Chapter 7 - Counting Stars

"Hey Zoya! Perhatikan di depan, materi ini akan masuk ke ujian tengah semester. Perhatikan! Yang lain juga perhatikan!"

"Iya pak!" desis Zoya.

"Jangan salahkan bila dapat nilai ukuran sepatu."

Zoya bersungut-sungut. Penghuni kelas lain menaruh atensi mereka pada papan tulis penuh angka-angka, tuan x, tuan y, sin, dan cos.

"Dari mana sih munculnya angka 0.6 itu? Matematika itu ajaib banget deh," komentar Sally.

"Sinus 37°," dengusku maklum.

"Ah begitu! Terima kasih!"

Aku mengangguk kecil.

"Oh btw, kamu beneran ikutan clasmeet nanti?"

"Bulutangkis, aku lagi ingin main bulutangkis," kataku berdusta.

Sebetulnya alasan aku mengikuti classmeet bulutangkis adalah karena untuk alibi agar bisa lari dari rencana aneh-aneh Gadis Antagonis. Aku tak suka lautan, bisa dibilang benci.

Halaman buku dibalik. Garis-garis kembali diisi oleh deretan angka dan huruf.

Ujian ya, padahal baru saja aku memasuki sekolah ini. Rasanya waktu cepat banget berlalu.

Satu minggu sudah berlalu sejak kami menemukan anomaly dari dunia Sisi Lain. Rupanya, selama absenku dari Sisi Lain, terjadi perubahan signifikan di sana. Kami tak bisa menjelajahi Sisi Lain seperti waktu lalu. Ada lautan membentang di sekeliling portal. Tidak ada cara menyebranginya. Di portal tempat Nadla biasa masuk pun demikian.

Ya, tempat keluar portal menjadi berubah atau bisa dibilang hukum di sana berubah. Aku tak tahu apa lagi yang terjadi di sana sejak seminggu ini. Tapi kali ini harus kembali ke dunia nyata, menghadapi fakta yang selalu dihindari seorang pelajar, ujian sekolah.

Dengan begitu, kembalilah kehidupanku yang tak berarti. Duduk memandangi papan tulis yang kubenci.

Bel mengalun nyaring. Pak Roro melangkah pergi secepat seorang pejabat negara ketika ditanya 'dapat dari mana uang segitu.' Oh ya perihal pejabat, sesungguhnya aku mendapat gelar Sekretaris kelas pun karena permainan tunjuk bukan karena keinginanku. Iyap benar, yang pertama mengusulkan aku menjadi ketua adalah Sally. Untungnya aku tidak mendapat suara terbanyak, cukup sekedar sekretaris.

Sally sibuk merangkum ciri-ciri sel tumbuhan. Teman kelas yang lain sibuk bermain kartu, melolong dan bernyanyi. Hanya segelintir yang belajar.

Seseorang mendatangiku.

Dikucir kuda rambutnya. Kurus sangat tubuhnya. Agak lusuh pakaiannya. Dan tingginya beberapa sentimeter lebih tinggi dariku. Dia Mira, bendahara kelas. Paling menonjol darinya adalah sifatnya yang pemalu.

"Prontagonis, boleh minta batuan gak?"

"Katakan,"

Mira mengeluarkan kertas buram. Sejumlah nama-nama tertulis di sana. Itu kertas absensi yang diubah menjadi daftar kas kelas.

"Aku mengerti," ucapku mantap. "Lagian ketua dan wakil kelas kita brengsek orangnya."

Mahendra bersin. Lawan tandingnya berseru, senang karena kartu Mahendra terjatuh ke lantai.

Aku pun mendapat tugas baru, mengancam anggota kelas yang ingin lari dari pajak. Ketahuilah, bahwa uang yang musti dibayarkan anggota kelas perminggunya adalah 5 ribu. Sudah hampir tiga bulan berlalu, harusnya perorang sudah membayar 40rb paling tidak. Mampus tuh yang selalu mengibuli Mira dengan seribu alasan, hari ini uang jajan kalian habis untuk kas. Kami akan mendatangi kalian satu-satu.

"Oh sekretaris, ada apa ini datang bawa-bawa geng?"

"Uang kas, Zoya."

Dahi Zoya mengerucut.

Pertama Zoya tentunya. Si konyol harus membayar 50rb. 20rb untuk kas, 30rb untuk kerusakan yang diperbuatnya dalam upaya memperbaiki dispenser. Zoya hendak kabur, alibinya adalah ingin ke belakang. Aku menarik tangannya agar dia kembali duduk. Dengan berat hati Zoya merogoh uang tabungannya.

"Terima kasih atas kerjasamanya," ucapku sinis, membuat yang hendak lari dari pajak berpikir dua kali.

Bahagia rasanya melihat yang selalu terkekeh ketika berhasil kabur dari renternir Mira, kini merekahkan senyum terbalik ke bawah. Hampir semua laki-laki kelas begitu ketika aku datang ke meja mereka. Salam yang paling tak sudi, sampai memanggilku Chibi. Tapi, hanya satu perempuan kelas yang mengibuli Mira. Dan dia adalah Dewi Pemarah.

Bayangkan gadis cantik secantik Selena Gomez. Bayangkanlah gadis itu berseragam putih abu, duduk malas di bangkunya. Tiba-tiba kamu menyenggol meja tumpuannya. Gadis itu menatap sinis, mencela dirimu lewat tatapannya. Ingin berusaha kabur? Jelas tak mungkin, aura dingin gadis itu sudah lebih dahulu menghujam matamu.

Angelica namanya. Dialah si Dewi Pemarah. Gadis dengan aura sedingin salju Antartika. Gadis yang kau ganggu sebelumnya.

Aku berhenti pada meja kayu penuh coret-coretan anak-anak langit. Dewi Pemarah tengah sibuk pada layar ponselnya, mendengus malas.

"Angelica, uang kas." Aku berkata.

Angelica mendengus malas. Dia memang dewi pemarah, wajahnya yang malas menunjukkan kegarangan luar biasa padaku. "Berapa?"

Dengan sedikit gugup, Mira menjawab.

"Empat puluh ribu."

"Ke Mahendra sana, dia janji traktir gue."

"Baiklah."

"Sekretaris, tunggu." Angelica mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Hajar aja si Endra."

"Dengan senang hati."

Kami pun melenggang pergi dan tiba di depan kelompok laki-laki yang sedang bermain kartu. Kumulai dari yang paling mudah diajak kompromi. Aku membiarkan Mahendra mendapat giliran terakhir. Dan sekarang giliran Mahendra dan Ardhan si ketua kelas yang tak kuanggap.

"Anjir kartunya, bagus-bagus." Ardhan menengadah. "Ah, ada urusan apa Sekretaris? Ada tugas dari Bu Ella?"

Mira diam mematung.

"Pajak kelas, Ketua," ucapku tak acuh. "Tidak ada pengecualian untuk Ketua atau Wakil Ketua."

"Uang Kas? Udah bayar kan urang waktu itu?"

"Uang kas dibayar perminggu, bukan satu kali pertahun."

"Udah bayar aja, noh aku bayarin 10rb mayan tuh." Mahendra mengeluarkan selembar uang merah dan biru dompetnya."Segini kan?"

Lelaki ini adalah Mahendra, wakil ketua kelas X MIPA 11. Dia memang kerap menyerahkan semua pekerjaan dan kewajibannya pada pengurus kelas yang lain. Lari dari tugas, untuk bisa menyesap asap rokok. Kabur dari piket kelas. Beribu alasan untuk bolos sekolah. Bermain perempuan. Sifatnya brengsek sebelas dua belas dengan ketua kelas.

"Iya, uang kasmu ditambah kerusakan dispenser dan juga traktir Angelica dan Ardhan. Terimakasih!" Mira tersenyum manis. Senyuman yang aku paham betul arti dibaliknya.

