri di ambang pintu menatap heran ke arah punggung aldrian dan Devano yang menutupi tubuh Intan dari pandangannya.
"Bunda!" seru Devano menyadari kehadiran windana yang begitu tiba - tiba. Kemudian Devano bergegas menghampiri Windana yang masih mematung menatap Intan.
"Apa kau juga tidak mengenal bunda?" kini bukan Aldrian yang bertanya melainkan Devano yang menuntun Windana mendekat ke arah Intan.
Gelengan kepala Intan tampak membuat Windana semakin syok dengan keadaan putrinya.
"Apa kau sungguh tidak mengenal bundamu ini sayang?" kembali Windana bertanya dengan air matanya yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
menatap ekspresi sedih perempuan di depannya membuat Intan tidak sanggup untuk menjawabnya. Apa dia sungguh tidak memiliki ingatan tentang perempuan yang terlihat begitu rapuh itu.
"Jangan terlalu memaksakan diri untuk mengingatnya" ucap Aldrian memegang erat bahu Intan.
"Sepertinya anda mengalami amnesia, mungkin ingatan anda sedikit terganggu setelah mengalami cedera pada bagian kepala" jawab Aldrian dengan senyumnya yang kembali terkembang.
"anda tenang saja nyonya, kami akan sesegera mungkin melakukan pemeriksaan secara menyeluruh pada nona Intan" ucap Aldrian mengalihkan pandangannya pada Windana yang masih berusaha mengendalikan perasaannya.
"Apa nyonya bisa mengikuti saya. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan pada anda sebentar!" pinta Aldrian yang di jawab anggukan kecil Windana. Mereka segera melangkah meninggalkan ruangan itu menyisahkan Devano yang menatap Intan dengan intens. Ada banyak yang ingin dia tanyakan namun dia urung.
"namaku siapa?" tanya Intan setelah terdiam cukup lama.
"Intan maheswari hagara, apa kau juga melupakan ayah dan juga bram?" kata Devano tampak antusias dengan jawaban adiknya. Apa mereka semua terlupakan olehnya.
"Apa yang bisa kau ingat terakhir?" kembali tanya Devano tanpa menunggu jawaban pertanyaan sebelumnya.
"Timah panas yang menembus tubuhku, suara tembakan dan aku terbangun di sini" jawab Intan penasaran dengan dirinya sendiri.
"Jangan halu dek, kau bisa berada di sini karena jatuh dari lantai 2 di sekolah. Nggak mungkin ada tembakan dalam lingkungan sekolah" jawab Devano mendudukkan diri pada pinggiran bed.
Mendengar penuturan Devano membuat kepala Intan semakin berdenyut keras disertai dengungan yang keras pada indra pendengarannya. Menambah rasa sakitnya saat ingatannya dan beberapa ingatan lain bercampur menggerogoti kepalanya.
"isshhh sakit sa..kit... Ahhh kepa..la..ku" ucap Intan terbata - bata mengerang yang kian lama semakin keras. Membuat Aldrian dan Windana berlarian kembali ke dalam ruangan, mendapati Intan yang berusaha memukul - mukul kepalanya. Sedangkan Devano berusaha menahan tangan Intan agar pukulannya tak semakin keras.
"Apa.." ucap Aldrian yang juga berusaha menahan tangan Intan yang semakin memberontak.
"Aku tidak tahu, dek berhentilah" kata Devano tanpa mengalihkan pandangannya dengan tatapan yang mengibah dengan keadaan yang dialami Intan.
Hingga seorang perawat menyuntikkan kembali obat penenang ke dalam cairan infus yang tersambung ke tangan Intan.
"Jangan terlalu memaksanya mengingat semua! Itu hanya akan semakin menyiksanya" ucap Aldrian setelah Intan yang sudah kembali terlelap.
"Pelan - pelan saja. Nanti dia pasti akan mengingat semua secara perlahan" tambah Aldrian sebelum meninggalkan ruangan tersebut.
"Maafkan Anno bun!" ucap Devano memelas tahu semua ini kesalahannya.
"Aku hanya bertanya tentang Ayah dan Bram padanya" tambah Devano menatap Intan dengan tatapan bersalahnya.
"Sudahlah, tak perlu menyalakan diri. Setidaknya adikmu pasti akan baik - baik saja sekarang" ucap Windana menepuk pelan punggung putra tertuanya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments