Mulai Menemukan Kejanggalan

"Sayang, kamu dari mana saja?" tanya Windana lembut dari ruang tengah, memperhatikan Intan yang baru pulang saat matahari hampir tenggelam.

Intan mendekat dengan senyum lelah, lalu duduk di samping ibunya. "Maaf, Bunda. Kemarin aku harus ke rumah teman. Dia lagi sakit dan sendirian, jadi aku temani," jawabnya dengan nada yang meyakinkan.

Windana mengangguk paham, tetapi raut wajahnya masih menunjukkan sedikit kekhawatiran. "Kenapa tidak ajak saja temanmu itu ke sini? Biar Bunda juga bisa bantu."

Intan tersenyum kecil, merasa tersentuh oleh kepedulian wanita itu. Namun, ia tahu tidak mungkin membawa pria yang terluka itu ke rumah mereka. "Ah, nggak apa-apa, Bunda. Lagipula, temanku itu lebih nyaman di rumahnya sendiri."

"Ya sudah, yang penting kamu tidak terlalu capek, kan?," ujar Windana sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir dan menyerahkannya pada Intan. "Apa kamu tidak pergi ke sekolah hari ini, Sayang?"

Intan menerima cangkir itu, mencoba memasang wajah polos. "Iya, Bunda. Tapi aku janji besok nggak bolos lagi. Aku akan ke sekolah, sungguh!" jawabnya, mengangkat dua jarinya dengan gaya bersumpah. Senyum yang ia berikan pada wanitadi depannya tampak penuh keyakinan, meskipun ada rasa bersalah yang sulit disembunyikan.

Windana tersenyum lembut, memandang putrinya dengan kasih sayang. "Ingat, pendidikan itu penting, Intan. Masa depanmu bergantung pada hal-hal yang kamu pelajari sekarang," katanya dengan bijak.

Intan mengangguk, meskipun pikirannya sempat melayang pada dunia lain yang telah menyita hidupnya belakangan ini. Dunia yang penuh rahasia dan rencana yang jauh dari kehidupan normalnya.

"Terima kasih, Bunda," ucap Intan sambil menyesap teh hangat itu hingga tandas. Kehangatan teh dan perhatian wanita itu membuatnya merasa sedikit tenang, meskipun perasaan gelisah di dadanya belum sepenuhnya sirna.

"Bunda, aku naik duluan, ya. Mau istirahat sebentar," kata Intan sambil berdiri, mencoba tersenyum agar ibunya tidak mencemaskan dirinya.

Windana hanya mengangguk, memandang punggung putrinya yang perlahan menjauh. Ia menghela napas pelan, berharap Intan benar baik-baik saja. Sementara itu, Intan menaiki tangga menuju kamarnya, perasaannya bercampur aduk antara rasa bersalah pada ibunya dan bayangan tentang rencana besar yang harus ia wujudkan dalam waktu dekat.

Sesampainya di kamar, Intan duduk di tepi ranjang, memandang ponselnya yang tergeletak di meja. Bayangan tentang pria misterius yang ia temukan terluka semalam kembali memenuhi pikirannya. Bagaimana jika ia salah dalam menilai situasi? Bagaimana jika pria itu ternyata membawa lebih banyak masalah? Namun, di sisi lain, keingintahuan dan rasa tanggung jawab yang muncul di dadanya membuatnya enggan meninggalkan masalah itu begitu saja.

Dengan satu helaan napas panjang, Intan menyandarkan tubuhnya, berusaha menenangkan diri sebelum semuanya semakin rumit. Hanya sebulan lagi menuju rencana yang telah ia susun matang-matang. Namun, kini ia harus berpacu dengan waktu, berusaha menjalankan kehidupan normal sembari mengatur langkah agar rencananya berjalan sempurna.

Sejenak, Intan menatap langit-langit kamarnya, terbayang pada segala keputusan yang akan ia ambil ke depannya. Hari-hari ke depan tak akan mudah, namun ia tahu, tekadnya sudah bulat.

...****************...