Aku tak paham bagaimana banyak sekali kembang kelas sangat jatuh hati padanya. Dari nilai? Tentu beliau jauh di bawah sepuluh besar. Sifatnya? Dia seorang player. Matanya penuh rasa pesimis, tak disukai perempuan. Wajahnya? Dia putih, seputih dan selembut salju. Mirip artis bisa dibilang. Dan ... Oke!Oke! Aku mengakui Mahendra tampan. Mungkin, disitulah pesonanya.

Pahit kuakui tapi, semua berkat Mahendra. Dia lah yang menyatukan kelas. Dialah alasan mengapa kelas yang jauh dari garda depan ini tak banyak kena masalah. Karena dialah yang selalu mengorbankan diri menjadi tumbal. Ya, dia memang begitu. Dan dia lah yang kemudian hari membantuku dari ujung maut, lelaki buaya darat ini.

Mira mencontreng kotak tertulis nama Mahendra.

"Siapa lagi yang belum bayar?"

"Tinggal Nadla dan Antara."

Giliran aku yang mendengus malas. "Biar kuberitahu mereka kalau aku ketemu di pinggir jalan."

"Maaf merepotkan."

"Mereka berdualah yang merepotkan."

Mengenai Nadla dan Antara, mereka sudah beberapa hari tidak masuk sekolah semenjak kami menemukan anomaly Sisi Lain. Sangat tidak wajar menurutku. Aku berharap mereka tidak melakukan hal diluar akal sehat seorang anak SMA.

Angin berhembus di telingaku. Dingin dan menusuk. Sesuatu aneh kemari. Ku usap telinga kiriku, rasanya ada semacam benda imajiner. Apa itu? Di hadapanku, sesosok hitam berjubah berdiri di tengah kelompok lelaki bermain kartu. Jantungku hampir berhenti berdetak. Wajah sosok itu putih bersih seperti tembok. Persis seperti tembok! Tidak ada lekuk dan gurat aksesoris wajah.

Aku menemukanmu! Waktu istirahat sudah habis!

Aku berpaling. Siswa-siswi kelas X MIPA 11 bermain pada dunianya masing-masing. Menulis rangkuman ciri-ciri sel, bermain kartu, dan beberapa tertidur.

"Sekretaris? Ada apa? Wajahmu pucat."

"Ah tidak, tidak apa-apa Mira, aku hanya melihat yang tidak-tidak. Mungkin karena aku terlalu lama tidur," ucapku kaku.

Mira menyipitkan mata, bingung.

"Sebentar, ponselku bergetar."

Aku membuka layar ponsel. 10 pesan baru dari Gadis Antagonis. Ya Gadis Antagonis, NADLAAA.

...****************...

"Dengar, semua yang kukatakan di sini tidak boleh keluar ke tempat selain meja ini. Mengerti?"

"Satu kata saja tidak boleh ditangkap oleh itelejensi negara!" sahut Nadla.

Sally mengangguk setuju.

Aku memandang heran. "Ba–baik," kata-kataku terasa canggung.

"Bukan saatnya meragu Sekretaris! Dengar!"

"Baik."

Wajah kacamata menghilang dari cahaya. Dia muncul lagi membawa sebuah devais asing di tangannya. Devais asing yang hanya bisa kalian temukan di dalam film-film funturistik garapan Christopher Nolan.

"Villain Marvel, giliranmu."

"Untuk hormatmu Dr. Stone," ucap Nadla. Berdesing suara devais di depan wajah Nadla. Piringan bertulisan angka berputar, telihat semacam spektrum aneh. "Di Otherside, portal yang terbuka tidak serta merta muncul begitu saja."

"Ya aku paham itu, lantas?"

"Tidak, kau tak paham. Setiap menginjakkan kaki di Otherside, frekuensi kita berubah dan barang-barang yang kita bawa juga. Portal yang menghubungkan Otherside lah yang melakukan tugas tersebut!"

"Lalu?"

"Artinya portal penghubung ini dapat menerima dan memancarkan frekuensi tertentu sebuah Gelombang X, gelombang materi yang menyusun dunia untuk melakukan tugas penyelarasan frekuensi materi Otherside dan dunia nyata. Mirip modulasi gelombang."

