Tok, tok, tok.
“Bunda, boleh Intan masuk?” Intan mengetuk pintu kamar yang sudah beberapa hari ini tertutup rapat. Setelah malam itu, Windana lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya. Sementara Abraham, yang marah besar karena kata-kata Intan, memilih perang dingin dengannya, menghindari semua percakapan dan pertemuan.
Banyak ancaman dan tuduhan yang Darwin lemparkan untuk Windana, hingga Windana meragukan kekuatan dari beberapa dokumen yang di simpan oleh Intan dan Devano. Menjadikan tekanan batin bagi Windana yang menyimpan itu semua sendiri.
“Bunda, Intan masuk, ya!” ucap Intan lagi, kali ini sambil membuka pintu besar itu dengan perlahan.
Sesaat, ia berdiri di ambang pintu, memandangi kamar yang remang, seperti menggambarkan perasaan murung pemiliknya. Pelan-pelan, Intan berjalan mendekat, membuka sedikit tirai jendela, membiarkan cahaya lembut masuk ke dalam ruangan yang selama ini dibalut kegelapan. Di atas tempat tidur, Windana masih berbaring dengan wajah terbenam di bantal, seakan tak menyadari kehadiran putrinya.
“Bunda, hari ini Intan sudah menyelesaikan semua jadwal les,” ucapnya, berusaha memecah kebisuan. “Jadi, besok-besok mungkin Intan bisa lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, nemenin Bunda.”
Intan tersenyum tipis, mencoba menarik perhatian ibunya, lalu melanjutkan, “Apa Bunda tahu? Kak Anno sekarang sangat bekerja keras. Dia sudah jadi lelaki yang kuat dan siap melindungi kita. Tapi mungkin ke depannya Kak Anno akan makin sibuk, jadi nanti lebih sering ada aku sama Kak Bram di rumah. Kami akan selalu menemani Bunda.”
Ia menunduk, memandangi wajah Windana yang masih bergeming, namun ia terus berbicara, mencoba merangkai kata yang menenangkan. “Kak Bram masih marah padaku, Bunda. Aku juga bingung harus bagaimana, dia terus saja mendiamiku. Di sekolah atau di rumah, sikapnya nggak berubah. Menurut Bunda, sifat keras kepalanya itu mirip siapa?”
Intan menarik napas dalam, menahan perasaan yang menyesak. Ia sendiri sebenarnya tak terlalu memedulikan sikap Bram, namun ia harus terus mengajak Windana bicara. Ia tahu, jika tidak ada yang membantunya keluar dari kesedihan ini, Windana bisa semakin tenggelam dalam rasa sakit dan kegagalannya mempertahankan rumah tangganya.
“Bunda,” suara Intan semakin lirih, “kami butuh Bunda. Kami terlalu lemah untuk menghadapi semua ini tanpa Bunda.”
Intan beranjak dari tempatnya dan mendekat ke vas bunga yang ada di atas nakas. Dengan hati-hati, ia mencabut bunga-bunga yang sudah layu, membuangnya ke tempat sampah, lalu menempatkan bunga segar yang ia bawa sejak tadi.
“Kemarin, ayah kembali mengirim pengacaranya ke sini. Pria tua itu… ia terus memaksa masuk untuk menyerahkan surat gugatan cerai.”
Kata-katanya terhenti sejenak, suaranya pelan namun menyimpan luka yang dalam. “Kalau Bunda memang merasa sudah tidak bisa bertahan… maka jangan dipaksakan lagi. Jangan bertahan hanya karena kami. Berpisahlah dari Ayah jika itu lebih baik. Kami mungkin bisa bertahan tanpa Ayah, tapi kami… kami tidak bisa tanpa Bunda.”
Sambil berkata, Intan mengusap air mata yang jatuh, mengalir hangat di pipinya. “Kami hanya butuh pelukan Bunda… hanya butuh pelukan yang membuat kami merasa hangat di dunia yang kadang bisa terasa begitu dingin.”
Ia menatap punggung ibunya yang diam, seolah tak mendengar kata-kata penuh kesedihan itu. Akhirnya, Intan beranjak, meletakkan surat dengan logo pengadilan agama yang jelas terlihat di atas meja.
“Bunda, suratnya Intan simpan di sini, ya. Aku harus pergi sebentar untuk bertemu seseorang,” ucap Intan sebelum pergi, meninggalkan kamar itu dengan perasaan lega bercampur gamang.
...****************...
Hari ini, Intan kembali bertemu dengan Herbi, pengacara yang direkomendasikan oleh L. Di kafe kecil yang nyaman, mereka duduk berhadapan. Ini adalah pertemuan terakhir mereka untuk mempersiapkan langkah hukum yang akan diambil.
“Selamat siang, Nona. Maaf, saya agak terlambat,” sapa Herbi, sambil menarik kursi dan duduk di depan Intan.
“Tidak masalah, Pak Herbi. Saya tahu Anda pasti sangat sibuk,” jawab Intan ramah, meskipun hatinya lelah setelah semua yang terjadi.
