Pagi yang masih lengang di rumah itu diisi dengan bisikan pelan Intan yang berusaha membangkitkan semangat ibunya, Windana. Hari-hari Windana belakangan ini penuh dengan luka dan keraguan, tak mudah baginya untuk melewati semua tanpa kehilangan rasa percaya diri.
“Bunda, kami berangkat ke sekolah, ya?” Intan menghampiri ibunya yang masih termenung di tepi tempat tidurnya. Sejak perceraian dengan Darwin, wajah Windana sering kali kosong, seolah jiwanya terkunci dalam rasa sakit yang mendalam.
Melihat bundanya tampak lemah, Intan berjongkok di hadapannya, menggenggam lembut tangan yang terasa dingin. “Apa Bunda merasa kurang sehat hari ini?” tanyanya, berusaha menyelami tatapan sayu Windana. Kulit ibunya yang dulu segar, kini tampak pucat, mencerminkan luka hati yang tak tertangani.
Windana menghela napas berat, mengusap pipi Intan yang selalu tampak berusaha tegar. “Maafkan Bunda, Sayang,” suaranya bergetar, menahan beban yang selama ini ia pendam. Ada sesak yang begitu mendalam, terpancar dari matanya saat menatap anaknya yang begitu berani menghadapi badai ini.
“Bunda, jangan pernah minta maaf. Bunda hanya perlu bertahan untuk kami,” Intan menggenggam lebih erat tangan ibunya, mencoba menyalurkan sedikit kekuatan. “Kak Anno pasti akan membawa kabar baik untuk kita hari ini.”
Windana menutup matanya sejenak, menarik napas dalam. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, namun entah bagaimana ia bisa menahan semua itu selama ini. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk mengeluarkan sedikit demi sedikit kepedihan yang ia simpan.
“Sebenarnya, saat kita pergi ke toko alat musik dulu, saat kita membeli gitar, Bunda melihat sesuatu yang tak ingin Bunda lihat.” Windana terdiam sejenak, melawan gejolak yang terasa menghancurkan hatinya. “Bunda melihat... apa yang dilakukan ayahmu, bersama perempuan itu. Tapi Bunda tetap berpura-pura tak melihat kenyataan itu.”
Intan terdiam, matanya memperhatikan wajah ibunya yang dipenuhi rasa sakit. Sementara Windana melanjutkan, “Dan sebelum malam ulang tahun pernikahan kita, perempuan itu menelepon Bunda. Dia bilang, ayahmu akan memperkenalkannya sebagai calon istrinya. Bunda terpaksa berpura-pura tak mendengar, meski rasanya seperti dihancurkan berulang kali.”
“Setelah malam itu, perempuan itu menghubungi Bunda lagi. Dia meminta Bunda untuk melepaskan ayahmu sepenuhnya. Katanya, ayahmu hanya ingin keluarga kecil bersama perempuan itu, juga anak yang sekarang ada di dalam kandungannya.” Windana menjelaskan semuanya, suaranya nyaris berbisik, seolah takut ingatan itu bisa melukai anaknya yang mendengarnya.
Intan mengusap air mata yang mulai menetes dari mata bundanya, berusaha tetap tenang meski hatinya turut terasa perih. “Bunda, kita nggak akan pergi ninggalin Bunda, apapun yang terjadi. Dan Bunda nggak akan kehilangan apapun yang seharusnya jadi hak kita,” katanya tegas. “Bunda ingat perjanjian pranikah yang Kakek buat dulu, kan?”
Windana sedikit terkejut, mengingat sekilas percakapan di masa lalu yang nyaris ia lupakan. “Perjanjian itu…” desisnya, seakan menyadari sesuatu yang penting.
Dulu, ayah Windana, seorang pengusaha terpandang, tak setuju dengan pernikahannya dengan Darwin. Namun, Windana tetap bersikeras, hingga ayahnya terpaksa merestui dengan satu syarat: perjanjian pranikah. Jika Darwin terbukti berselingkuh atau menggugat cerai, maka Darwin akan kehilangan semua hak atas kekayaan keluarga Hagara—hak atas perusahaan, aset, hingga properti. Semua itu hanya akan menjadi milik Windana dan anak-anaknya.
“Tapi, Bunda nggak tahu di mana Kakek menyimpan surat perjanjian itu, Sayang. Tanpa bukti, semua hanya kata-kata tanpa dasar,” ungkap Windana, tampak putus asa. “Mungkin Darwin bahkan sudah menghilangkan surat itu, Makanya dia berani bertindak seperti ini.”
Intan tersenyum tipis, penuh keyakinan. “Bunda, surat itu sudah ada pada Kak Anno. Kak Anno yang akan membawa semuanya untuk kita.” Tatapan Windana penuh keterkejutan mendengar penjelasan putrinya.
