Belum lagi langkah Devano menginjak lantai dua, suara dentuman pintu yang dibanting dengan keras mengguncang suasana. Semua perhatian tersita ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, Darwin muncul lagi, wajahnya memerah, melangkah cepat menuju pintu keluar dengan ketegangan yang terlihat jelas.
Intan, Abraham, dan Pak Reval segera bergegas, sedikit berlari menuju kamar Windana. Pemandangan yang mereka temui sangat mencolok. kamar itu berantakan, barang-barang berserakan, dan pecahan beling terhampar tak teratur. Windana terlihat berusaha berdiri, menggenggam tepi tempat tidur untuk menopang dirinya.
“Bunda, baik-baik saja?” tanya Intan, cepat menghampiri dan membantu Windana duduk di tepi ranjang yang cukup besar itu.
“Jangan menangis, Bunda!” pintanya, dengan lembut mengusap air mata yang mengalir di pipi putih Windana.
“Apakah ini karena perempuan itu lagi?” tanya Abraham, duduk di samping Intan, berusaha menebak penyebab masalah yang tengah dihadapi kedua orang tuanya.
“Sepertinya mereka semua sudah tahu tentang hubungan mereka,” batin Intan, menatap Windana yang terdiam, terdengar sesenggukan dari balik tangisnya.
“Berpisahlah dengan Ayah, Bunda. Jangan pikirkan kebahagiaan kami. Pikirkan dirimu sendiri,” teriak Devano dengan lantang, berdiri di ambang pintu dengan wajah yang masih memerah.
“Jadi, mereka masih peduli padanya,” pikir Intan, melirik sekilas pada Devano dan Abraham.
“Bunda tidak bisa. Ayah kalian akan membawa semuanya pergi,” jawab Windana dengan suara pelan, kepalanya tertunduk tidak berani menatap anak-anaknya, mengisyaratkan ketidakberdayaan yang mendalam.
“Tapi, Bunda...” Devano berusaha membantah, tetapi perkataannya terpotong oleh Intan.
“Cukup, Kak. Biarkan Bunda tenang dulu. Kalian keluar dari sini. Aku akan menemani Bunda malam ini,” ucap Intan, menggenggam erat tangan Windana. Pak Reval kemudian bergegas keluar dari ruangan itu, disusul oleh Devano dan Abraham yang meninggalkan kamar dengan suasana hati yang penuh kegusaran.
Tanpa sepatah kata, Intan membantu Windana berbaring di atas kasur, menutupi setengah tubuh wanita itu dengan selimut. Ia menyesuaikan suhu AC sebelum ikut berbaring di samping Windana, berusaha memberikan kenyamanan dan ketenangan di tengah kekacauan yang melanda keluarga mereka.
“Tidurlah, Bunda. Hari ini begitu melelahkan,” kata Intan sambil menepuk pelan bahu Windana, membuat wanita itu perlahan menutup matanya dan terlelap dalam ketenangan.
Intan menatap wajah windana yang mulai tenang, Intan lalu bergumam dalam hati, “Jika pria itu tidak memiliki apa-apa lagi, maukah kau meninggalkannya?” Dia bergumam pada dirinya sendiri, merenungkan pilihan hidup yang akan dihadapi Windana. “Apakah kau mampu menciptakan kebahagiaanmu tanpa pria itu?”
Setelah cukup lama terdiam, beradu dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk, Intan akhirnya perlahan turun dari tempat tidur. Dia berjalan hati-hati ke luar kamar, menuju dapur untuk memanggil seorang pelayan agar segera membersihkan kamar Windana.
“Bunda sudah tidur, jadi pelan-pelan saja,” katanya sambil mengambil kotak P3K dari lemari kemudian meninggalkan pelayan tersebut.
“Seperti yang kuduga,” ucap intan pelan saat membuka pintu kamar Devano. Dia mendapati pria itu masih duduk termenung di sudut sofa kamar, tampak hilang dalam pikirannya.
“Apakah pukulan pria itu cukup keras?” tanya Intan, sambil membersihkan luka di sudut bibir Devano dengan lembut.
“Kenapa tidak memukulnya lebih keras?” Intan kembali bertanya, tetap fokus pada luka kecil yang menganga.
“Jika aku membalasnya, yang akan terkena pukulanku adalah Bunda,” Devano menjawab dengan tatapan penuh kesedihan. menyesali ketidakberdayaannya dalam melindungi keluarganya dan juga dirinya sendiri.
“Entah apa yang sudah dilakukan pria brengsek itu pada Bunda, hingga Bunda tidak berani meninggalkannya,” geram Devano, matanya kembali menyala dengan kemarahan.
“Bukankah sudah jelas? Semua aset, properti, dan kekayaan atas nama Ayah. Mungkin Bunda takut kita akan hidup susah tanpa semua itu,” jelas Intan, sambil meletakkan kembali alat-alat medis itu ke dalam kotak seperti semula.
“Aku bisa mencari pekerjaan setelah lulus nanti,” Devano tetap pada pendiriannya, percaya diri dengan kemampuan dan latar belakang pendidikan uang dia miliki.
“Lalu, kita biarkan pria itu menikmati semuanya dengan kekasihnya, menjalani hidup dengan bahagia sedangkan kita harus bejuang kembali dari awal?” Intan menatap Devano tajam, kata-katanya membuat kepercayaan diri pria itu seketika sirna.
“Ayolah, Kak. Semua ini milik Kakek. Ayah hanya mengelolahnya untuk sementara, dan kini kita membiarkannya menguasai semua itu?” tambah Intan, bersikeras pada pendapatnya tidak ingin menyerahkan semua hasil kerja keras kakeknya.
