Aku senang berlari. Pagi hari di minggu buta, aku berlari. Di siang hari sewaktu hatiku kalut, aku berlari. Di sore aku pun juga berlari. Kakiku tak pernah sakit meski sudah menempuh 20 kali lapang sepak bola. Lelah dan dahaga tak pernah dirasa, karena ini masih lebih baik. Ya masih lebih baik. Malah aku merasa lebih baik seperti itu. Tapi, sekarang aku berlari dengan hati berisi.
Langkahku secepat angin berhembus. Aku menuruni tangga sementara lelaki itu tersenyum pada layar ponselnya. Dia menoleh.
"Oh, kau sudah siap? perlu kuantar Ay?"
"Tidak," jawabku sementara tangan kananku meraih tas raket yang beratnya hampir setengah berat tubuhku. "Rumahnya tak jauh kok." Lelaki itu membisu. "Aku baik-baik saja, hanya menginap di rumah teman," tambahku dengan nada meyakinkan tidak seperti yang terjadi kala debat capres.
"Baiklah, hati-hati. Rumah ini jadi kosong tanpamu."
Aku mengangguk. "Rumah ini sedari awal memang selalu kosong."
Satu tugas telah selesai. Mengibuli lelaki yang pulang pergi New York-Bandung ini. Sekarang tugas lebih sederhana. Memberi pesan sampai jumpa kepada mereka.
Aku ada urusan penting mengenai klub Karuta, jadi selama beberapa pekan aku tidak di rumah. Begitu tulisan elok yang aku ukir di Papan Tulis Putih. Pesan kepada Ayah dan Ibu.
Segera aku berlari lagi. Lagi dan lagi. Beban berat di punggung dan bahuku tak ada apa-apanya. Pemandangan kota tercinta, sekolah putih abuku, dan bangunan tua itu. Sama, semua masih sama.
Sisi Lain, aku datang.
Persis seperti yang aku lakukan ketika Bon Jovi menyenandungkan lagu It's My Life lewat headphoneku di episode awal, aku melemparkan tas gandong melewati pagar pembatas. Aku menjejalkan kaki kemudian melompat lincah dari satu box ke box lain dan pagar itu berhasil dilewati.
Berdecak genangan air aku langkahi, bergaung langkah kakiku memantul dinding kusam dan berlumut, dan pandanganku menemukan pilar kembar itu. Pilar bersejarah bagiku, mirip seperti menara kembar WTC bagi negeri paman sam.
Angin bersiul dan muncul penampakan kawan-kawanku di seberang sana. Berdiri menungguku. Mereka tersenyum simpul.
"Lama sekali," sindir Zoya.
Antara memperbaiki kacamatanya yang merosot. "Aku bukan tuan krab, tapi waktu adalah uang."
"Maaf."
"Ya biarkan saja dah, lagipula tokoh utama datang terakhir." Zoya bersungut-sungut.
"Sasuga Prontagonis."
Anje memalingkan pandang sombong.
Aku berjalan menuju teman-temanku.
Jantungku berayun-ayun. Dustak-dustak mirip lagu DJ. Rasa senang dan takut bercampur aduk, berkecimpung bak es campur. Menjadi sebuah rasa baru yang melenakan indra pengecap.
Oh iya, aku lupa memberitahukan kepada kalian para pembaca setia. Para pemirsa kalau novel ini diadaptasi menjadi film. Selama beberapa bulan ini, terjadi perubahan besar di dunia Sisi Lain. Kalian ingat laut membentang yang mengisolasi semenanjung di portal ini? Ingat keajaiban di Chapter 6?
Ya, sebuah keajaiban terjadi seperti yang menimpa kami di Chapter 6. Dunia Sisi Lain berubah. Bukan hanya laut yang menyambut kami, tapi hutan dan gua-gua jepang berserta alutsistanya yang berkarat. Nadla, Antara, dan Mahendra sudah mendapatkan kesimpulan dari petualangan mereka sebelumnya. Di sisi seberang gua, berdiri bangunan yang kita hendak tuju. Lawang Sewu.
"Di sanalah Lawang Sewu," ucap Mahendra. Menyingkap Pindad SSR2.
"RC Recon R1 sudah siap lepas landas." Antara menjepit pesawat mahakaryanya. Devais mapping dan devais frekuensi cather di gantung di punggungnya.
Di sisi kiri Si Ilmuwan Gila, Zoya tampak bak pejuang di anime-anime isekai. Bedanya hanya dari perlengkapan nyentriknya. Pentungan dihiasi paku, perisai dari tutup tong sampah, dan armor berupa jaket rugbi. Bom rakit dan Pindad SSR2 melingkari bahunya.
Sebelah kanan berdiri pada gadis. Anje mengenakan glock dan shotgun rakitan. Sally membawa telepon radio di punggungnya. Gadis Antagonis yang paling banyak membawa senjata. Laras panjang, dan glock lagi.
"Siap?" tanya Nadla, dia menarik pistol glocknya. Wajahnya semenarik musim panas di Westeros.
Kami melangkah dramatis memasuki gua dalam formasi baris ke samping. Aku di tengah. Prontagonis harus di tengah.
Beginilah kisah tujuh anak putih abu-abu mengarungi dunia Sisi Lain. Sally si Kanjeng Ratu, Anje si Dewi Pemarah, Nadla sang Gadis Antagonis, Aku si Prontagonis, Antara sang Ilmuwan Gila, Zoya si Konyol, dan Mahendra si Buaya Darat. Kami Klub Karuta siap bertempur. Sangat ikonik.
"Ya, ikonik tapi akan lebih baik bila tidak mengenakan seragam SMA," celetuk Zoya, mengomentari monologku. Jalannya nyentrik seperti biasa.
"Mau bagaimana lagi, sang Author kebingungan harus memakaikan kita pakaian apa. Seragam sekolah memang yang terbaik," ucapku.
Petualangan seru, kami datang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Agniz
berasa baca prolog lagi/Applaud/
2024-04-22
1