“Ngapain loe duduk di sini?” tanya Intan kesal saat melihat Reza duduk di kursi kantin, tepat di sebelahnya membuatnya merasa terganggu.
“Gue cuma mau ngucapin makasih,” jawab Reza sambil melirik Intan sekilas sebelum beralih menatap bakso yang sedang diaduk-aduk Intan.
“Makasih buat apaan?” Intan bertanya dengan nada datar, melanjutkan suapannya yang sempat tertunda. Kehadiran Reza, yang dianggapnya orang asing, terasa seperti gangguan di tengah waktu tenangnya.
“Berkat lo, semua seragam gue jadi baru,” jelas Reza, tampak senang mengingat seragam-seragam sekolah barunya yang dibelikan Deki karena kekalahannya.
“Hmm, bukan karena gue juga. Deki yang beliin itu, kan?” balas Intan singkat, menuntaskan suapan terakhirnya. Dia segera beranjak berdiri, bersiap meninggalkan kantin yang semakin ramai.
“Sekali lagi, makasih ya,” ucap Reza lagi, senyum tipis menghiasi wajahnya. Intan hanya mengangguk kecil dan melambaikan tangannya di udara, tanpa menoleh.
Di sudut kantin, seorang pria memperhatikan mereka dengan pandangan tajam. Senyum tipis tersungging di wajahnya, namun tatapan dinginnya tak berubah. “Menarik,” gumamnya, masih mengamati Intan yang kini berjalan meninggalkan kantin dengan ekspresi dingin dan pandangan lurus ke depan.
Perubahan pada Intan yang biasanya tertutup dan pendiam benar-benar menarik perhatian pria itu. Langkah Intan yang tenang namun penuh percaya diri menambah kesan misterius yang entah kenapa membuatnya semakin tertarik. Tanpa mengalihkan pandangan, ia memperhatikan setiap gerakan Intan sampai sosoknya menghilang dari pandangan, sambil bertanya-tanya dalam hati apa yang membuat gadis itu begitu berbeda.
...****************...
“Bunga-bunganya cukup indah!” seru Intan saat berjalan dengan santai di taman belakang. Taman yang sangat terawat dan segalanya tersusun dengan rapi.
“Tapi sayangnya, mereka hanya akan bertahan beberapa minggu saja” lanjutnya sambil memetik setangkai mawar berduri hitam.
“Nona, apakah Anda membutuhkan bantuan?” tanya Pak Reval, mendekat dengan langkah tergesa-gesa. Mengamati Intan yang termenung sambil mengusap-usap kelopak bunga tanpa takut tertusuk duri.
“Tidak perlu, Pak Reval. Aku hanya menikmati suasana sore hari di taman ini,” jawab Intan dengan senyum tipis yang tersungging di sudut bibirnya.
“Apakah Anda ingin camilan atau minuman? Cuacanya cukup panas, meskipun matahari mulai terbenam tapi hawanya masih saja panas” tawar Pak Reval lagi.
“Tidak untuk sekarang, terima kasih. Lagi pula, sebentar lagi aku akan segera kembali ke dalam” ucap Intan, sambil melirik jam tangan di pergelangan kirinya.
“Baiklah, Nona. Kalau begitu, saya permisi dulu” ujar Pak Reval sambil membungkuk hormat, lalu kembali melangkah masuk ke rumah besar untuk kembali memeriksa persiapan makan malam bersama para pelayan.
“Apa yang Bunda lakukan?” tanya Intan sambil menghampiri Windana, penasaran dengan raut wajah ibunya yang tampak cemas membaca sesuatu dari benda pipih di tangannya.
“Oh, hai, Sayang. Dari taman, ya?” jawab Windana, tersenyum hangat namun tanpa menjawab pertanyaan Intan sebelumnya.
“Bunda, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Intan bertanya lagi, kini menatap wajah ibunya dengan sorot penuh perhatian. Kecemasan itu jelas terlihat, meskipun Windana mencoba menyembunyikannya.
“Ah, tidak apa-apa, Sayang,” ucap Windana, memaksakan senyum untuk menenangkan putri satu-satunya itu.
