“Intan!” panggil Devano sambil melambaikan tangan, matanya berbinar melihat adiknya berjalan keluar dari gerbang sekolah. Begitu melihat Intan, Devano segera keluar dari mobilnya, langkahnya cepat menghampiri sosok mungil yang penuh makna dalam hidupnya itu.
Tanpa ragu, Devano menarik Intan ke dalam pelukannya. Ia memeluknya erat, seolah berbagi kemenangan yang mereka raih bersama. Orang pertama yang ingin ia beri tahu tentang keberhasilan rencana besar mereka adalah Intan.
“Kita berhasil,” ucapnya dengan penuh kegembiraan, tak peduli pandangan heran dari beberapa siswa di sekitar mereka.
Intan terdiam sejenak, lalu membalas memeluk kakaknya. "Benarkah, Kak? Aku turut bahagia mendengarnya! Aku hanya berharap bisa melihat ekspresi ayah saat itu."
Devano tersenyum, mengingat betapa terkejutnya Darwin ketika bukti-bukti yang mereka siapkan ditampilkan. “Ekspresinya... ah, kau pasti puas kalau melihatnya. Dia meninggalkan ruangan dengan wajah pucat dan amarah yang meluap. Semua pembelaannya hancur ketika Herbi memaparkan bukti perselingkuhannya dengan Liliana.”
“Lalu, bagaimana rencana Kakak selanjutnya?” Intan bertanya penuh rasa ingin tahu. Dia ingin tahu apakah kakaknya akan memberi tindakan lebih lanjut terhadap Darwin.
Namun, sebelum Devano sempat menjawab, suara dari arah lain menghentikan percakapan mereka.
“Apa yang kau lakukan di sini, Anno?” suara itu adalah Abraham, yang datang sambil membuka helmnya setelah menepikan motornya di dekat mereka.
Devano mengangguk pada Abraham dan melambaikan tangan. “Bagus kau sudah di sini, Bram. Ayo, kita kembali ke rumah, nanti akan kujelaskan semuanya di sana,” ujar Devano sambil menarik tangan Intan agar segera masuk ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan pulang, Devano tak berhenti menceritakan apa yang terjadi di kantor. Ia mengisahkan bagaimana Darwin terperangah melihat perjanjian pranikah yang sebelumnya dianggapnya hilang, hingga bagaimana para dewan direksi akhirnya mendukung penuh pergantian kepemimpinan perusahaan kepada dirinya. Intan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tersenyum, terkagum akan keberanian Devano.
Namun, di tengah kisah kemenangan itu, Intan bertanya, “Lalu, bagaimana Kakak akan bersikap terhadap ayah selanjutnya?”
Pertanyaan itu membuat Devano terdiam sejenak, tatapannya kembali lurus ke depan, jauh di jalan yang mereka lalui. Ekspresinya berubah serius, ada rasa gundah yang jelas tergambar di wajahnya. Dia terjebak antara perasaan marah dan kasih, antara rasa benci dan rasa hormat.
“Aku... aku belum tahu, Intan,” ucapnya akhirnya. “Sebesar apa pun rasa kecewaku, aku tidak mungkin membiarkan Ayah jatuh dalam kemiskinan. Dia tetap ayah kita. Tapi... di sisi lain, rasanya sulit menerima dia memilih keluarga barunya dengan Liliana.”
Intan mengangguk pelan, memahami kegundahan kakaknya. Ia tahu, di balik ketegasan dan kemenangan yang Devano tunjukkan, ada dilema besar yang tengah bergejolak di hatinya.
“Bagaimanapun, Kakak, tetaplah berpikir rasional,” ujar Intan, menepuk pelan bahu kakaknya. “Jangan sampai kebencian membutakan hati. Semua tindakan Kakak mulai hari ini akan mempengaruhi masa depan kita dan perusahaan keluarga.”
Devano tersenyum tipis mendengar nasihat bijak dari adiknya. “Kau benar, Intan. Yang terpenting untukku sekarang adalah kebahagiaan Bunda dan kalian semua.”
Sesaat keheningan menyelimuti mereka. Devano kemudian melirik ke arah Intan, tiba-tiba teringat sesuatu yang mengganjal.
“Oh ya, Intan,” katanya, “Bagaimana kau bisa mengenal Herbi? Dia sangat banyak membantu kita dalam proses ini.”