“Surat itu diserahkan Kakek padaku, Bunda. Waktu itu aku masih kecil, tapi Kakek memilihku karena aku punya brankas kecil yang kubawa sejak dulu, sesuatu yang bahkan Bunda nggak tahu,” jelas Intan, mengingat bagaimana Kakek mempercayakan surat itu padanya. “Jadi tenang saja, Bunda. Kita masih punya harapan. Yang perlu Bunda lakukan sekarang hanya satu: tetap bersama kami.”
Windana terpaku, memandangi anak perempuannya dengan rasa tak percaya. Ia merasa, dalam keputusasaan dan keraguannya selama ini, ada satu sosok yang tak pernah berhenti memperjuangkan segalanya untuk keluarga ini—Intan, gadis kecilnya yang kini tumbuh menjadi pribadi yang jauh lebih kuat daripada yang ia bayangkan.
Senyum tipis mulai menghiasi wajah Windana, senyum yang telah lama hilang. Intan merasakan sedikit kelegaan, melihat Bundanya tersenyum meski untuk sesaat. Namun, ia tahu bahwa pertempuran mereka belum berakhir, dan masih ada hal-hal besar yang harus dihadapi.
****************
Saat Intan keluar dari kamar Windana, di ruang tamu, Devano sudah menunggu dengan setelan rapi. Tatapan matanya menyiratkan ketegangan, namun juga tekad yang tak tergoyahkan. Bersama dengan Abraham, mereka bertiga akan berjuang memastikan bahwa hak keluarga ini tetap ada di tangan mereka.
“Intan, udah siap?” tanya Devano dengan suara tegas, namun lembut.
Intan mengangguk, menatap kedua kakaknya dengan penuh kepercayaan diri. “Ayo, Kak. Kita selesaikan semua ini. Bunda butuh kita.”
Ketiganya melangkah keluar rumah, bersiap menghadapi hari yang panjang dan penuh tantangan. Namun mereka tahu, selama mereka bersama, tak ada yang bisa memisahkan mereka atau menghancurkan semangat mereka. Mereka adalah keluarga Hagara dan hari ini, mereka akan memastikan keluarga ini tetap utuh, tanpa ada ruang untuk penyesalan.
...****************...
"Apakah Anda sudah siap, Tuan?" tanya Herbi, sang pengacara keluarga, yang berdiri dan memberi anggukan penuh hormat pada Devano.
"Tentu," jawab Devano dengan senyum tajam. "Aku sudah lebih dari siap untuk ini."
Sementara itu, Darwin baru saja tiba di koridor menuju ruang rapat, terburu-buru, dan tanpa menyadari kehadiran Devano yang telah menunggunya. Dengan langkah cepat dan penuh percaya diri, Darwin memasuki ruangan, tidak menyangka bahwa hari ini akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
"Silakan, Tuan," ucap Herbi, membuka pintu rapat dengan hormat dan mempersilakan Devano masuk lebih dulu.
Ketika Devano melangkah masuk, semua kepala menoleh. Para pemegang saham, dewan direksi, dan para staf senior telah berkumpul. Devano menatap mereka satu per satu, menyerap atmosfer serius yang memenuhi ruangan.
"Ah, sepertinya saya sedikit terlambat," kata Devano dengan nada santai. "Tapi tampaknya semua sudah hadir, ya?"
"Anno! Apa yang kau lakukan di sini?" suara Darwin terdengar dingin dan penuh amarah. Tatapannya menusuk ke arah putranya, terkejut melihat kehadiran Devano di rapat penting ini.
Devano tersenyum penuh percaya diri. "Apa lagi, Ayah? Aku datang untuk mengambil alih perusahaan kakekku. Perusahaan yang seharusnya menjadi hak kami, bukan milikmu."
"Kamu jangan bermain-main, Anno!" bentak Darwin, menggebrak meja dengan keras, meluapkan amarahnya yang selama ini terpendam. Baginya, tindakan Devano adalah pengkhianatan, sebuah ancaman terhadap kekuasaannya.
Herbi, yang berdiri di sisi Devano, mengambil alih kendali dengan tenang. "Pertama-tama, izinkan saya memperkenalkan diri. Saya adalah Herbi, pengacara yang ditunjuk oleh keluarga Hagara untuk mewakili Tuan Devano dalam proses pengambilalihan posisi kepemimpinan dari Tuan Darwin," jelas Herbi, suaranya lantang dan tegas.
"Atas dasar apa kalian hendak melengserkanku dari jabatan ini? Kalian tak memiliki hak apa pun!" seru Darwin dengan nada penuh kemarahan, suaranya bergetar.
Herbi tidak bergeming. Dengan tenang, ia melangkah menuju meja pemandu acara, membawa setumpuk dokumen. "Kami memiliki bukti konkret yang cukup untuk melengserkan Anda, Tuan Darwin," ucapnya, sambil menunjukkan selembar kertas yang kemudian ditampilkan di layar proyektor.