"Lo nggak ke sekolah juga?" tanya Intan begitu melihat Abraham yang santai bermain PlayStation di lantai dua. Suara permainan yang menggelegar memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang kontras dengan niat Intan yang hendak mengonfrontasinya.

"Nggak. Lagi sakit," jawab Abraham tanpa menoleh, jari-jarinya terus bergerak cepat di tombol kontrol.

"Sakit? Atau masih pusing karena minum semalam?" Intan menyilangkan tangan di dada, ekspresi wajahnya tegas. Rasa kesalnya belum mereda setelah kejadian kemarin yang nyaris membuatnya dalam masalah besar.

Abraham mendengus, jari-jarinya mulai menekan tombol dengan kasar. "Ini semua gara-gara Ayah. Nggak bakal kayak gini kalau bukan karena dia."

Intan mendekat, suaranya sarat kemarahan dan kekecewaan. "Bodoh! Yang salah itu lo sendiri. Emang Ayah yang nyuruh lo minum? Ayah juga yang nyuruh lo taruhan balapan?"

Abraham mengernyit tapi tetap fokus pada layar permainan. "Kamu gimana bisa ada di sana kemarin?"

"Harusnya tanya ke teman lo itu, yang dalam keadaan bahaya malah manggil sepupu perempuannya buat bantuin," kata Intan dengan nada sinis, menekankan kata "sepupu" seperti paku yang dihunjamkan tepat di dada Abraham. Sekilas, dia terhenti, tapi buru-buru kembali ke permainan, seolah perkataan Intan hanya angin lalu.

Intan menghela napas panjang, merasakan kelelahan karena percakapan yang sia-sia ini. "Ah, sudahlah. Mending gue istirahat." Dia berdiri, hendak pergi, tapi sebelum melangkah lebih jauh, dia melemparkan kunci motor Abraham yang langsung ditangkap oleh Abraham, nyaris mengenai wajahnya.

"Pakai nih, balikin motornya," ucap Intan, menyindir sambil berbalik pergi tanpa menunggu balasan.

**POV Abraham**

Abraham duduk diam, menatap layar permainan yang sekarang terasa hambar. Pikiran berkecamuk, dan entah kenapa, rasa sesal mendesak di dadanya. "Kenapa, sih, susah banget ngomong 'maaf'?" gumamnya sambil mengacak rambutnya sendiri, perasaan tak nyaman menghantuinya.

Baru saja Intan ada di sampingnya, duduk dekat. Rasanya momen itu cocok untuk sekadar mengucap "maaf." Tapi apa yang ia lakukan? Diam saja. Sekarang Intan sudah pergi, membawa semua kemarahannya.

Dengan gerakan mendadak, Abraham mengambil ponselnya, berniat mengirim pesan singkat. Jari-jarinya siap mengetik kata-kata yang ingin disampaikan sejak tadi. Namun, seolah ada penghalang yang menghentikannya. "Masak gue minta maaf lewat chat? Nggak laki banget," gerutunya sambil menaruh ponsel itu dengan kasar ke meja.

Duduk termenung, Abraham menyandarkan tubuhnya ke sofa, mengenang kejadian kemarin yang membuat dirinya kena tamparan keras dari Intan. Pipinya masih terasa panas seolah-olah tamparan itu baru saja terjadi.

“Maaf, yah, Dek,” batinnya dengan penuh sesal, teringat semua ucapan pedas Intan. Sebenarnya, ia tahu Intan peduli padanya. Seharusnya ia menghargai bantuan Intan, bukannya malah meremehkan.

Malam itu, suasana di meja makan terasa sedikit hampa. Intan duduk di kursi, mencoba mengisi suasana dengan senyum hangat kepada Windana, ibunya, yang meski tersenyum, jelas menyembunyikan sesuatu di balik tatapan sedihnya.

“Selamat malam, Bunda,” sapa Intan, berusaha menyuntikkan keceriaan.

“Malam, sayang. Ayo cepat makan sebelum makanannya dingin,” jawab Windana sambil menyodorkan piring dan lauk kepada Intan. Di sela-sela kesibukan tangannya, tersirat rasa khawatir yang coba ditutupinya rapat-rapat.

