Sudah hampir 7 jam setelah dipindahkan dari ruang operasi, tubuh Intan masih belum menunjukkan reaksi apapun. Tersisa 1 jam 23 menit untuk menentukan kesembuhan pasien, jika belum ada tanda - tanda kesadaran maka dia akan semakin terlelap dalam masa komanya. Luka pada bagian kepala yang cukup parah menempatkannya dalam kondisi kritis.
"Bertahan yah sayang, Bunda disini nunggu kamu bangun lagi" ucap Windana dengan lirih mempererat genggaman pada tangan Intan yang terbebas dari selang infus. Berharap putri satu - satunya itu segera memberi reaksi.
"Sebaiknya bunda pulang dulu untuk istirahat, biar aku dan anno yang menjaga intan di sini" pinta Abraham mendekat ke arah Windana, dia khawatir pada perempuan yang tidak pernah melepaskan pandangan dari tubuh yang masih tenang dalam tidurnya. Sedangkan Devano yang mendengar namanya disebut ikut beranjak dari duduknya. bergegas menghampiri Windana dan Abraham.
"Iya bunda, biar kami yang menjaga Intan disini" ucap Devano membantu Abraham membujuk Windana yang masih saja meneteskan air matanya.
"Lalu bagaimana jika saat bunda pergi, intan juga ikutan pergi. Bukankah kalian tahu hanya aku yang cukup dekat dengannya, meski kalian saudaranya tetapi kalian sering mengabaikannya" ungkap Windana yang tahu dengan jelas hubungan anak - anaknya selama ini.
Meskipun Devano dan Abraham merupakan kakak kandung dari Intan, namun hubungan mereka tidaklah dekat seperti hubungan saudara pada umumnya. Sebuah kejadian di masa lalu menjadi penyebab hubungan mereka meregang setelah intan memasuki bangku SMP. Hanya mereka bertiga yang paham betul dengan alasan mereka saling menjauh.
"Lebih baik kalian yang pulang, biarkan bunda tetap disini menemani putri bunda" lanjut Windana setelah menghela napasnya pelan
Mendengar perintah Windana, mereka segera beranjak kembali sofa yang berada di sudut ruangan tersebut.
...****************...
"Kau sudah pernah menolongku, aku mohon tolong diriku sekali lagi!" pinta Intan menangis sesenggukan pada Aster yang masih berdiam diri menatapnya bergeming.
"Bagaimana caraku menolongmu. Sedangkan aku saja tidak mampu menolong diriku sendiri" jawab Aster menatap malas pada Intan yang terus merengek padanya.
"Kita sama - sama terperangkap di sini, tidak ada jalan keluar bagi kita yang meninggal sebelum waktunya" ucap Aster mengedarkan tatapannya pada ruang hampa yang tak berujung itu. Beberapa orang juga berada di sana, bergerak Kesana kemari untuk mencari jalan keluar tanpa arah yang jelas.
"Bagaimana keadaan bunda sekarang, bagaimana bunda akan menjalani hari tanpa diriku. Huaa... Maafkan aku bunda" kata Intan untuk kesekian kalinya dengan air matanya yang ikut luruh. Entah kata itu sudah berapa kali dia ucapkan, membuat telinga Aster panas mendengarnya.
"Jangan membuang tenagamu, Sekeras apapun kau menangis. kau tetap tidak akan bisa keluar dari sini" kata Aster menepuk pelan bahu intan yang masih saja tidak bisa menerima keadaan mereka.
"Aku mohon bantu aku sekali ini saja!" pinta Intan kembali berusaha menggenggam erat kedua tangan Aster. Memandang sayu pada sosok yang tampak acuh dengan kejadian yang mereka alami
"Baiklah aku akan membantumu, itupun jika aku bisa" pasrah Aster menatap ke arah lain, lalu bergegas menghindari tatapan Intan yang membuatnya merasakan sesuatu yang aneh.
...****************...
"Intan kenapa nak?" teriak histeris Windana saat tubuh intan kejang - kejang dan bergetar hebat. Sedangkan Devano dan Abraham terperanjak kaget dengan kejadian di depan mereka.
"Panggil dokter ke sini!" pinta windana menatap tajam dua pria yang masih belum menguasai diri mereka dari keterkejutan. Hingga mereka berdua berlarian keluar ruangan memanggil dokter dan perawat yang bisa mereka temui.
"Mohon ibu keluar sebentar yah!" pinta seorang perawat melepas selang ventilator dari hidung intan. sedangkan perawat lain dan dokter yang datang dengan tergesa - gesa.