Intan terdiam sejenak, lalu menemukan ide untuk mengalihkan pikiran ibunya. “Bunda mau menemaniku belanja? Rasanya aku perlu beberapa barang.”
Windana tampak terkejut sesaat, namun kemudian senyumnya perlahan kembali. “Tentu saja, Sayang! Ayo, kita berangkat sekarang,” jawabnya antusias. Sejenak, senyum Windana tampak lebih tulus, dan sorot matanya sedikit lebih lega.
Mereka pun beranjak pergi, berjalan beriringan keluar dari rumah dengan suasana hati yang lebih ringan. Bagi Intan, belanja kali ini bukan hanya untuk mengisi waktu, tapi untuk membuat ibunya merasa lebih tenang, setidaknya untuk sementara.
...****************...
“Bolehkah aku memilikinya?” tanya Intan, matanya terpaku pada gitar akustik yang terpajang di etalase toko musik.
“Tentu, Sayang. Tapi... kau mau belajar musik? Bukankah sebelumnya kau tak tertarik?” tanya Windana, sedikit heran sambil melangkah memasuki toko yang agak ramai pengunjung.
Intan baru saja hendak menjawab ketika pandangannya tiba-tiba terpaku pada sosok pria yang dikenalnya. "Ayah…" gumamnya lirih, melihat pria itu berjalan sambil begandengan dengan seorang wanita muda, menuju arah toko musik. Degupan jantung Intan berdebar keras, dan secepat kilat ia melangkah masuk, berharap Windana tak berbalik dan melihat pemandangan itu.
“Ya, Bunda,” jawab Intan cepat, mencoba mengalihkan perasaan amarah yang berkecamuk di dadanya. Ia mengambil gitar yang mirip dengan yang dipajang pada etalase dan memetiknya beberapa kali, mencoba melontarkan senyum ke arah Windana.
“Bisa mainkan satu lagu untuk Bunda?” pinta Windana, tampak kagum saat melihat putrinya mulai memetik gitar.
Intan mengangguk, lalu mulai memainkan sebuah lagu yang populer pada tahun 90-an. Petikannya lembut, namun penuh emosi, seakan ada luka tersembunyi yang ia alirkan dalam nada-nada itu. Hingga petikan terakhir, Intan kembali melirik ke pintu kaca toko, menangkap pemandangan ayahnya berjalan pergi bersama wanita itu, lengannya digelayuti dengan mesra.
“Bajingan…” umpatnya dalam hati, merasakan perih di dadanya.
“Wah, hebat sekali! Bunda nggak tahu kalau kamu bisa memainkan gitar,” kata Windana dengan bangga, tidak menyadari kegundahan putrinya.
“Bunda suka?” tanya Intan, berusaha menyembunyikan kekecewaannya, lalu berjalan ke arah kasir untuk membayar gitar.
“Tentu saja, Sayang! Ada lagi yang ingin kamu mainkan? Biar Bunda yang belikan,” ujar Windana, penuh antusias.
“Untuk sekarang, ini sudah cukup, Bunda,” jawab Intan, memperhatikan ibunya yang menyerahkan kartu kredit pada kasir. Sorot matanya menunjukkan kebahagiaan yang semu, menyembunyikan kegundahan yang tak bisa ia ucapkan.
“Kita pulang sekarang saja, ya, sepertinya sebentar lagi akan hujan,” ucap Intan setelah memeriksa perkiraan cuaca di ponselnya.
Dalam perjalanan pulang, suasana di mobil terasa sunyi. Windana duduk dengan pandangan terpaku pada layar ponselnya, raut wajahnya tampak cemas. Intan mencuri pandang, menduga bahwa apa yang dilihat ibunya berkaitan dengan kejadian di mal tadi.
“Kenapa Bunda masih terus bertahan…” batin Intan, menatap sedih pada windana yang duduk termenung di sampingnya. “kau begitu sempurna untuk pria seperti dia… Jangan terus bersama dengan orang menancapkan duri di hati.”
