Setelah memarkir motornya di depan sebuah swalayan, Intan turun dan memandang sekeliling dengan tatapan tajam. Suara riuh dari orang-orang yang keluar masuk swalayan dan lampu-lampu neon yang menyala terang tidak mengurangi kewaspadaannya. Malam itu langit bersih, memperlihatkan cahaya bulan yang sempurna, seakan memberi penerangan tambahan bagi Intan yang melangkah dengan cermat.
Beberapa meter dari swalayan, ia mendapati sebuah tembok pembatas yang menghadap langsung ke laut. Angin laut yang sejuk menerpa wajahnya, sejenak menenangkan hati yang dipenuhi banyak rencana dan rahasia. Cahaya bulan memantul di atas permukaan air laut yang tenang, memberikan kesan magis pada malam itu.
Intan berdiri di sana, bersandar pada tembok, menikmati pemandangan dan ketenangan yang langka. Tapi dia tidak datang hanya untuk menikmati malam; ada misi yang harus ia selesaikan. Setelah menunggu dan mengamati situasi sekitar selama hampir satu jam, memastikan tidak ada yang membuntutinya, ia beranjak ke taman kecil di dekat sana, yang hampir terlupakan dan dikelilingi tanaman pagar yang tebal.
Berjongkok, Intan mulai menghitung langkah dari ujung taman, lalu menjengkal tanah dengan hati-hati, berhenti di titik tertentu. Dengan cekatan, ia menggali tanah, dan tak lama kemudian, tangannya merasakan sesuatu yang sudah sangat ia kenal—bungkusan hitam yang disembunyikannya dahulu. Tersenyum kecil, ia menarik bungkusan itu, membersihkannya, lalu memasukkannya ke dalam saku jaket dengan hati-hati. Bungkusan ini adalah bagian penting dari rencananya yang baru. Ia tak boleh ceroboh.
Intan melangkah santai kembali ke arah swalayan, mengambil motornya. Dalam perjalanan pulang, pikirannya melayang pada masalah yang harus ia selesaikan. "Aku butuh motor sendiri," gumamnya, menyadari tidak mungkin selamanya meminjam motor Abraham. Namun, di atas segalanya, ia tahu ada hal yang jauh lebih penting yang menunggu untuk dipecahkan.
Setelah berkendara sejenak, Intan memutuskan untuk menepi di sebuah rest area kecil. Ia memarkirkan motornya, melepas helm, dan menarik napas panjang, menikmati udara malam yang segar. Melihat sekeliling, ia mendapati beberapa orang lainnya yang juga beristirahat di tempat itu. Tanpa terburu-buru, ia mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya dengan pemantik, dan menghisapnya perlahan. Pikiran-pikirannya berkecamuk, berusaha merangkai kepingan informasi yang ia miliki.
Namun, tanpa ia sadari, dari dalam sebuah mobil yang terparkir tidak jauh darinya, seorang pria mengawasi setiap gerakannya. Pria itu mengenali Intan; gadis yang dilihatnya dalam pertemuan yang tak terduga kemarin. Alis pria itu berkerut, penuh kecurigaan.
"Kenapa dia ada di sini lagi? Apa dia punya masalah... atau dia sengaja mencari tahu tentang aku?" bisik pria itu pada dirinya sendiri, tatapannya tak lepas dari sosok Intan yang sedang merokok dengan tenang.
Perlahan, kecurigaan pria itu berubah menjadi ketegangan. “Tidak mungkin ini hanya kebetulan. Jangan-jangan dia sudah melacak keberadaanku,” ucapnya, meraba-raba bawah kursinya, dan menarik keluar senjata api yang ia sembunyikan. Rencananya sudah terlalu lama disusun, dan dia takkan membiarkan siapapun merusaknya.
Saat itu, ponsel Intan berdering. Ia melihat layar, panggilan dari Windana. Intan segera membuang rokoknya, menginjaknya untuk mematikan bara, dan mengangkat telepon dengan nada suara yang tenang.