"Jadi?"

Antara tersenyum licik. "Jadi kita bisa mencari potensi portal yang tersebar di seluruh penjuru dunia kemudian membukanya! Dengan begitu kita bisa melintasi pembatas pertama dan masuk ke Region baru!"

"Umm, artinya?" tanyaku malas. Aku sangat ingin udara segar bukan penjelasan nun rumit.

"Artinya kita bisa lanjut menjelajahi Otherside! Laut membentang yang menghalangi kita dapat ditaklukkan." Antara berkata bangga. "Alat ini akan menaklukannya!"

"Oh begitu, baiklah, tapi bisa tidak aku keluar sekarang? Gerah di sini."

"Sekretaris jangan—"

Cahaya benderang masuk. Aku menyingkap kain gelap yang menutupi masuk cahaya lampu kafe. Seperti orang miring, begitu komentarku mengenai meeting kali ini.

Bayangkan sebuah kotak hitam kelam yang di dalamnya diisi empat orang anak sekolahan dan cahaya lampu LED di tengah lingkaran wajah-wajah mereka. Di situlah kami berdiskusi, di atas kotak—meja yang sudah dipasangkan kain hitam—sebuah kafe yang banyak pengunjung memandangi kemiringan kami.

"Alay banget kalian," ucapku sinis, melipat tangan di depan dada. "Terlalu banyak waktu luang sampe bikin ginian segala."

"Seru loh padahal kaya di film horror gitu!"

"Itu bukan buang-buang waktu, bila yang dilakukan membuat diri menjadi bahagia untuk saat itu atau untuk masa depan kelak." Nadla berucap.

"100% kata-kata bijak!" celetuk Antara, suaranya serak seperti ditekan.

Aku tak sanggup menatapnya itu. "Sally, jangan sering-sering main bersama mereka atau gak sifat nyentrik mereka akan menular padamu."

Netra orang-orang tertuju padaku. Untungnya ini ruang VVIP jadi masih ada kaca yang memisahkan rasa memalukan ini.

Antara beranjak bangun. "Kau akan ikut bukan Sekretaris?"

"Lumayan buat pamer IG loh!"

"Benar kami nanti bakal live stream kalau kau tak ikut, agar tetap bisa menikmati pesona baru Otherside."

Mata ini tak ingin melihat mereka begitu. "Aku tidak akan datang, aku sibuk, ya benar sibuk untuk mempersiapkan UTS."

"Sudah kuduga! Kata-kata yang persis perkiraanku." Antara memperbaiki kacamatanya yang merosot. Lensa cekung itu bersinar biru. "Dan selanjutnya kau pasti akan berkata, 'Aku juga ikut clasmeet bulu tangkis, tak ada waktu kosong', ketika kami mendesakmu itu. Benar bukan?"

Bagaimana bisa? Dia tahu dari mana? Satu-satunya yang tahu aku ikut adalah pengurus dan juga Sally yang menyeringai. Sally, kau tega menjualku!

"Kamu sendiri bilang jangan sering-sering dekat mereka jadi aku ingin kau ikut! Ay, temeni aku ya? Plis? Aku ingin lihat keindahan seberang laut Otherside, plis?"

"Baik-baik, tapi tentukan waktu yang benar oke? Jangan seperti lalu-lalu, janjian tapi pada akhirnya hanya wacana saja."

"Waktunya sudah ditentukan, hari tanggal dan jamnya," ucap Antara bangga. "Tepat hari H setelah kau bertanding!"

Tanpa kusangka aku kalah oleh si Ilmuwan Gila. Antara, kau selalu memprediksi satu langkah di depan yang lain.

"Sip! Kalau begitu semangat bertanding Sekretarisku!" Sally melingkarkan tangannya.

"Gadis Antagonis akan mendukungmu!"

"Naikkan peluang kemenanganmu dengan mempelajari musuhmu!" nasihat Antara padaku.

"Iya-iya," kataku malas.