Intan menatap ke luar jendela, berusaha menyembunyikan keraguannya sebelum menjawab. “Dia direkomendasikan oleh temanku. Awalnya aku mencarinya untuk membantu Bunda dalam proses perceraian...”
Devano mengangguk pelan, mencoba mencerna penjelasan itu. Ada banyak yang ingin ia tanyakan, terutama soal sumber biaya yang digunakan Intan untuk menyewa pengacara sehebat Herbi. Tapi ia menahan diri, merasa ini belum saatnya menanyakan lebih jauh.
Melihat Devano yang mulai kembali berpikir serius, Intan memutuskan mengalihkan topik. “Kak,” katanya sambil tersenyum kecil, “Bolehkah aku minta hadiah?”
Devano menoleh padanya, sedikit terkejut namun tertawa ringan. “Tentu saja. Kau pantas mendapatkannya setelah semua kerja keras ini. Jadi, apa yang kau inginkan?”
Intan berpikir sejenak, sambil melirik ke arah Abraham yang sedang menunggu mereka di depan. “Aku ingin motor, Kak. Mungkin seperti milik Kak Bram, motor itu terlihat keren!”
Devano tertawa, kali ini lebih lepas. “Baiklah, akan kubelikan satu untukmu! Aku rasa tabunganku cukup untuk motor seperti itu.”
Intan berseri-seri mendengar persetujuan Devano. “Terima kasih, Kak! Aku janji akan berhati-hati dan selalu menjaga motor itu dengan baik.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan senyum yang menghiasi wajah masing-masing. Meski masalah besar telah mereka atasi, Devano tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Kini, dengan Intan, Abraham, dan dukungan dari keluarga, dia yakin akan bisa mengembalikan kejayaan perusahaan keluarga mereka.
...****************...
"Hmm, ada apa?" Intan menjawab panggilan Deki, sedikit heran dengan nada mendesaknya. Di seberang sana, suara bising terdengar, mengganggu konsentrasinya.
"Apakah kau ada waktu luang besok malam?" tanya Deki, berusaha memastikan. Intan mengernyitkan dahi.
"Ada apa? Jika penting, aku bisa. Tapi jika hanya nongkrong di kafe, sepertinya aku tidak bisa," jelasnya sambil bersandar pada teralis besi di balkon rumahnya, menatap langit yang mulai gelap.
"intan, Reksa ngajak balapan lagi besok!" kata Deki penuh semangat. Nama Reksa membuat Intan sedikit terkejut, ingat akan pengalaman tidak menyenangkan di klub Bulan Biru.
"Ah, aku ingat. Balapan," batin Intan. Namun, rasa antusiasnya meredup ketika mengingat situasinya.
"Tapi aku nggak punya motor!" jawabnya akhirnya. Dia sangat ingin berpartisipasi dalam balapan itu, tetapi meminjam motor dari Abraham adalah pilihan yang tidak mungkin, mengingat hubungan mereka yang masih tegang.
"Tak perlu khawatir! Kami sedang di bengkel mempersiapkan motor yang mungkin bisa kau gunakan besok," Deki menjelaskan dengan nada optimis, meski Intan belum menjawab kesiapannya untuk ikut balapan. Deki tampak sangat yakin bahwa Intan tidak akan menolak kesempatan ini.
"Mengenai taruhannya, bagaimana?" tanya Intan memastikan.
"Tenang saja. Kau hanya perlu memenangkan balapan, maka semuanya pasti akan beres," jawab Deki tanpa berniat menyebutkan nominal uang yang menjadi kesepakatan dengan Reksa.
"Baiklah, nanti kirimkan saja lokasi dan waktunya," jawab Intan sebelum menutup telepon.
Baru saja dia meletakkan ponselnya, tiba-tiba Abraham muncul, tampak khawatir.
"Jangan main-main dengan Reksa!" tegur Abraham, membuat Intan sedikit mundur kaget.
"Dia bukan berasal dari keluarga biasa. Sebaiknya kau tetap menjadi Intan yang dulu. Jangan terlibat dengan banyak orang," tambahnya sebelum pergi, tanpa memberi kesempatan bagi Intan untuk merespons.