“Halo, iya Bunda, aku masih di jalan. Aku segera pulang,” jawab Intan, berusaha meyakinkan ibunya agar tidak khawatir. Setelah menutup panggilan, ia memasang kembali helmnya dan segera melajukan motor, meninggalkan rest area.
Di dalam mobil, pria itu memperhatikan dengan seksama gerak-gerik Intan yang nampak natural saat menerima telepon. Hatinya sedikit bimbang. "Apa aku terlalu curiga?" gumamnya pelan, tapi rasa waspada dalam dirinya masih tinggi. Sejenak ia berpikir, kemudian meraih ponsel dan menghubungi salah satu orang kepercayaannya.
“Cari tahu siapa pemilik motor yang kukirimkan padamu, dan segera laporkan jika ada yang mencurigakan,” ucap pria itu setelah panggilan tersambung. Ia takkan membiarkan ada yang menghalangi rencananya, bahkan jika itu adalah gadis yang nampak tak berbahaya seperti Intan.
“Darimana saja, Nak?” tanya Windana dengan raut wajah cemas saat menyambut kedatangan Intan. Tangan Windana meremas lengan kursi, seolah ingin menangkap setiap kata yang keluar dari mulut putrinya.
“Dari rumah teman Bunda. Tadi dia minta tolong dibelikan obatnya,” jawab Intan, berusaha mengabaikan kecemasan yang terbayang di wajah ibunya. Dia tahu Windana selalu khawatir sejak kecelakaan di sekolah yang membuatnya trauma.
“Sayang, lain kali kalau mau pergi, jangan sendirian, ya. Kan ada supir yang bisa mengantar kamu,” jelas Windana, suaranya penuh rasa sayang dan perlindungan. Angin malam berhembus lembut, seolah turut mendengarkan kekhawatiran seorang ibu.
“Ya, Bunda,” jawab Intan, berusaha menenangkan hati ibunya. Dia tahu, membicarakan hal itu tidak akan mengubah apapun, dan Windana tidak perlu terbebani lebih lanjut.
“Sebaiknya sekarang kamu istirahat. Besok harus ke sekolah, kan?” Windana menatap Intan dengan lembut, berharap putrinya mendapatkan cukup istirahat untuk menghadapi hari yang akan datang.
“Baik, Bunda. Aku naik dulu,” kata Intan, melangkah pelan menuju kamar tidurnya. Dia bisa merasakan tatapan penuh cinta sekaligus cemas dari ibunya, tetapi dia juga tahu bahwa ada sesuatu yang lebih penting menantinya di kamar.
Setibanya di dalam kamar, Intan segera menutup pintu dan meraih bungkusan yang tadi dibawanya. Dengan penuh rasa ingin tahu, dia membuka beberapa lapis bungkusan plastik hitam dan putih itu. Hatinya berdebar ketika benda-benda kecil mulai terlihat, bersinar di bawah cahaya lampu.
“Akhirnya,” ucapnya lirih, tersenyum lebar saat melihat butiran-butiran berlian yang bercahaya seperti bintang di langit malam. Mereka berkilauan dengan keindahan yang tak tertandingi, seolah menyimpan banyak rahasia.
Keadaan berlian itu masih sama, tak ada perubahan sejak terakhir kali dia melihatnya. Intan tahu betul bahwa berlian-berlian itu bukan hanya sekadar perhiasan. Dalam hati, dia bertekad untuk tidak hanya menjadikannya hiasan, tetapi juga sebuah kekuatan untuk mewujudkan impian yang terpendam.
...****************...
“Tuh kan, terlambat jadinya!” gerutu Intan, berlari ke arah barisan siswa yang sudah siap untuk masuk ke kelas. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, berusaha mengatur napas setelah berlari.
“Intan!” seru Pak Carles, wali kelasnya, sambil melambaikan tangan. Pria berperut sedikit buncit itu tampak tegas dengan ekspresi serius.
“Sudah bolos dua hari, terlambat pula sekarang,” cercanya saat Intan berhasil mengambil tempat di barisan paling belakang. Dia merasa semua mata tertuju padanya, dan itu membuatnya semakin cemas.
