"Lo jadi ikut kan?" tanya Deki melalui pesan singkat yang dikirimkan kepada Intan.
"Jadi, gue udah di jalan," balas Intan dengan cepat. Sesekali, dia menatap ke arah luar mobil, menikmati pemandangan malam yang tenang, jauh dari keramaian kota.
"Nona, kita sudah sampai," ucap sopir, membuyarkan lamunan Intan yang melayang jauh.
"Pak, langsung pulang saja. Nanti aku pulang diantar teman," kata Intan sebelum menutup pintu mobil, disambut anggukan pelan dari sopir.
"Ah, akhirnya kau datang juga!" Deki menyambutnya dengan semangat, segera menarik intan menuju ruang tunggu. "Balapan tinggal beberapa menit lagi, cepat siap-siap!"
"Siap?" tanya seorang wanita berpakaian minim yang berdiri di antara kedua motor yang akan bersaing. Intan dan Reksa saling menganggukkan kepala, mengenakan helm dengan percaya diri.
"3... 2... 1... Go!" Wanita itu menjatuhkan sapu tangan, menandakan balapan dimulai.
Sorakan penonton menggema di sekitar arena, menyemangati peserta favorit mereka. Motor sport melaju kencang, melibas setiap tikungan dan belokan dengan mahir. Reksa, bertekad tidak ingin kalah, memfokuskan perhatiannya pada lintasan, sementara Intan berusaha memberikan yang terbaik meski hanya baru pertama kali berlatih dengan motor ini.
Motor yang disediakan untuknya ternyata sudah dimodifikasi dengan sangat baik, memudahkan Intan melaju meski ia jarang latihan akhir-akhir ini. Keahliannya dalam mengendarai motor tak memudar; ia dengan lincah menavigasi setiap tikungan.
Ketika mereka semakin mendekat ke garis finis, Reksa melirik ke arah Intan dengan senyuman sinis, bersiap untuk melakukan aksinya. Ia berniat membenturkan motor mereka, tetapi Intan, yang sudah menyadari rencananya, segera meningkatkan kecepatan. Ia menghindar dari serangan Reksa, membuatnya semakin marah.
"Bagaimana bisa dia menghindar dengan mudah?" batin Reksa, tatapannya penuh frustrasi pada motor Intan yang melaju cepat di depannya.
"Ya ampun, Reksa, apa yang kau lakukan?" teriak beberapa penonton melihat aksi nekat Reksa yang bisa membahayakan mereka berdua.
"Astaga..." pekik Abraham, yang menonton dari kejauhan, melihat Intan berusaha meloloskan diri dari benturan itu.
"Sedikit lagi, Intan!" Deki berteriak, mengepalkan tangan, berharap Intan segera mencapai garis finis sebelum Reksa bisa mengejarnya lagi.
"Yeii! Kita menang lagi, bro!" Deki memeluk dan memukul-mukul bahu Abraham, membagikan semua kebahagiaan yang meluap.
"Kita menang!" teriak seorang pria lain, menghampiri mereka dan ikut berhamburan memeluk Abraham dan Deki.
"Shit..." desis Reksa, menghentikan motornya dan melepas helmnya dengan kasar. Ia melempar helmnya sembarangan, menyalurkan amarahnya yang membuncah.
"Lo apa-apaan sih!" seru teman-teman Reksa menghampirinya, tidak habis pikir dengan tindakan yang bisa berakibat fatal itu.
Intan yang sudah berhasil menghentikan motornya segera turun dan berjalan cepat ke arah Reksa, yang dikelilingi oleh teman-temannya.
"Kalau lo nggak bisa sportif, jangan tantangin gue balapan!" ucap Intan dengan tatapan tajam, berani menghadapi Reksa.
"Bajingan lo!" kata Intan, menendang pelan ban depan motor Reksa. Ia merasa beruntung bisa menghindar, hampir saja dia mati untuk kedua kalinya jika saja terlambat menyadari serangan Reksa.
"Udah, nggak usah buang-buang tenaga menghadapi orang seperti dia," kata Abraham, menarik Intan menjauh. Teman-teman Reksa menatap tajam, seolah siap menyerang kapan saja.
"Lo nggak bakal bisa menghadapi antek-anteknya nanti. Bukankah sudah ku peringatkan?" Abraham mengingatkan dengan nada tegas, tampak khawatir dengan Intan yang terus melibatkan diri dalam situasi berbahaya.
"Selamat..." Deki memberikan uluran tangan pada Intan.
"Setelah hari ini, jangan hubungi gue untuk hal semacam ini lagi," kata Intan, melepaskan tangan mereka. Ia merasa marah dengan kejadian barusan, ditambah Deki yang tampaknya hanya peduli dengan hasil balapan tanpa memikirkan keselamatannya.
"Itu permintaan ketiga yang gue berikan," ucap Intan, bergegas meninggalkan tempat itu. Beberapa orang melongo, terkejut dengan ucapan Intan.
"Lo masih mau tinggal sama mereka?" Intan menatap Abraham yang masih berdiri terpaku.
"Gue balik duluan, yah," kata Abraham sebelum meloloskan diri dari tatapan Intan.
"Nih, gue nggak nyangka sama keputusan lo barusan," ucap Abraham, menyerahkan helm cadangan pada Intan yang masih mengerutkan dahi.
Setelah Intan menaiki jok belakang motor tanpa aba-aba, Abraham memacu kendaraannya, meninggalkan area balapan yang semakin ricuh dengan pengumuman pemenang. Dalam perjalanan pulang, Intan merasa marah dan kecewa, teringat betapa berbahayanya situasi yang baru saja mereka hadapi.
