"Kurasa aku sudah semakin terlibat semakin dalam," batin Intan sambil memacu motor sport berwarna merah maroon, membelah jalanan ibu kota yang mulai sepi. Di balik helmnya, pikirannya sibuk merancang langkah selanjutnya untuk menghentikan rencana pernikahan Darwin. Tinggal sebulan lagi hari itu tiba, dan Intan harus menemukan cara agar semuanya berakhir sesuai harapannya.
Namun, dalam pikirannya yang teralihkan, Intan tak menyadari bahwa ada pengendara lain di depannya. Sebelum sempat mengerem, motornya menabrak pemotor tersebut. Mereka berdua terjatuh dengan keras, dan Intan terseret beberapa meter, namun ia segera bangkit, merasakan sedikit nyeri di tubuhnya. Ia langsung melangkah ke arah pria yang ia tabrak, berusaha memeriksa kondisinya.
"Hei, apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil berjongkok di sisi pria itu. Ketika ia membuka helm si pria, Intan terkejut mendapati wajah yang dipenuhi luka memar serta luka tembakan di beberapa bagian tubuhnya. Darah segar mengalir dari keningnya, membuat Intan semakin khawatir.
"Astaga, apa yang terjadi padamu?" bisik Intan cemas.
Pria itu tampak mencoba berbicara, tapi suaranya lemah. “Aku... bisa bertahan...”
"Jangan bicara dulu. Aku akan membawamu ke tempat yang aman," ucap Intan cepat. Ia memapah pria itu dan membawanya ke motornya. Setelah menaikkannya dengan susah payah, Intan melepas jaketnya, lalu mengikat pinggang mereka berdua agar pria itu tidak terjatuh. Mengambil napas dalam, ia menghidupkan mesin dan segera melaju.
Namun, sesaat sebelum ia berbelok menuju rumah sakit, Intan berpikir ulang. "Maaf, kita tidak bisa ke rumah sakit," gumamnya pada pria itu. mengingat luka tembak pada tubuhnya, Intan sadar bahwa melibatkan rumah sakit hanya akan memperumit keadaan. Bisa saja polisi akan mencium masalah ini, dan itu akan merusak rencananya.
Ia membelokkan motor ke jalan kecil yang gelap, menuju tempat terpencil yang hanya dikenal oleh segelintir orang. rumah seorang wanita bernama Irma, seseorang yang tidak asing dengan penyembuhan dalam keheningan.
Sesampainya di sana, Intan mengetuk pintu kayu yang sudah terlihat tua, dan seorang wanita paruh baya membukanya. Irma menatap Intan dengan sedikit bingung, lalu mengalihkan pandangannya ke pria yang terkulai di bahu Intan.
"Tolong selamatkan dia," ucap Intan, berusaha menopang tubuh pria yang lebih besar darinya. Irma menatap Intan dengan raut serius, namun akhirnya mengangguk pelan.
"Seperti biasa, kau akan membayar setelahnya, bukan?" ucap Irma, tersenyum tipis sambil membantu Intan memapah pria itu ke dalam rumah. Mereka membawa pria tersebut ke salah satu kamar yang sudah dilengkapi peralatan medis seadanya.
Setelah menempatkan pria itu di ranjang, Intan membantu Irma melepaskan jaket dan baju pria tersebut. Di balik pakaiannya, terlihat luka tembak yang cukup parah. Irma langsung bertindak cepat, memberikan anestesi lokal, lalu mengambil peralatan medis untuk mengeluarkan peluru dari perut dan dada pria itu. Selama beberapa jam, Intan duduk tegang di kursi kayu di luar kamar, menanti dengan penuh harap.
Akhirnya, Irma keluar dengan wajah sedikit lelah, namun ada sedikit senyum di wajahnya. "Dia akan bertahan," ucapnya dengan nada tenang, menyeka tangannya dengan lap kain.
Intan menarik napas lega, namun rasa penasaran menyelimuti pikirannya. Sebelum sempat bertanya lebih jauh, Irma menyelidik lebih dulu.
"Apa kalian buronan polisi?" tanya Irma dengan tatapan menyelidik. Nada suaranya mengandung kecurigaan yang tidak bisa ditutupi.
Intan menatapnya tajam. "Tidak. Kita bukan penjahat," jawabnya singkat, kesal karena situasi ini terasa semakin rumit.
Irma menyipitkan mata, seakan mencoba menilai kejujuran Intan. "Baiklah, apa kau sudah menyiapkan pembayarannya?"
Intan mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan bukti transfer dengan jumlah yang tak main-main. Irma mengangkat alis, terkesan dengan nominal yang terlihat di layar.