Intan tersenyum. “Terima kasih, Bunda. Sepertinya makan malam kali ini enak banget.” Ia mengisi piringnya dengan nasi dan beberapa lauk, tapi tetap tak bisa mengabaikan suasana hening yang menyelimuti rumah.

Abraham, yang biasanya ramai, kali ini tampak tenggelam dalam pikirannya, sesekali menyendok makanan tanpa ekspresi. “Kak Anno nggak pulang?” tanyanya, suaranya sedikit mengambang.

Windana menarik napas panjang. “Sepertinya tidak. Beberapa hari ini dia sibuk banget dengan tugas kuliahnya. Mungkin dia baru akan sering pulang setelah urusan kampusnya selesai.”

Intan mencoba menguatkan sang bunda. “Iya, kan sebentar lagi Kak Anno juga harus menyelesaikan tugas akhirnya. Mungkin dia hanya fokus dengan itu.”

Windana mengangguk, berusaha mengenyahkan segala prasangka yang sempat menghantuinya. “Betul, kalian juga fokus saja dengan sekolah, ya. Jangan sampai terbawa suasana. Pendidikan itu penting.”

“Iya, Bunda,” jawab Abraham dan Intan hampir serempak. Mereka kembali larut dalam makanan, tapi masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Intan tahu waktunya kian terbatas. Ada beban yang harus ia tuntaskan, dan untuk itu, dia butuh lebih dari sekadar keberanian, ia butuh rencana matang dan informasi.

...****************...

Tak lama, di dalam kamarnya, Intan mengetik pesan singkat dengan cepat. Pesannya tertuju pada seseorang yang dikenal dengan inisial “L”—sumber informasi yang sering ia andalkan.

“Berikan aku data kecurangan dari orang-orang penting di Epsilon. Aku butuh informasinya dalam waktu seminggu.”

Jawaban dari “L” muncul secepat kilat: “Bayarannya akan lebih mahal.”

Intan tersenyum, ketikan tangannya tegas. “Tidak masalah.”

Setelah mengirim pesan itu, ia merogoh laci di lemari dan mengambil barang-barang yang pernah ia sembunyikan, peninggalan masa lalunya sebagai “Aster.” “Simpanan terakhir,” gumamnya, mengambil tas kecil yang sudah lama tersembunyi. Semua informasi dan alat penting ada di dalam tas itu—bekal untuk perjalanan malam ini.

Sebelum berangkat, Intan mengetuk pintu kamar Abraham. Pria itu membuka pintu dengan wajah heran.

“Lo mau keluar?” tanya Abraham, terkejut melihat Intan yang mengenakan jaket kulit dan sepatu boots, tampak sangat berbeda dari biasanya.

“Pinjam motormu, dong. Anggap saja ini imbalan buat aku yang bantuin lo kemarin,” jawab Intan datar, tak mau panjang lebar menjelaskan rencananya.

“Mau balapan lagi?” duga Abraham, matanya menyipit. Ia tak ingin Intan terjebak masalah yang sama seperti kemarin, apalagi sampai kena ceramah panjang dari ibunya.

“Tenang, aku cuma mau ketemu teman lama,” ucap Intan setenang mungkin, meskipun sebenarnya di dalam dirinya ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.

Abraham, meski ragu, akhirnya menyerahkan kunci motornya. “Baiklah, tapi jangan sampai Bunda tahu.”

“Siap, Bro!” jawab Intan sambil tersenyum, lalu melangkah pergi dengan gembira.

Abraham hanya bisa berdiri terpaku, menatap kepergian Intan. Ia berjalan ke jendela kamarnya dan melihat adiknya itu sudah mengenakan helm, menstarter motor, dan dengan lincah melaju meninggalkan halaman rumah.

“Sejak kapan dia bisa sehebat itu mengendarai motor?” gumamnya dengan alis berkerut. Sesuatu terasa aneh, ada sisi dari Intan yang baru dilihatnya. Rasanya seperti melihat orang lain yang tak dikenalnya.