“Tenanglah, Kak. Suatu saat, kita akan menyingkirkan benalu seperti Ayah,” Intan berkata dengan senyum penuh percaya diri, beranjak berdiri dan melangkah keluar kamar.
“Dan kau harus mulai bersiap-siap untuk mengelola semuanya, seperti yang Ayah lakukan saat ini,” lanjut Intan, berdiri di ambang pintu, siap meninggalkan Devano.
“Kenapa harus aku?” tanya Devano, memicingkan matanya penuh keraguan.
“Semua tahu kami berdua masih sekolah, dan kurasa Bunda tidak akan bisa mengurus perusahaan,” jawab Intan tegas sebelum berlalu dan menutup pintu kamar dengan pelan.
Ketegangan dalam ruangan masih terasa, namun tekad Intan semakin menguat. Dia tahu bahwa langkah selanjutnya harus diambil untuk membebaskan ibunya dari cengkeraman masa lalu dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi mereka.
...****************...
“Hari ini kita berangkat bersama,” ucap Devano, menatap Intan yang baru saja menyudahi sarapannya. Ada ketegangan yang tak terucap di antara mereka.
“Baiklah, Kak,” jawab Intan sambil menoleh sekilas. Sementara itu, Abraham dan Windana hanya bisa mengamati dalam diam, merasakan suasana yang semakin mendesak.
“Bunda, kami berangkat ya!” seru Intan dengan semangat, melihat Windana hanya membalasnya dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.
“Apakah kau punya kenalan yang bisa membantuku?” tanya Devano langsung membahas keinginannya, tanpa membuang waktu.
“Tentu! Apakah kau ingin menemui orang itu sekarang?” Intan segera memasang sabuk pengaman, merasa sedikit lebih bersemangat setelah mengerti arah ucapan Devano
“Lebih cepat lebih baik, tunjukkan jalannya,” jawab Devano, melajukan mobilnya melewati pekarangan mansion yang megah. Jalanan yang dilalui sudah familiar, namun hatinya berdebar karena harapan yang tertumpang di pertemuan ini.
Setelah hampir dua jam berkendara, mereka tiba di kawasan elit yang dipenuhi hunian megah dan beberapa mobil mahal.
“Tunggu di sini. Aku akan menemuinya terlebih dahulu sebelum memperkenalkan kalian, jika dia setuju dengan tujuan kita” ujar Intan sambil keluar dari mobil yang terparkir di sudut jalan. Dia melangkah mantap menuju salah satu hunian tersebut.
Di dalam, seorang pria berbadan atletis sedang duduk di sofa, menunggu. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya, memandang Intan dengan tatapan tajam.
“Tidak banyak. Hanya ingin kau mengajari seseorang menjalankan perusahaan besar,” jawab Intan dengan senyum tipis yang menunjukkan ketegasan.
“Apakah kau ingin merampas perusahaanku?” tanya Daren, nada suaranya dingin, menelisik wajah gadis SMA di hadapannya tanpa rasa takut.
“Aku tidak terlalu berminat dengan dunia bisnis,” balas Intan, mempertahankan tatapannya berusaha tidak terpengaruh oleh tekanan yang diberikan Daren.
“Lagipula, bukan aku yang akan menjadi muridmu, melainkan seseorang yang kubawa,” tambah Intan, wajahnya kini serius, menunjukkan bahwa dia tidak main-main dengan kedatangannya.
“Baiklah. Tapi setelah ini, tak ada lagi hutang budi di antara kita,” putus Daren, teringat pada hutang budi yang dimilikinya pada Intan beberapa tahun lalu, Menatap nanar pada kalung yang intan kenakan.
“Suruh orang itu menghubungiku besok. Hari ini aku terlalu sibuk,” lanjut Daren, sambil memberikan kartu namanya kepada Intan.
“Baiklah, kalau begitu aku pamit,” ucap Intan sambil beranjak berdiri, meninggalkan Daren yang kembali asyik dengan ponselnya.
“Huufft, akhirnya bisa keluar juga,” Intan menghela napas lega saat berjalan menuju mobil Devano yang masih setia menunggunya.
“Hubungi dia besok. Dia Yang akan membantumu,” kata Intan sambil menyerahkan kartu nama Daren kepada Devano.
“Tetaplah waspada padanya. Dia pria yang cukup berbahaya,” tambah Intan dengan nada serius, mengingatkan Devano. Daren bukan hanya sekadar mentor, dia adalah pria yang memiliki kekuatan dan pengaruh, seseorang yang bisa menghancurkan apa pun yang tidak dia suka. Intan masih ingat jelas bagaimana dia menyelamatkan Daren dari kematian beberapa tahun lalu, dan kini dia berharap pertemuan ini membawa keuntungan, bukan bencana.
Devano mengangguk, menampung semua informasi ini dengan hati-hati. “Aku akan hati-hati,” janjinya, tetapi ada keraguan di dalam dirinya. Mereka berdua tahu bahwa jalan ke depan mungkin tidak akan semudah yang mereka harapkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Cha Sumuk
bagus dr awal tp kok kesini2 ga nyambung ya.. masa klrga nya ga ada yg curiga dgn perubahan nya bgtu jg dgn tmn sekolah nya kn tdk menarik jd cerita nya thor trs ini tiba-tiba ,daren tau bae aduhhh ga jls bngt
2024-02-22
3
Kartika Lina
ko daren ga bertanya,, kan akr aster di tubuh intan,, memang wajah mereka mirip ya
2024-02-21
1