“Bu Hanna, untuk anak wali saya ini, serahkan pada saya,” ucap Pak Carles, dan mendapat anggukan dari guru piket yang berdiri di samping. Intan merasakan kepanikan merayap di hatinya.
“Intan, segera catat nama kamu dan ikut saya!” pinta Pak Carles dengan suara yang tak bisa ditolak. Intan dengan cepat memotong antrian, mencatat namanya pada buku pelanggaran, lalu mengikuti langkah Pak Carles menuju lantai dua sekolah.
“Hukuman kamu, bersihkan semua toilet di lantai dua ini. Jika sudah selesai, segera menghadap saya di ruangan guru nanti!” jelas Pak Carles. Intan merasa tercengang. Dia menelan ludah; di lantai dua terdapat dua toilet. Pikirannya berkelana, bagaimana dia harus membersihkan toilet laki-laki? Toilet perempuan mungkin masih bisa dimengerti, tapi toilet laki-laki? Itu akan sangat canggung.
“Lakukan saja dulu,” ucapnya pada dirinya sendiri, sambil mengambil kain pel, sikat, dan ember yang tergeletak di sudut ruangan.
Sebelum memasuki toilet laki-laki, Intan mengetuk-ngetuk pintunya, merasakan sedikit keraguan.
“Eh, apa yang kau lakukan?” tanya Ikram, ketua OSIS, yang muncul dari toilet dengan ekspresi terkejut. Matanya menatap Intan seakan tidak percaya.
“Mau ngintip, ya?” tanya Ikram lagi, melihat Intan yang tampak kikuk di depan toilet.
“Jangan nuduh! Lo nggak lihat apa yang gue pegang?” jawab Intan sambil menunjukkan kain pel dan ember. “Dan tas yang masih setia di punggung gue. Lo harusnya paham, dong!”
Ikram tertawa. “Hahaha, lo telat! Tumben anak paling disiplin ternyata bisa telat juga,” ejeknya, mengenal baik karakter Intan yang biasanya selalu tepat waktu dan menghindari masalah.
“Udah sana, minggir!” ucap Intan, mendorong pelan tubuh Ikram yang menghalangi jalan masuk.
“Di dalam masih ada beberapa orang. Lagian, kalau mau bersihin toilet, pasang plang ini dulu biar nggak ada yang masuk,” jelas Ikram, sambil menempelkan plang yang entah dari mana dia dapatkan.
“Woi, yang di dalam! Cepetan! Toiletnya mau dibersihin!” teriak Ikram, membentuk corong dengan tangannya. Tak lama, beberapa anak bergegas keluar, tampak bingung melihat situasi tersebut.
“Masuk sana,” ucap Ikram kepada Intan dengan anggukan penuh semangat. Intan merasa sedikit lega. Ikram mungkin hanya mengolok-oloknya, tetapi dia juga membantu.
Masuk ke dalam toilet, Intan segera mengambil sikat dan mulai membersihkan. Saat membersihkan, pikirannya melayang. “Mengapa dia tidak ada dalam ingatanku, padahal sepertinya dia cukup mengenal aku?” monolog Intan dalam hati, sambil membersihkan sudut-sudut toilet yang kurang terawat.
Intan melirik ke arah Ikram yang sedang menunggu di luar. Tiba-tiba, kenangan akan masa-masa di SMP menelusuri pikirannya. Dulu, mereka pernah satu kelas dan berbagi banyak momen, meskipun Intan lebih sering menghindar dari keramaian.
“Saya hanya fokus pada sekolah dan tidak ingin terlibat dalam masalah lain,” pikirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Daniela Whu
yang mencoba ngebunuh intan kok gk ada kabar x siapa gitu terus makin kesini jd makin kesana kurang jelas jalan mau kemana gk ada juga penjelasan keluarga x pada gk curiga gitu terus itu teman"x gk ad juga yg curiga apa
2024-02-28
2