Terpopuler

Comments

Biduri Aura

Biduri Aura

Abraham kok insting mu peka,, telat,, adik mu celaka insting mu bleng 😔😔😔

2024-04-15

0

Dian Soedarminto

Dian Soedarminto

keluarga yg cuek...mulai ada kepeduliaan, dengan merasakan ada perbedaan dari kebiasaan. 👍

2024-03-30

0

lihat semua
Episodes
1 A09S
2 Kecelakaan
3 Masa Koma
4 Ingatan
5 Keluarga yang kaku
6 5 Shoot
7 Perbuatan Curang Darwin
8 Persiapan
9 Balapan
10 Menabrak Pria Asing
11 Mulai Menemukan Kejanggalan
12 Beberapa Butir
13 Mempersiapkan Rencana Selanjutnya
14 Kekuatan dan keteguhan yang baru
15 Gugatan Cerai
16 Perayaan Pernikahan
17 Perjanjian Pranikah
18 Kejutan tak terduga
19 Balapan II
20 Pelabuhan
21 Makam Aster
22 Kejanggalan
23 Berteman
24 Makan malam
25 Permainan licik
26 Melindungi
27 Permintaan Lathan
28 Penyerangan Hacker
29 Masalah
30 Kemunculan Rendra
31 Kebenaran
32 Masalah lain
33 Lebih Serius
34 Masalah yang tersembunyi
35 Fakta di balik kecelakaan Intan
36 Tuduhan pada Abraham
37 Makan siang bersama
38 Apartemen Lathan
39 Tidak akan melepaskan lagi
40 Mencuri Bukti
41 Benang merah
42 Hanya rasa kasihan
43 Rencana Edo
44 Keyakinan Intan
45 Terlalu berambisi
46 Kepercayaan
47 Pantauan Abraham
48 Caitlyn
49 Penyadapan ponsel
50 Pengejaran Intan
51 Keyakinan yang tergoyahkan
52 Pentas Seni
53 Pentas Seni II
54 Pentas Seni III
55 Terkunci sendirian
56 Perubahan rencana
57 Caitlyn kembali
58 Pesta penyambutan
59 Langkah terakhir menghadapi Edo
60 Bersiap menghadapi Clara
61 Hari yang melelahkan
62 Persiapan pesta penyambutan
63 Tuduhan Clara pada Abraham
64 Peringatan Lathan
65 Membawa Owen
66 Perdebatan dengan Devano
67 Pekerjaan sampingan
68 Berusaha menghindari masalah kedepannya
69 Keadaan owen
70 Ajakan Riel
71 Menyiapkan rencana
72 Mempersiapkan diri
73 Beraksi bersama Riel
74 Dendam yang harus dibayarkan
75 Merasa gusar
76 Kepercayaan yang retak
77 Rumah baru
78 Rencana alat penyadap
79 Tetap menjadi saudara
80 Meretas sistem
81 Mimpi yang mencekam
82 Latihan bela diri
83 hal yang tersembunyi
84 menyusun rencana bersama Abraham
85 Balas budi
86 Berita kematian Intan
87 Hukuman untuk Caitlyn
88 Perasaan yang tertinggal
89 Makan malam berbau bisnis
90 Sosok kakak yang baik
91 Kecurigaan Abraham
92 Karyawan Magang
93 Hary
94 Potret yang hampir memudar
95 Di Bawah Langit Malam
96 Foto Keluarga Elvard
97 Penyerangan Yang Gagal
98 Peringatan
99 Misteri Maya
100 Terpilih, Terus Terluka
101 Meninggalkan Bayang-Bayang
102 Mengambil Langkah Mundur
103 Sesuatu Yang Lebih Tenang
104 Pertemuan Lathan Dengan Alea
105 Dua Dunia
106 Flash Drive
107 Menyelamatkan Abraham
108 Memulai Penyelidikan Bersama
109 Dua Video yang berbeda
110 Kerja Sama Reksa dan Baron
111 Kembali Terjebak
112 Pertaruhan Nyawa
113 Kilasan Balik
114 Merencakan Hal Besar
115 Mengambil Dokumen
116 Kejutan Besar
117 Kejutan Besar II
118 Rumah sakit (Fajar)
119 Sebuah Jawaban
120 Desa Laran
121 Malam Hari Di Pedesaan
Episodes