Aku merasakan tatapan menghunjam. Aku berpaling. Tidak ada siapa-siapa di meja sana.

...****************...

Satu lagi hari sial, ungkapku dalam hati. Sudahlah, biarkan saja hari sial ini berlalu. Kenapa mereka selalu mengusik hidupku? Aku hanya ingin ... Ingin.. Belajar dengan santai agar bisa seperti yang lain.

Lagu ikonik OneRepublic menggema di telingaku. Lagu berjudul itu Counting Stars disenandungkan lewat speaker Headphoneku. Irama yang menggebu-gebu, instrument dan suaranya yang cepat membuatku lebih semangat membuat rangkuman sistem saraf manusia. Ini bukan tugas sekolah sebetulnya, aku membuat rangkuman ini hanya karena harus saja.

Halaman demi halaman berganti. Kertas demi kertas habis terisi oleh corat-coret tulisanku. Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku menyampirkan headphone.

"Iya bi?"

Tidak ada jawaban apa-apa.

"Bi?"

Masih tidak ada jawaban apa-apa.

"Mungkin aku salah dengar saja," gumamku dalam hati.

Tanganku kembali menari di atas kertas. Vokalis OneRepublic, Ryan Tedder melolongkan kata Counting Stars. Aku tanpa sadar menyenandungkan dalam hati, lirik lagu band asal negeri paman sam tersebut. Hatiku menggebu-gebu lagi, penuh semangat membara.

TOK!TOK!TOK!

Kudengar ketukan pintu itu lagi.

"Bi? Bi Hannah? Bi?" Aku dipaksa bangkit dari duduk.

Ketukan jam berbunyi ketika aku membuka pintu kamar. Bukan suara yang aku harapkan. Ruangan penghubung di lantai dua kulewati begitu saja.

Langkahku bergaung terdengar terpantul dari dinding-dinding pualam. Aku menuruni tangga. Gelap tapi mempesona karena lampu model antik menggantung di ruang tamu. Agak suram juga rupanya rumahku jika sendirian.

Pistol flintlock, lukisan sungai Seine dan sosok tinggi berjas menyambut di ruang tamu.

"Kamu?"

"Ehhh belum tidur toh? Tumben."

"Bagaimana mau tidur, ada orang yang mengganggu di lantai satu. Berisik banget." Aku mendengus malas.

"Ah maaf-maaf," ucap lelaki itu kaku. "Mohon maafkan kakakmu ini ya,"

Aku melangkah malas menuju ruang belakang. "Ku maafkan asal kamu beritahu aku apa yang membawamu kemari. Mau teh atau kopi? Cafè au lait atau Latte?"

"Jangan, jangan, tak perlu kopi, nanti kakak susah tidur hari ini. Dan mengenai alasan mengapa aku kemari sih hanya karena kerjaan."

"Kerjaan? Di New York tidak ada kerjaan apa? Sampai nyari kerja di Indonesia."

"Bukan, um ya, sebetulnya beberapa hari lalu malah di New York banyak yang harus aku lakukan. Klien datang terus membanjiri tiap hari." Lelaki itu tersenyum mendapatkan teh hangatnya. "Terima kasih,"

"Lanjutkan,"

"Dan kebetulan dapet telepon seorang klien asal Indonesia. Daripada ngobrol lewat telepon, jadi aku memutuskan menemuinya langsung tapi di Indonesia." Dia menyeruput teh itu. "Singkatnya aku pulang dulu sebentar beberapa hari sekalian melihatmu."

"Udah melihat akunya? Kalau udah terbang lagi sana."

"Papa Mama tidak pulang?" tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Ayah masih di Marseille, katanya ada tugas baru lagi jadi tidak bisa pulang."

"Kalau Mama?"

"Ibu sibuk di kantor," jawabku asal.

Kakak diam memandangi permukaan cairan yang berinterferensi. Aku melirik padanya sesekali tapi dia tidak bersua sekalipun.

"Sudah bertanyanya?"

"Pertanyaan yang kamu banget. Tidak berubah." Lelaki itu kembali menyeruput tehnya. "Tidak ikut saja deng—"

"Aku lebih suka disini, iklim yang terprediksi. Tidak ada salju dan musim panas."

"Belum juga beres pertanyaannya sudah dijawab, kek peramal aja."

"Aku sudah tahu apa pertanyaannya sedari melihatmu mukamu."

"Bagaimana kalau ikut denganku ke—"

"Di sana ada musim gugur dan musim semi. Aku tidak suka." Aku melirik ke arah selatan ruang tamu. Jam menunjukkan pukul 11 malam. "Aku mau ngerjain tugas lagi, jadi jangan seenaknya ketuk pintu kamarku kalau tidak ada yang penting."

"Kakak tidak akan mengetuk pintu kamar itu kok, itu peraturan rumah ini sejak dahulu. Masih ingat aku. Dan maaf ya."

Aku melenggang menuju lantai dua.

Hari ini aku tidak berpikir jernih. Sesungguhnya aku sudah mengetahui keganjilan itu. Tapi diriku yang lain menolaknya. Kalau saja aku peka, aku akan tahu bahwa sejak saat hari itu, Ada yang mengikutiku dan dia bukanlah manusia.

Terpopuler

Comments

Rikka

Rikka

Jadi ini mirip kayak saluran televisi yang bisa diganti dengan menyesuaikan frekuensi sinyal menggunakan remote TV, begitukah?

2024-04-07

1

Agniz

Agniz

just, how introvert this protag could be?
ortu jarang di rumah dia kesal si oke.
tp kakaknya keliatan baik tp dia masih betmut kyk bocah tk lagi tantrum.
tp bisa jadi sikapnya ke kakak kyk insecurity

2024-02-19

1

Manusia Biasa

Manusia Biasa

Sama kayak kelasku dulu 5k perminggu

2024-02-12

1

lihat semua
Episodes
1 Chapter 1 - It's My Life
2 Chapter 2 - Rocky Mountain High
3 Chapter 3 - Begadang
4 Chapter 4 - Hotel California
5 Chapter 5 - Heartbeat
6 Chapter 6 - Paradise
7 Chapter 7 - Counting Stars
8 Chapter 8 - Up&up (Bagian Satu)
9 Chapter 8 - Up&up (Bagian dua)
10 Chapter 8 - Up&up (Bagian tiga)
11 Chapter 9 - Daylight (Bagian Satu)
12 Chapter 9 - Daylight (Bagian Dua)
13 Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Satu)
14 Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Dua)
15 Chapter 11 - Dynamite (Bagian Satu)
16 Chapter 11 - Dynamite (Bagian Dua)
17 Chapter 11 - Dynamite (Bagian Tiga)
18 Chapter 12 - Jangan (Bagian Satu)
19 Chapter 12 - Jangan (Bagian Dua)
20 Chapter 12 - Jangan (Bagian Tiga)
21 Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Satu)
22 Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Dua)
23 Chapter 14 - Hotel California (Bagian Satu)
24 Chapter 14 - Hotel California (Bagian Dua)
25 Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Satu)
26 Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Dua)
27 Chapter 16 - Let It Be
28 Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Satu)
29 Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Dua)
30 Chapter 18 - Jailhouse Rock
31 Chapter 19 - Give Love (Bagian Satu)
32 Chapter 19 - Give Love (Bagian Dua)
33 Chapter 20 - Sweet Victory
34 Chapter 21 - Otherside
35 Chapter 22 - Faded
36 Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Satu)
37 Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Dua)
38 Chapter 24 - Iridescent
39 Chapter 25 - Do You Hear The People Sing?
40 Chapter 26 - Kereta Kencan
41 Chapter 27 - Pudar (Bagian Satu)
42 Chapter 27 - Pudar (Bagian Dua)
43 Chapter 28 - Pilihanku
44 Chapter 29
45 Chapter 30 - Broken Angel
46 Chapter 31 - Aw Aw Aw
47 Chapter 32 - From Now On (Bagian Satu)
48 Chapter 32 - From Now On (Bagian Dua)
49 Chapter 33 - Page of Life In My Story
50 Chapter 34 - Dreamhigh
51 Chapter 35 - Hymn For Weekend
52 Chapter 36 - Stand By You
53 Chapter 37 - Tanpa Tergesa
54 Chapter 38 - 17才 (Bagian Satu)
55 Chapter 38 - 17才 (Bagian Dua)
56 Chapter 39 - In The End (Bagian Satu)
57 Chapter 39 - In The End (Bagian Dua)
58 Chapter 39 - In The End (Bagian Tiga)
59 Chapter 39 - In The End (Bagian Empat)
60 Chapter 40 - The End Run
61 Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Satu)
62 Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Dua)
63 Chapter 42 - Let Her Go
64 Chapter 43 - Sampai Jumpa
65 Epilog
66 Prolog
67 Akhir Kata
68 Side Story 1: Prontagonis/Sekretaris
69 Pengumuman Update
Episodes

Updated 69 Episodes

1
Chapter 1 - It's My Life
2
Chapter 2 - Rocky Mountain High
3
Chapter 3 - Begadang
4
Chapter 4 - Hotel California
5
Chapter 5 - Heartbeat
6
Chapter 6 - Paradise
7
Chapter 7 - Counting Stars
8
Chapter 8 - Up&up (Bagian Satu)
9
Chapter 8 - Up&up (Bagian dua)
10
Chapter 8 - Up&up (Bagian tiga)
11
Chapter 9 - Daylight (Bagian Satu)
12
Chapter 9 - Daylight (Bagian Dua)
13
Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Satu)
14
Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Dua)
15
Chapter 11 - Dynamite (Bagian Satu)
16
Chapter 11 - Dynamite (Bagian Dua)
17
Chapter 11 - Dynamite (Bagian Tiga)
18
Chapter 12 - Jangan (Bagian Satu)
19
Chapter 12 - Jangan (Bagian Dua)
20
Chapter 12 - Jangan (Bagian Tiga)
21
Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Satu)
22
Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Dua)
23
Chapter 14 - Hotel California (Bagian Satu)
24
Chapter 14 - Hotel California (Bagian Dua)
25
Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Satu)
26
Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Dua)
27
Chapter 16 - Let It Be
28
Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Satu)
29
Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Dua)
30
Chapter 18 - Jailhouse Rock
31
Chapter 19 - Give Love (Bagian Satu)
32
Chapter 19 - Give Love (Bagian Dua)
33
Chapter 20 - Sweet Victory
34
Chapter 21 - Otherside
35
Chapter 22 - Faded
36
Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Satu)
37
Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Dua)
38
Chapter 24 - Iridescent
39
Chapter 25 - Do You Hear The People Sing?
40
Chapter 26 - Kereta Kencan
41
Chapter 27 - Pudar (Bagian Satu)
42
Chapter 27 - Pudar (Bagian Dua)
43
Chapter 28 - Pilihanku
44
Chapter 29
45
Chapter 30 - Broken Angel
46
Chapter 31 - Aw Aw Aw
47
Chapter 32 - From Now On (Bagian Satu)
48
Chapter 32 - From Now On (Bagian Dua)
49
Chapter 33 - Page of Life In My Story
50
Chapter 34 - Dreamhigh
51
Chapter 35 - Hymn For Weekend
52
Chapter 36 - Stand By You
53
Chapter 37 - Tanpa Tergesa
54
Chapter 38 - 17才 (Bagian Satu)
55
Chapter 38 - 17才 (Bagian Dua)
56
Chapter 39 - In The End (Bagian Satu)
57
Chapter 39 - In The End (Bagian Dua)
58
Chapter 39 - In The End (Bagian Tiga)
59
Chapter 39 - In The End (Bagian Empat)
60
Chapter 40 - The End Run
61
Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Satu)
62
Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Dua)
63
Chapter 42 - Let Her Go
64
Chapter 43 - Sampai Jumpa
65
Epilog
66
Prolog
67
Akhir Kata
68
Side Story 1: Prontagonis/Sekretaris
69
Pengumuman Update

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!