"Detak jantungnya melemah Dok!" ucap perawat yang lebih dulu berada di sana. sembari melepas bantal yang berada di bawa kepala intan.
"Siapkan alat pacu jantung!" pinta dokter mendekat dengan tergesa - gesa kearah bed pasien tempat Intan terbaring.
"Mohon ibu keluar sebentar yah!" pinta salah satu perawat mengarahkan Windana untuk keluar dari ruangan tersebut.
"Aku mohon Tuhan, selamatkan putriku untuk kali ini saja" ujar windana berdiri menatap pintu yang sudah tertutup kembali dengan rapat.
"Bunda! tenanglah, dia pasti akan baik - baik saja" ucap Devano menghampiri Windana segera menuntunnya ke arah kursi yang berbaris di depan ruangan tersebut.
"Ini! bunda minum dulu, tenangkan diri bunda. Semua akan baik - baik saja" ucap Abraham menyodorkan sebotol minuman mineral pada Windana.
sadar akan tatapan sayu dari kedua putranya membuat Windana mengalah mengikuti keinginan anaknya, Mengambilnya dan meminumnya beberapa tegukan. Sebelum mengembalikan minuman tersebut pada Abraham.
Setelah menunggu hingga hampir 30 menit ruangan itu kembali terbuka. Seorang perawat keluar dengan tergesa - gesa meninggalkan ruang itu. Selang beberapa menit perawat itu kembali ke dalam ruangan dengan membawa beberapa cairan infus serta beberapa alat medis lainnya.
Setiap pintu itu terbuka windana beranjak berdiri, Memastikan orang yang keluar. Rasa cemas begitu mencekam dirinya, menunggu kabar putrinya di dalam sana. Entah anaknya mampu diselamatkan atau tidak?, Entah tindakan medis seperti apa yang mereka lakukan? Pertanyaan itu tidak lagi dipedulikan Windana yang ingin dia ketahui hanya keadaan Intan.
Hingga pintu itu kembali terbuka menampakkan wajah pria yang berstatus Dokter.
"Bagaimana keadaan putri saya Dok?" tanya Windana buru - buru mendekat kearah pria tersebut.
"Pasien berhasil melewati masa kritisnya, Kini kita hanya tinggal menunggu kesadaran pasien" ucap pria itu mengembangkan sedikit senyumnya setelah menurunkan masker yang menutup sebagian wajahnya.
"Benarkah begitu Dokter. Terima kasih, terimakasih telah menyelamatkannya" ucap Windana penuh rasa syukur. Kini rasa cemasnya sedikit melebur ke atas udara. Ada perasaan lega dan ringan mendengar kabar itu.
"Jangan hanya berterima kasih pada saya, ini semua hanya karena Tuhan menghendakinya untuk terjadi pada putri anda" ucap pria itu menepuk beberapa kali pundak Windana.
"Kalau begitu saya pamit undur diri" kembali dokter itu membuka suara sebelum melangkah meninggalkan tempat itu.
"Apa kami sudah bisa masuk melihatnya?" tanya Windana saat melihat perawat terakhir keluar dari ruangan itu.
"Silahkan nyonya" ucap perawat itu bergeser sedikit dari tempatnya berdiri. Memberi ruang agar wanita itu memasuki ruang yang didominasi warna putih gading. Sedangkan dua pria dengan wajah dingin masih nyaman dengan posisi duduk mereka.
"Bukankah kalian bersekolah di tempat yang sama? meski kalian beda tingkatan, Namun tidak mungkin kau tak tahu apa yang menyebabkan dirinya senekat itu bukan?" tanya Devano membuka suara setelah Windana masuk ke dalam ruang.
"Aku memang tahu dia sering mendapat tindakan yang kurang baik dari beberapa siswa. Tapi aku juga tidak menduga dia akan selemah itu untuk bertahan" ungkap Abraham menatap tajam pada kakak tertuanya itu.
"Huftt... Sudahlah sebaiknya kau terus berada di sisinya selama pengobatannya. Agar bunda tak membencimu lebih dalam" kata Devano bangkit berdiri, dia juga tak mampu membela Intan saat dirinya mengetahui tentang perundungan di sekolah. bahkan hanya untuk menjadi pendengar saja dirinya pun tidak bisa.
"Hmm aku paham" kata Abraham mengerti ucapan kakaknya.
"Ayo kita kembali ke dalam, bunda pasti semakin sedih bila kita tak menemaninya. ayah mungkin besok baru bisa datang ke sini" ucap Devano melenggangkan langkahnya disusul Abraham kembali masuk ruang rawat tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Fifid Dwi Ariyani
trussemangat
2024-04-10
0