Updated 121 Episodes

1
A09S
2
Kecelakaan
3
Masa Koma
4
Ingatan
5
Keluarga yang kaku
6
5 Shoot
7
Perbuatan Curang Darwin
8
Persiapan
9
Balapan
10
Menabrak Pria Asing
11
Mulai Menemukan Kejanggalan
12
Beberapa Butir
13
Mempersiapkan Rencana Selanjutnya
14
Kekuatan dan keteguhan yang baru
15
Gugatan Cerai
16
Perayaan Pernikahan
17
Perjanjian Pranikah
18
Kejutan tak terduga
19
Balapan II
20
Pelabuhan
21
Makam Aster
22
Kejanggalan
23
Berteman
24
Makan malam
25
Permainan licik
26
Melindungi
27
Permintaan Lathan
28
Penyerangan Hacker
29
Masalah
30
Kemunculan Rendra
31
Kebenaran
32
Masalah lain
33
Lebih Serius
34
Masalah yang tersembunyi
35
Fakta di balik kecelakaan Intan
36
Tuduhan pada Abraham
37
Makan siang bersama
38
Apartemen Lathan
39
Tidak akan melepaskan lagi
40
Mencuri Bukti
41
Benang merah
42
Hanya rasa kasihan
43
Rencana Edo
44
Keyakinan Intan
45
Terlalu berambisi
46
Kepercayaan
47
Pantauan Abraham
48
Caitlyn
49
Penyadapan ponsel
50
Pengejaran Intan
51
Keyakinan yang tergoyahkan
52
Pentas Seni
53
Pentas Seni II
54
Pentas Seni III
55
Terkunci sendirian
56
Perubahan rencana
57
Caitlyn kembali
58
Pesta penyambutan
59
Langkah terakhir menghadapi Edo
60
Bersiap menghadapi Clara
61
Hari yang melelahkan
62
Persiapan pesta penyambutan
63
Tuduhan Clara pada Abraham
64
Peringatan Lathan
65
Membawa Owen
66
Perdebatan dengan Devano
67
Pekerjaan sampingan
68
Berusaha menghindari masalah kedepannya
69
Keadaan owen
70
Ajakan Riel
71
Menyiapkan rencana
72
Mempersiapkan diri
73
Beraksi bersama Riel
74
Dendam yang harus dibayarkan
75
Merasa gusar
76
Kepercayaan yang retak
77
Rumah baru
78
Rencana alat penyadap
79
Tetap menjadi saudara
80
Meretas sistem
81
Mimpi yang mencekam
82
Latihan bela diri
83
hal yang tersembunyi
84
menyusun rencana bersama Abraham
85
Balas budi
86
Berita kematian Intan
87
Hukuman untuk Caitlyn
88
Perasaan yang tertinggal
89
Makan malam berbau bisnis
90
Sosok kakak yang baik
91
Kecurigaan Abraham
92
Karyawan Magang
93
Hary
94
Potret yang hampir memudar
95
Di Bawah Langit Malam
96
Foto Keluarga Elvard
97
Penyerangan Yang Gagal
98
Peringatan
99
Misteri Maya
100
Terpilih, Terus Terluka
101
Meninggalkan Bayang-Bayang
102
Mengambil Langkah Mundur
103
Sesuatu Yang Lebih Tenang
104
Pertemuan Lathan Dengan Alea
105
Dua Dunia
106
Flash Drive
107
Menyelamatkan Abraham
108
Memulai Penyelidikan Bersama
109
Dua Video yang berbeda
110
Kerja Sama Reksa dan Baron
111
Kembali Terjebak
112
Pertaruhan Nyawa
113
Kilasan Balik
114
Merencakan Hal Besar
115
Mengambil Dokumen
116
Kejutan Besar
117
Kejutan Besar II
118
Rumah sakit (Fajar)
119
Sebuah Jawaban
120
Desa Laran
121
Malam Hari Di Pedesaan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!