Di layar terpampang sebuah dokumen penting—perjanjian pranikah yang ditandatangani Darwin sebelum menikahi Windana, puluhan tahun yang lalu. Herbi melanjutkan, "Di sini tertulis dengan jelas bahwa dalam hal Tuan Darwin terbukti melakukan perselingkuhan atau melayangkan gugatan cerai, maka semua haknya atas perusahaan dan properti keluarga Hagara akan dicabut. Perjanjian ini adalah bagian dari syarat restu Kakek Hagara saat pernikahan Anda dengan Nyonya Windana."
Darwin membelalak, namun ia tidak kehabisan akal. Ia tersenyum sinis ke arah Devano. "Aku tidak melanggar perjanjian itu. Aku tidak berselingkuh selama pernikahan, dan kami sudah resmi bercerai."
Herbi menyambut pernyataan Darwin dengan tenang, seolah sudah menduga sangkalan tersebut. "Baiklah, jadi Anda membantah adanya perselingkuhan," katanya, sambil mengeluarkan satu dokumen lagi. "Maka, bagaimana Anda menjelaskan ini?" Dengan senyuman kemenangan, Herbi menampilkan surat keterangan dari dokter kandungan yang menyatakan bahwa Nyonya Liliana—istri baru Darwin—sedang hamil dua bulan tiga minggu.
Ruangan mendadak hening. Wajah Darwin memucat, dan dia mencengkeram tepi meja dengan gemetar. Herbi melanjutkan dengan tenang, "Jadi, dalam konteks perjanjian ini, pernikahan Anda dengan Liliana sekaligus menegaskan adanya perselingkuhan yang terjadi sebelum perceraian Anda dengan Nyonya Windana diselesaikan."
"Kau...!" Darwin menunjuk Herbi dengan geram, namun Herbi hanya tersenyum tenang, mengendalikan situasi.
Belum selesai sampai di sana, Herbi menambahkan, "Anda juga menyebutkan bahwa perceraian Anda sudah resmi, tetapi berdasarkan keterangan dari pengadilan agama, perceraian Anda saat ini masih dalam proses. Itu pun atas gugatan yang Anda layangkan sendiri kepada Nyonya Windana. Selain itu, Hanya sehari setelah menggugat cerai, Anda telah merayakan pernikahan Anda dengan Nyonya Liliana."
Seseorang di ruangan mendengus pelan, seolah menggumamkan ejekan, sementara beberapa orang mengangguk mengiyakan, paham betul tentang situasi yang kini menghimpit Darwin.
"Aku memperoleh posisi ini berdasarkan keputusan para pemegang saham dan dewan direksi," ujar Darwin, mencoba mempertahankan kekuasaannya. Dia masih yakin akan koneksi dan kekuatannya di dewan direksi, yang selama ini menguatkan kedudukannya di perusahaan.
Herbi tidak mundur, ia memberi isyarat pada staf di belakangnya untuk mempersiapkan voting dadakan. "Baiklah, kalau begitu kita serahkan keputusan ini kepada dewan. Siapa yang setuju jika Tuan Devano mengambil alih posisi Tuan Darwin? Silakan angkat tangan Anda."
Darwin membelalak, tak menyangka akan ada pemungutan suara. Satu per satu tangan mulai terangkat, sebagian besar mendukung Devano. Hanya sedikit yang enggan mengangkat tangan mereka, dan sebagian besar hanya melihat ke bawah, tak berani menatap Darwin.
Devano menatap sekeliling, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Ternyata hasilnya cukup memuaskan."
Herbi, yang tampak lebih percaya diri, melanjutkan, "Sepertinya, Tuan Darwin, Anda harus segera membereskan barang-barang Anda."
Merasa kalah telak, Darwin mengepalkan tangannya, napasnya memburu dengan kemarahan yang membuncah. Tanpa sepatah kata, ia bangkit, meninggalkan ruangan dengan ekspresi penuh amarah dan kekalahan yang begitu menyakitkan.
...****************...
Di koridor gedung perusahaan, Darwin berjalan cepat, mencoba menahan rasa malu dan amarahnya. Baru kemarin ia merayakan pernikahannya dengan Liliana, namun sekarang, ia telah kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, bahkan haknya sebagai bagian dari keluarga Hagara. Kini ia hanyalah seorang pria yang dihantam oleh ambisinya sendiri, terlempar keluar dari dunia yang ia anggap miliknya.
Sementara itu, di dalam ruangan, Devano menarik napas panjang, merasa lega namun tetap tegang. Herbi menepuk bahunya dengan bangga. "Kau telah melakukannya, Tuan Devano. Perusahaan ini kini kembali kepada keluarga Hagara."
Devano menatap Herbi, memberi anggukan penuh syukur. "Terima kasih, Herbi. Tanpamu dan perjuangan Intan, ini tidak akan mungkin terjadi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
meMyra
puas sekali aku baca di bab ini noh hiduplah bahagia dengan istri barumu itu 😈
2024-05-07
0
Biduri Aura
😏😏😏Darwin.. Darwin,, kapok mu,, Andrea berharap mnjadi holang kaaaahaaaayaaaa,, ternyata gagal 😂😂😂😂
2024-04-15
0
Daniela Whu
mampus lu
2024-02-28
0