Herbi menatapnya serius, wajahnya penuh perhatian. “Berdasarkan semua yang sudah kita kumpulkan, persiapan kita sudah cukup matang untuk maju ke pengadilan. Tapi bagaimana dengan keputusan perceraian orang tua Anda?”
Intan menunduk, tangannya saling meremas di bawah meja, menahan kegelisahan. “Aku akan berusaha bicara dengan Bunda. Masalah ini adalah yang paling berat… menguras pikiran dan perasaanku,” ucapnya lirih.
“Kalau begitu, Anda harus bergegas,” Herbi mengingatkan dengan nada penuh urgensi, sambil sesekali menoleh, memastikan tak ada orang yang mendengar.
“Rapat dewan direksi akan dilakukan oleh Tuan Darwin setelah masa cuti pernikahannya selesai, Nona. Saya kira, Anda sudah tahu itu?”
Intan mengangguk lemah, “Ya, Pak. Saya tahu, dan saya akan berusaha menyelesaikannya sebelum menghadiri pernikahan mereka besok.”
Herbi tersenyum singkat, menatapnya dengan sorot mata penuh pengertian. “Baiklah, saya tunggu kabar baik dari Anda.”
Dengan anggukan, Intan membalas senyum itu, lalu mengucapkan salam perpisahan. Herbi bangkit dan meninggalkan kafe, sementara Intan tetap duduk sejenak, merenung dalam diam, mencoba mengendalikan perasaannya yang berkecamuk.a
Setelah meninggalkan kafe, Intan berjalan tanpa tujuan di taman kota, hingga akhirnya duduk di tepi danau yang tenang. Di hadapannya, air berwarna hijau berlumut tampak tenang, menyajikan pemandangan damai yang seakan bertolak belakang dengan kekacauan hatinya. Ia memungut kerikil kecil dari sampingnya, menimbang-nimbang batu itu di tangan.
“Seandainya semua ini bisa berjalan sesuai rencana,” gumamnya pelan, memandangi air danau. “Seandainya saja Bunda bisa segera menandatangani surat cerai itu, mungkin semuanya bisa lebih mudah.”
Ia melemparkan kerikil kecil itu ke danau, melihat riak-riak kecil yang mengusik permukaan air. “Uangku juga sudah hampir habis untuk semua ini,” keluhnya, sambil mengambil kerikil lain dan melemparkannya lagi ke danau.
“Aku benci Darwin dengan semua tipu muslihatnya,” katanya sambil menatap riak yang perlahan memudar.
Dan ia teringat pada Abraham, kakaknya yang sekarang dingin padanya. “Aku juga benci Bram… kenapa dia begitu keras kepala?” ucapnya, melempar kerikil lain sambil menggerutu.
Intan terus membuang kerikil sambil mengeluarkan segala kekesalan yang menyesakkan dadanya.
“Aku benci Darwin,” katanya lagi, kerikil lain terjatuh ke danau.
“Aku benci Bram,” gumamnya, diikuti lemparan batu lain.
Pada lemparan terakhir, Intan terdiam, memandang jauh ke permukaan danau yang kini kembali tenang. “Dan… aku benci diriku sendiri… aku benci diriku yang tak berdaya.”
Kerikil terakhir itu jatuh, menciptakan riak kecil, seolah membalas ucapannya. Ia menghela napas panjang, menenangkan dirinya yang hampa.
“Ah, aku membuang-buang waktu untuk hal yang sia-sia,” katanya, beranjak berdiri, siap meninggalkan tempat itu.
Dari balik pohon besar tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang pria muncul, diam-diam memperhatikan gerak-geriknya. Dengan senyum tipis, pria itu mendekati danau, mengambil kerikil, dan melemparkannya ke air, mengikuti cara Intan.
“Gadis bodoh,” gumamnya sambil menatap danau yang tenang. “Apa gunanya melempari danau dengan kerikil kecil begitu? Kenapa tidak langsung saja menampar wajah para pria sialan yang membuatnya marah?”
Pria itu melemparkan kerikil lain, menciptakan riak di air.
Namun tiba-tiba ia tertawa kecil, menyadari apa yang sedang ia lakukan. “Eh, tunggu! Kenapa aku juga jadi ikut-ikutan melempari danau dengan kerikil?”
Sambil tertawa kecil, ia memandangi danau yang beriak, lalu menyatukan kedua tangannya di depan dada. “Mohon maaf, ikan-ikan, tanaman, dan semua makhluk di dalam danau yang jadi korban perbuatan isengku tadi.”
Intan, yang sudah berjalan menjauh, mendengar suara itu dan menoleh. Melihat pria itu, ia tak bisa menahan senyum kecil. Pria aneh itu terlihat sungguh-sungguh meminta maaf pada danau dan seluruh makhluk di dalamnya, sesuatu yang tak pernah terpikir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Dian Soedarminto
jodoh kali ya?😁😅
2024-03-30
0
Ajusani Dei Yanti
sama-sama aneh kan jadinya
2024-03-13
0
Kartika Lina
sama2 aneh 😄
2024-02-21
2