Di dalam mobil itu, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, terjebak dalam keheningan yang penuh dengan rasa perih yang tak terucap.
...****************...
“Aku ingin informasi lengkap tentang pria ini.” Intan mengetik pesan singkat sambil melampirkan foto Darwin yang tampak bangga dalam setelan jas mewah. Pesan itu ia kirim ke sebuah nomor tak dikenal yang tersimpan dengan inisial sederhana di ponselnya.
Hanya butuh beberapa menit hingga balasan datang: “5 juta.”
“10 juta, tapi aku juga ingin tahu identitas wanita simpanannya,” balas Intan cepat.
Dalam hidupnya sebagai Aster, ia mengenal beberapa hacker andal yang bisa menyelidiki hal-hal seperti ini tanpa jejak. Meski pertemuan mereka terbatas, Aster sangat tahu keahlian orang ini dan tak perlu ragu dengan biaya yang ia tawarkan. Semua itu sepadan demi kebenaran yang ia butuhkan.
Malam itu, Intan berdiri di balkon kamarnya, tatapannya yang kosong tertuju pada hamparan bintang di langit. Angin malam menghembus lembut, seolah mencoba menenangkan pergolakan dalam hatinya.
“Aku benar-benar harus terlibat dalam kekacauan keluarga ini?” gumamnya pada dirinya sendiri. “Wanita malang itu... suaminya tak setia, putra-putranya tak peduli. Bagaimana kalau dia tahu bahwa putrinya yang asli sudah tiada…”
Intan menghela napas panjang, sesaat mengisap rokok yang terjepit di antara jari-jarinya. Lamunannya buyar saat ia melihat sebuah mobil memasuki pekarangan rumah. Devano, dengan wajah tegang, keluar dari mobil mewahnya. Sesaat kemudian, Darwin bergegas menyusulnya, langkahnya cepat seolah ingin mengejar putranya.
“Bajingan tengik,” desis Intan, tak mampu menahan amarahnya melihat kedatangan Darwin. “Ada apa lagi sekarang? Apa mereka bertengkar?” Tanpa pikir panjang, Intan mematikan rokoknya dan segera turun untuk menyaksikan keributan yang akan terjadi.
Begitu tiba di ruang tengah, Intan mendapati Windana tengah mencoba melerai Darwin dan Devano, yang terlibat dalam adu argumen panas. Di sudut ruangan, Abraham berdiri, diam dan muram, namun sorot matanya memancarkan kemarahan yang jelas ia tahan. Windana menarik tangan Darwin, berusaha mengajaknya keluar dari ruangan, sementara Devano mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih. Bibirnya tampak pecah dan berdarah, bukti betapa panasnya perseteruan mereka.
Seorang pelayan mendekat, menawarkan segelas air untuk Devano, namun dengan kasar Devano menghentakkan nampan itu hingga gelasnya jatuh dan pecah. Pelayan itu tampak syok, menunduk cepat, hendak memungut pecahan gelas.
“Jangan! Biarkan pelayan lain yang mengurusnya,” cegah Intan, menahan pergelangan tangan pelayan tersebut. “Tenangkan dirimu dulu,” tambahnya lembut, lalu menggiring pelayan yang gemetar itu ke sofa.
Setelah memastikan pelayan tersebut tenang, Intan mendekati Devano yang masih mematung dengan dada berdegup marah. Ia mengambil segelas air dari meja dan menyodorkannya ke dada Devano. “Minum ini. Tenangkan dirimu. Masalah kalian tak seharusnya melibatkan orang lain,” ucapnya tegas.
Devano menatap Intan sejenak tanpa berkata apa-apa, lalu menghela napas dan berbalik pergi, langkahnya berat menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Intan hanya bisa menghela napas panjang, menyadari betapa rumitnya dunia yang kini ia masuki, dunia yang penuh dengan rahasia dan ketegangan yang terus menyala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Biduri Aura
ceritanya bagus 🌷🌷🌷
2024-04-15
0
Dian Soedarminto
kayaknya ceritanya oke nih👍👍
2024-03-30
0