"Oh, ternyata kau cukup murah hati," ujar Irma sambil tersenyum sinis, mengangguk puas. Intan tahu bahwa jumlah yang ia bayarkan malam ini mungkin akan membuatnya harus berhemat dalam beberapa minggu ke depan, setidaknya sampai ia berhasil menuntaskan rencananya dengan Darwin.
"Kau pernah ke sini sebelumnya?" tanya Irma sambil menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir yang dibawanya.
"Belum, tapi seseorang pernah memberitahuku tentangmu, tentang... bisnismu," jawab Intan hati-hati. Ia meneguk teh hangat yang disodorkan Irma, berusaha menghangatkan tubuhnya yang lelah. Meski sebenarnya, ia menyimpan kenangan samar tentang tempat ini dari Aster, yang kerap singgah di sini untuk dirawat setiap kali terluka.
Irma tersenyum sinis, namun sorot matanya tajam. "Orang itu masih hidup?"
Intan menggeleng. "Dia sudah tiada, dan mungkin hanya aku satu-satunya yang tahu tentangmu. Dia tak punya teman, juga keluarga."
Irma mendengus puas, kemudian menatap memar di lengan dan lutut Intan. "Kau butuh perawatan juga?"
Intan menggeleng. "Tidak perlu, dan aku tak punya banyak uang lagi untuk membayar jasa tambahanmu."
"Baiklah, aku paham," ucap Irma santai, menyeruput tehnya sambil menatap Intan dengan senyum penuh misteri. "Kalau begitu, aku akan istirahat. Kau bisa tunggu di sini sampai dia sadar. Jangan mengganggu, dan jangan tinggalkan jejak apa pun."
Intan mengangguk, menatap cangkir teh di depannya, sambil memikirkan langkah-langkah berikutnya. Tepat di depan matanya, terbentang jalan yang penuh dengan teka-teki, dan tak terasa kehadiran pria misterius itu telah menambah simpul dalam rencana yang sudah rumit. Bagaimana pun, malam ini dia menyadari satu hal—dirinya memang terlibat semakin dalam.
...****************...
Ponsel Intan berdering, getarannya membangunkannya dari tidur singkatnya di atas kursi kayu panjang yang tidak empuk sama sekali.
"Hmm... kenapa?" gumam Intan saat menjawab panggilan, sesekali meregangkan tubuhnya yang kaku. Ia merasa sedikit pusing, dan kelopak matanya masih terasa berat.
"Ya, aku menginap di rumah temanku. Mungkin sore nanti baru bisa pulang," jawabnya, mengusap wajah dengan satu tangan untuk mengusir sisa kantuk. "Iya, aku tahu," lanjutnya sebelum menutup panggilan. Ia mendesah, menatap jendela kamar yang masih gelap dengan tirai tertutup rapat.
"Sepertinya besok akan melelahkan," ia bergumam sambil tersenyum miris. Memikirkan bahwa ia bakal kena hukuman lagi di sekolah karena bolos, Intan hanya bisa menggeleng lelah. Ia membuka ponselnya, melihat beberapa notifikasi pesan, tapi memilih untuk tidak membalas.
Lantas, ia memalingkan pandangannya ke arah tempat tidur, tempat pria yang diselamatkannya semalam masih terbaring tak sadarkan diri. "Hei, tuan... cepatlah sadar. Aku harus segera pulang dan mempersiapkan diriku untuk hukuman besok, kau tahu?" ujar Intan sambil mendekat, mengamati pria itu dari atas kepala hingga ke ujung kaki.
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya kembali berdering.
"Apa lagi?" gumamnya kesal, berjalan menuju kursi kayu untuk menjawab panggilan.
“Motormu aman, nanti akan ku kembalikan,” jawab Intan dengan nada malas saat mendengar suara Abraham di seberang telepon. Ia menutup telepon tanpa menunggu balasan dan bergumam, "Dasar pria bodoh."
Intan berbalik dan bersiap untuk kembali ke kursinya, namun ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Perasaannya mengarahkannya untuk kembali menatap pria di ranjang. Sekilas ia merasa pria itu mungkin saja sebenarnya sudah sadar, meski masih menutup mata.
Benar saja, pria itu ternyata telah membuka sedikit matanya sejak tadi, memerhatikan gerak-gerik Intan dengan waspada. Ia diam-diam terbangun beberapa jam yang lalu, namun memilih berpura-pura tidur untuk mengawasi wanita asing yang pertama kali dilihatnya setelah ia hampir kehilangan nyawa. Wajahnya tampak waspada, memperhatikan setiap detail tindakan Intan. Dalam pikirannya, dia tak bisa begitu saja percaya pada seseorang yang tidak ia kenal. Bukan tidak mungkin, wanita ini adalah bagian dari musuh yang telah lama mengincarnya.
Sadar dirinya sedang diamati, Intan berpura-pura tak tahu. Dengan santai, ia menuangkan air hangat dari teko yang disediakan Irma tadi malam, lalu menyesapnya sambil duduk kembali di kursi kayu. Ia ingin melihat seberapa lama pria itu akan berpura-pura. Namun tak berselang lama, ia menghela napas seolah pasrah.
"Sudahlah, aku tahu kau sudah sadar. Berhenti berpura-pura," kata Intan tanpa menoleh, namun matanya melirik ke arah pria itu dengan pandangan penuh keyakinan.
Pria itu terkejut sesaat, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak berpura-pura lagi. Dengan perlahan ia membuka mata sepenuhnya dan menatap Intan dengan mata tajam yang penuh selidik.
“Siapa kau?” tanyanya dengan suara berat, penuh kehati-hatian.
“Aku? Hanya seseorang yang kebetulan menemukanmu tergeletak di tengah jalan. Sederhana, bukan?” jawab Intan sambil tersenyum tipis, tangannya memutar cangkir di jemarinya dengan tenang. "Kupikir kau butuh bantuan, jadi kubawa kau ke sini."
Pria itu menatap Intan, mencoba mencari tahu apakah gadis itu berkata jujur atau hanya berbohong untuk menyembunyikan maksud lain. “Dan kenapa aku harus percaya padamu?” tanyanya.
Intan tertawa kecil. "Percaya atau tidak, itu urusanmu. Toh aku sudah cukup melakukan bagianku dengan menyelamatkan nyawamu." Ia mengangkat bahu seolah tidak peduli. "Lagipula, aku punya urusanku sendiri, dan kau hanya memperlambatku di sini.”
Pria itu mengangkat alis. Ada sesuatu dalam cara bicara Intan yang membuatnya penasaran, mungkin keberaniannya atau sikap dingin yang mencurigakan. Dalam dunia yang penuh tipu muslihat dan bahaya yang ia tinggali, jarang sekali ia bertemu seseorang yang berbicara blak-blakan seperti ini.
"Jadi kau bukan bagian dari mereka?" tanya pria itu, suaranya menajam, penuh ancaman terselubung.
"Mereka siapa?" Intan balas bertanya, kali ini menatap pria itu lebih tajam. "Kalau maksudmu adalah orang-orang yang mungkin ingin memburumu atau bahkan menghabisimu, maaf, aku tak punya waktu untuk urusan seperti itu."
Pria itu terdiam sejenak. Mungkin Intan benar, mungkin juga ini hanya akal-akalan. Namun setelah memandang gadis itu lebih lama, ia menyadari bahwa ada ketulusan dalam sikap sinis Intan yang sulit dipalsukan.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya pria itu akhirnya.
Intan mendengus. "Percaya atau tidak, aku tidak menginginkan apa pun darimu. Cuma berharap kau cepat sadar dan bisa segera beranjak dari sini, karena jujur saja, aku sudah cukup repot dengan hidupku sendiri."
Pria itu akhirnya mengangguk pelan, mengakui bahwa ia tak punya alasan kuat untuk mencurigai Intan lebih jauh. Perlahan, ia mencoba duduk, meski wajahnya meringis menahan sakit akibat luka-lukanya yang masih terasa.
"Kau butuh lebih banyak waktu untuk sembuh," ujar Intan sambil berdiri, meletakkan cangkir tehnya. "Aku sudah mengurus semuanya sampai sini, selebihnya terserah padamu."
Sebelum pria itu bisa berkata apa-apa lagi, Intan menambahkan, "Dan jangan khawatir, aku tak akan mengungkit ini pada siapa pun. Toh, aku sendiri juga tidak butuh masalah tambahan."
Pria itu menatapnya sekali lagi, kali ini dengan pandangan penuh pertimbangan. "Kalau begitu... terima kasih," ucapnya perlahan.
Intan hanya mengangguk kecil, lalu beranjak ke pintu, merasa lega bahwa setidaknya semua sudah cukup jelas. Namun sebelum ia melangkah keluar, ia menoleh sesaat. "Satu hal lagi," katanya sambil menatap tajam pria itu, "apapun yang membawamu ke kondisi ini, pastikan kau menyelesaikannya dengan benar. Karena jika kau menyeretku lagi dalam masalah ini, mungkin kali ini aku tak akan cukup berbaik hati."
Dengan itu, Intan melangkah keluar, meninggalkan pria itu yang menatap punggungnya dengan pandangan penuh rasa penasaran dan kekaguman. Dalam dirinya, ia tahu pertemuan ini mungkin lebih dari sekadar kebetulan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Dian Soedarminto
wow....mudah2an orang baik...bia bantu Intan untuk mslhnya😁
2024-03-30
0