"Ah, ada apa dengannya?" Intan bertanya pada dirinya sendiri, memandangi punggung Abraham yang perlahan menjauh. Kekecewaan mengalir dalam dirinya. Ia merasa terasing dari keluarga sendiri.
“Biarkan saja dia,” pikirnya sambil duduk di lantai balkon, bersandar pada dinding, menatap sekeliling dalam diam.
Tiba-tiba, sosok yang mencuri perhatiannya muncul. Intan melihat seseorang mengendap-endap menuju samping mansion. Rasa ingin tahunya muncul, dan tanpa berpikir panjang, ia mengikuti orang itu.
"Kenapa kau nekat sekali?" tanya Reval, kepala pelayan keluarga Hagara, dengan nada kesal, sambil mengamati sekeliling dengan waspada.
"Ku mohon bantu aku sekali lagi," pinta pria yang diikuti Intan, dengan nada memelas. Intan menyadari bahwa ia mengenali suara itu. Pria itu adalah ayahnya, Aster. Ketegangan menyelimuti hatinya saat banyak pertanyaan muncul dalam benaknya mengenai hubungan Aster dan Reval, serta siapa yang sedang mereka bicarakan.
"Harus berapa kali aku katakan untuk tidak datang kemari menemuiku?" bentak Reval, berusaha menjaga suaranya agar tidak menarik perhatian.
"Ini satu-satunya cara yang bisa aku lakukan. Kau selalu mengabaikan panggilan dan pesan-pesanku," kata pria itu, berusaha mempertahankan posisinya.
"Aku harus membalas pria itu. Dia yang sudah menyebabkan kematian istriku. Dia juga yang sudah membuatku salah paham pada putriku. Mungkin kematian putriku juga ada kaitannya dengannya," lanjut pria itu dengan nada putus asa, tangannya gemetar menahan amarahnya yang menggebu-gebu.
Setelah mendengarkan cukup lama, Intan menyadari betapa berat beban yang ditanggung ayahnya. Reval menatap pria itu dengan sinis.
"Itu bukan urusanku. Bukankah dulu sudah kuperingatkan untuk menyelidiki secara seksama? Tapi kau malah lebih percaya pada bukti yang kau dapatkan dengan mudah. Entah semua itu sudah mereka rekayasa," kata Reval, memijat keningnya yang terasa berdenyut mengingat kejadian beberapa tahun lalu.
"Aku mohon bantu aku untuk terakhir kalinya. Tolong pertimbangkanlah hubungan persaudaraan kita," ucap Pria itu tetap bersikukuh, berusaha merayu Reval yang tampak lelah.
"Keluarga ini juga sedang menghadapi masalah. Jadi untuk saat ini, aku belum bisa bertindak lebih jauh," ucap Reval, melirik ke sekeliling. Rasa was-was menyelimuti dirinya, berharap tidak ada yang datang ke taman belakang malam ini.
"Pulanglah dulu, jika sudah bisa leluasa bergerak. Maka aku yang akan datang menemuimu," pinta Reval, berharap Pria itu segera meninggalkan mansion tanpa terdeteksi oleh siapapun.
"Aku harus kembali ke dalam, sepertinya makan malam akan segera selesai. Aku tidak ingin mereka curiga denganku," lanjut Reval sebelum akhirnya pergi, meninggalkan pria yang masih berdiri di sudut taman.
Setelah Reval pergi, pria itu segera beranjak, menuju jalan rahasia di taman. Intan menatapnya, merasakan campur aduk antara rasa ingin tahu dan bingung.
"Wah, wah, wahhh, sungguh banyak hal yang bisa menjadi kejutan di mansion ini," pikirnya, menggelengkan kepala tidak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan.
"Siapa yang ayah maksud?" monolog Intan saat berjalan kembali ke dalam mansion, pikirannya penuh dengan keraguan. Ingatannya berputar kembali pada hari di mana dia kehilangan nyawanya di tangan sekelompok polisi.
Intan terdiam, membayangkan wajah ayahnya yang penuh harap. Ia merasa terjebak di antara dua dunia, dunia lamanya yang berantakan dan dunia baru yang berisiko. Sekarang, keputusan harus diambil. Apakah dia akan terus menghindar dari kebenaran, atau berhadapan langsung dengan masa lalu yang telah lama tertutup?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Dian Soedarminto
seruuuu🤩
2024-03-30
0