"Kenapa aku selalu terjebak dalam hal-hal seperti ini?" batin Intan, menatap gelapnya malam. "Mungkin sudah saatnya aku mengambil langkah mundur."
Dalam keheningan, Intan merenung. Dia tahu bahwa hidupnya tidak bisa selalu bergantung pada keputusan impulsif.
"Berhenti di depan!" teriak Intan, menepuk-nepuk bahu kiri Abraham yang masih mengemudikan motor.
"Ada apa lagi?" tanya Abraham, memperlambat laju motornya dan menepikan kendaraan. Intan langsung melompat turun dan bergegas menuju seorang anak yang duduk terdiam di depan sebuah ruko, memeluk lututnya. Anak itu tampak tertidur pulas, tidak terpengaruh oleh udara malam yang dingin dan menusuk.
"Irzam..." panggil Intan sambil menepuk pelan bahu anak tersebut.
"Hemm, kenapa?" tanya Irzam, mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha mengusir rasa kantuk.
"Kenapa belum pulang? Ini sudah larut," tanya Intan, duduk di samping anak itu yang hanya mengenakan kaos oblong oversized.
"Bagaimana bisa pulang, sedangkan aku belum mendapatkan apa-apa hari ini," jawab Irzam, menatap sendu pada bunga-bunga yang layu di sampingnya.
Intan merasa iba melihatnya. Dengan cepat, ia merogoh kantong dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu, memberikannya kepada Irzam. "Ini! Pulanglah," ucap Intan, sambil mengambil semua bunga yang ada di samping Irzam. Ia tahu bahwa Irzam tidak akan mau menerima bantuan dari orang lain tanpa usaha.
"Tapi ini kebanyakan," kata Irzam, menatap uang kertas di tangannya dengan tatapan terkejut.
"Besok sore datanglah ke halte. Tempat kita pernah bertemu," kata Intan, berdiri dan berjalan kembali ke arah Abraham yang masih menunggu di motornya.
"Ingat jam 3 sore!" teriak Intan sebelum naik ke motor.
"Ke pelabuhan," perintah intan, dan Abraham mengangguk, meskipun banyak pertanyaan menggelayuti pikirannya tentang apa yang baru saja terjadi.
Sesampainya di pelabuhan, Intan melangkah menuju sudut pelabuhan, diikuti Abraham yang terus mengekor di belakangnya. Langkahnya terhenti di bangunan pemecah gelombang, tempat yang melindungi pelabuhan dari ganasnya gelombang laut.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Abraham, menatap Intan yang kini berdiri menghadap ke arah laut lepas. Dengan pelan, Intan mulai melemparkan satu per satu bunga yang ada di tangannya ke dalam air. Pandangannya sayu, dan air mata mulai mengalir menetes tanpa ingin dia hentikan.
"Aku tidak tahu harus menangis untuk siapa, tapi aku ingin melakukan ini untuk mengenang kehidupanku yang lalu," batin Intan, terus melemparkan bunga-bunga tersebut ke laut.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Abraham, berdiri di samping Intan, menatap ombak yang saling berkejaran.
"Kau tidak akan paham," jawab Intan, melempar tangkai bunga terakhir yang disambut ombak, yang mengiringi bunga itu ke arah laut lepas.
"Aku memang tidak akan paham. Bahkan dirimu yang sekarang membuatku tidak mengenalimu lagi, Intan," ucap Abraham, menatap sekilas ke arah Intan yang masih terbenam dalam pikirannya.
Setelah berhasil menguasai dirinya kembali, Intan mengedarkan pandangannya, menyusuri area pelabuhan yang tampak sepi di malam hari. Tiba-tiba, matanya menangkap sosok beberapa orang yang bergerak dengan senter, mendekati mereka.
"Kita harus sembunyi!" seru Intan, menarik lengan Abraham dengan cepat, memaksa mereka bergegas menjauh dari lokasi itu.
Mereka melangkah cepat ke balik bangunan pemecah gelombang, berusaha bersembunyi dari pandangan orang-orang yang mendekat. Intan dapat mendengar suara langkah kaki dan obrolan, hatinya berdegup kencang.
"Siapa mereka?" tanya Abraham, dengan suara berbisik penuh ketegangan.
"Entahlah," jawab Intan, menahan napas. "Tapi sepertinya mereka mencari seseorang."
Suasana semakin tegang ketika suara langkah kaki semakin dekat. Intan merasakan adrenalinnya memuncak. "Kita tidak bisa tetap di sini. Jika mereka menemukan kita, kita bisa dalam masalah."
"Ke mana kita pergi?" tanya Abraham, matanya berkilau dengan ketakutan.
"Kita cari jalan keluar lain. Mari, ikuti aku!" ucap Intan, menarik tangan Abraham dan berlari menyusuri sisi bangunan, berusaha mencari tempat yang aman.
Di balik bangunan, mereka menemukan lorong sempit yang mengarah ke area pelabuhan yang lebih gelap. Tanpa berpikir dua kali, mereka memasuki lorong itu, berusaha menjauh dari orang-orang yang semakin mendekat.
"Semoga kita tidak terjebak," bisik Abraham, masih menggenggam tangan Intan, yang merasa cemas namun bertekad untuk tetap tenang.
Ketika mereka melangkah lebih jauh ke dalam lorong, Intan merasa seolah-olah semua kenangan pahitnya bergejolak dalam pikirannya. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambil kendali atas hidupku lagi," batinnya, bertekad untuk menghadapi tantangan ini, apapun yang terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments