Chapter 4 - Hotel California

Daun pintu dimana-mana, membuka satu, muncul satu yang baru di baliknya. Ruangan-ruangan di sini mirip-mirip pula, dari luas hingga tata letak perabotan reyotnya. Langkah bergema terdengar bergaung.

Aku berpaling. Suara lolongan, atau persisnya suara pekik Yoma berpayudara panjang itu membuatku musti berbalik arah. Entah mengapa, sang nenek cepat sekali muncul di ruangan selanjutnya padahal sudah kutinggalkan dia bersama Nadla di belakang.

Aku bingung tak kepayang, bagai anak SD diberi textbook Purcell. Celingak-celinguk, jadi orang dungu.

Kenapa selalu kembali ke lorong ini lagi? Sudah berkali-kali kulewati lorong ini, memutar dan menuju aula utama tapi pada akhirnya aku kembali ke titik semula. Seperti ada semacam sihir teleportasi.

"Anak-anak," ucap nenek tinggi itu, sumringah padaku.

Seharusnya aku tadi mengambil langkah berani ke tangga utama, naik ke lantai dua untuk mengadu nasib dengan asal suara asing di atas sana.

Kucoba cara lain. Alih-alih mencoba semua pintu dan malah bertemu nenek gombel, aku memilih pintu paling janggal. Pintu tak wajar yang berbeda dengan pintu-pintu lainnya. Hitam pucat. Kubuka pintu itu secepat kilat.

Baunya aneh, busuk. Gelap ruangannya, hanya terdapat anak tangga menuju ruang bawah tanah. Sementara kepalaku berusaha menangkap apa yang terjadi di sini, terdengar langkah yang lembut melintas di lorong.

Wie is er daar?

Dari suaranya yang lembut, aku menyadari bahwa di balik pintu yang memisahkanku dengan lorong ini berdiri seorang noni belanda.

Harus kemana? Tidak ada apa-apa di sini. Geruruku dalam hati.

Pintu menjeblak terbuka. Selagi noni tinggi yang rupawan masuk, tubuhku ditarik masuk ke dalam ruang bawah tanah. Aku mempersiapkan seluruh jiwa dan raga untuk melawan makhluk apapun yang membawaku ke penjara bawah tanah. Siluet bergerak turun; aku menarik pentungan.

"Shhhh!" Siluet berwajah tak asing menekan jarinya di mulutku, membungkamku sebelum aku bersuara.

"Kau?" aku berbisik.

Nadla nyengir.

Syukurlah aku menemukan makhluk hidup meski makhluk hidup ini agak miring sifatnya. Namun masih lebih baik daripada bertemu dengan mata menyeramkan si nenek payudara panjang itu atau noni belanda di atas sana.

Wie is daar?

Waktu terasa merayap. Satu menit bagai satu jam. Langkah kaki noni belanda terdengar lembut. Detak jantung ini mengikuti irama langkah kaki noni belanda.

Seketika langkahnya terdengar menjauh. Aku menghela napas lega sewaktu derap suara langkah kaki yang lembut itu hilang.

"Kau hebat juga bagi seorang pemula, bisa menemukan ruangan ini. Sebagai senior aku bangga padamu!" Antagonis Marvel menghela napas lega.

"Bisa saja berbicara begitu, sekarang berbahaya tau. Omong-omong, kita ada dimana?" tanyaku pada Gadis Antagonis.

Dan seperti itu. Datanglah senyuman licik sang gadis antagonis. Lihatlah bagaimana senyumannya merekah, mata hitam oniks yang menatap ke dalam jiwa. Membaca jiwa bagai membaca ensiklopedia. "Tempat penuh petualangan menarik!" begitu yang terukir pada wajahnya Nadla. Terdapat kharisma tersendiri, dibuat terhipnotis aku karenanya.

"Apa tempat ini juga manifestasi dari mitos dunia nyata? Apa tempat ini juga Yoma?"

Nadla mengangguk kecil. Dia lalu menarik napas dalam. "Ingat ketika jepang pertama menduduki indonesia?" (Aku mengangguk kecil). "Terdapat kantor besar di Semarang. Hoofdkantoor atau kantor pusat dari perusahaan kereta api partikelir yang sudah berjasa mengenalkan kereta api di Indonesia, Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij atau disingkat N.I.S.M. Konon katanya, tentara jepang mengeksekusi orang-orang Belanda di kantor tersebut! Penuh kekejaman, noni belanda diperkosa lalu dibunuh. Tentara belanda dilucuti, dibawa ke ruang bawah tanah untuk mati kedinginan dalam air setinggi leher."

"Sepertinya aku pernah mendengar ceritanya." Semua pemikiranku mengerucut pada satu tempat. Tapi Nadla memberikan senyum tengik seolah aku tak bisa menjawab pertanyaannya.

"Coba tebak, dimana kita saat ini?"

"Lawang Sewu." Aku menjawab.

Benar, adikarya bangunan ini mirip sekali dengan arsitektur eropa era kolonial. Bagaimana perabotan ditata, garis-garis dan lekuk-lekuk bangunan, dan juga pintu yang tiada habis-habisnya.

Dapat kubayangkan bagaimana pelayan dan penjajah berseliweran di lorong. Aku memang sedang berada di lawang sewu, di Penjara Jongkok pula! Artinya masih banyak lagi kengerian yang akan kami berdua jumpai.

"Tenanglah, kita akan segera kembali ke dunia nyata." Nadla menyadari wajahku pucat. "Aku pernah kesini sebelumnya. Lawang Sewu adalah batas akhir dari dunia Sisi Lain. Ajaibnya, beberapa pintu Lawang Sewu menuju suatu tempat di dunia nyata atau tempat lain di seberang dunia ini."

"Oleh karena itu terdapat sihir teleportasi di beberapa koridor atau lorong?"

"Benar, ada beragam keganjilan menyelimuti Lawang Sewu yang tidak tercantum pada folklore-nya. Tapi justru itu hal yang bagus untuk kita. Bila kita menemukan salah satu pintu yang menuju portal ke dunia nyata, tidak perlu susah payah mengalahkan nenek gombel atau tentara belanda."

"Justru itu perkara buruk!"

Pemikiran kami memang tidak pernah sejalan. Buruk, lebih buruk dari yang kukira. Bila benar terdapat keganjilan yang tidak tertulis dalam Folklorenya, setiap langkah kecil yang salah bisa berarti masalah.

Aku berjengit lalu mempersiapkan pentungan besi; Nadla melangkah mundur.

Detap-detap langkah kaki bergaung di lorong bawah tanah. Kami tidak bisa berdiam diri disini. Detap langkahnya semakin membahana.

"Si nenek tua bakal membunuh kita!"

"Aku punya rencana. Kita naik ke lantai dua sekarang!" Nadla melenggang dari pandangan.

Instingku berkata bahwa Nadla punya rencana waras kali ini. Aku hanya perlu mengikutinya tanpa banyak tanya. Begitu yang tertera pada wajah sang Gadis Antagonis.

Dua siluet saling memakan dan berkelebat berlalu. Kami berjalan secepat angin berhembus, cepat dan senyap. Tangga pualam menunggu di depan juga langkah kaki bergema sang wewe gombel.

Aku menumbuk Nadla dari belakang. "Nadla?" aku meneguk ludah.

"Petak umpetnya sudah selesai anak-anak, waktunya pulang." Kepala sang nenek berputar 180 derajat.

"Lari!" Nadla berteriak.

Tak menurunkan tempo, aku berlari menaiki tangga. Berbelok ke kanan kemudian berhenti ketika mendengar suara senapan api. Berdebar-debar jantungku mendengar letupan senjata api, ada tentara belanda di sana.

Nadla hampir tergelincir, untungnya koefisien gesek kinetik sepatunya cukup besar, memungkin menunda hal itu terjadi. Aku memegang bahu sang gadis antagonis. Kami terpaksa memasuki salah satu ruangan terdekat.

Jantungku berayun-ayun. Wuth!Wuth! kumendengar ayunan tangan si nenek di samping telingaku. Mengerikan! Satu detik luput saja, aku bisa tertangkap. Tapi masih belum usai. Pintu menjeblak tertutup. Nadla menahan pintu menggunakan tubuhnya.

"Selanjutnya apa?" Nadla menatapku, terengah-engah.

"Mengapa jadi bertanya padaku?"

"Kau kan yang ingin memukul Yoma! Ini rencanamu!"

Di sisi lain pintu, berderak-derak terdengar kayu dihantam.

"Mati! aku mati! Ya itu yang selanjutnya. Dan selanjutnya aku akan menghantuimu Nadla! Ini salahmu!"

Pintu semakin berderak-derak. Aku merasakan dorongan-dorongan dari balik pintu ini. Lengkingan histeris si nenek gombel.

"Kenapa jadi salahku?"

"Itu salahmu karena memilih koridor kanan!" Tubuhku menggebuk-gebuk pintu. "Aku akan menghantuimu villain marvel!"

"Tidak, tidak akan terjadi. Karena aku juga akan ikut mati disini!"

Drak!Drak!Drak! Suaranya benar-benar membuat jantungku berayun-ayun seperti samsak tinju yang dipukul.

Buk! Pintu menjeblak terbuka. Aku dan Nadla terhempas.

Mata sang nenek gombel menusuk ke dalam jiwaku. Beliau berseri. Aku berjengit. Bayangan bagaimana Thanos mengalahkan Avenger mulai merasuki pikiranku. Buruk, tidak aku tak ingin berakhir menjadi abu.

Si nenek melenggang masuk. Berseri ngeri. Dan kemudianlah hal 'itu' terjadi. Sebuah keajaiban yang mustahil di dunia nyata, ibarat tikus berdasi di Ibukota membela rakyat. Mustahil!

Cahaya emas merekah, bersinar merangsang mataku sampai tak bisa melihat warna selain putih. Disini dingin, sedingin musim salju dan kemudian panas menjalar. Layar putih seputih susu menghilang, terganti oleh gedung tinggi yang berjejal di antara bangunan bobrok.

"Alun-alun kota?" gumamku tanpa sadar.

Aku mengedar pandang. Jalanan lengang dan sesosok lelaki berkaca mata kotak memandang dalam-dalam diriku sebelum dia melenggang pergi.

"Apa yang terjadi?" tanyaku pada Gadis Antagonis di sampingku.

"Kayanya kita memasuki portal ke dunia nyata. Sudah kubilang bukan, Lawang Sewu adalah ujung dari Sisi Lain. Terdapat banyak portal di sana, beberapa menghubungkan ke seberang jauh dunia Sisi Lain atau beberapa kembali ke dunia nyata."

"Begitu," desahku.

Lega rasanya. Meski muncul di tengah jalan kosong melompong, dan tengah malam pula, masih lebih baik ketimbang berada dalam dekapan si nenek gombel. Menjijikkan aku membayangkannya.

"Yah sangat disayangkan, meski sudah selamat dari nenek gombel tapi," ucapku, dada masih kembang kempis. "Muncul di tempat jauh dari rumah. Tengah malam pula. Pulang bagaimana coba?"

Nadla menarik napas. "Pesan ojek online? Aku yang bayarkan. Khusus hari ini spesial dari Nadla!"

"Tidak terimakasih." Aku mengibas tangan. "Lagipula tidak ada yang mau menerima. Mereka mengira yang memesan adalah hantu. Aku berjalan kaki saja, paling-paling di jalan bertemu begal."

"Rumahmu jauh? Mau menginap saja di rumahku? Tak jauh kok dari sini rumahku."

"Aku lebih baik bertemu begal ketimbang mampir ke rumahmu. Dah aku pergi dulu biar bisa mengerjakan rangkuman si Olan."

Nadla membelalak. "Apa, besok ada tugas?"

"Tenang saja, kau pasti aman. Bu Olan tidak akan menjewermu karena kau murid baru," ketusku, sedikit iri padanya.

Lalu, aku pun berpisah dengan Nadla di perempatan berikutnya.

Tak kusangka, tempat yang biasa aku pakai untuk bernaung— menjauhi mereka— adalah tempat mengerikan dimana legenda-legenda dunia nyata hidup. Aku tak pernah memikirkannya, tapi kini hal tersebut terlintas dalam benakku. Misteri apa yang menanti untukku temukan?

...****************...

Pagi merekah, sinar mentari memeluk hangat penduduk yang melebihi 8 milyar jumlahnya ini. Teman-temanku merasakan pelukannya, sementara aku malah sakit dibuatnya. Mata ini tak ingin melihat cahaya, inginnya tenggelam dalam kegelapan.

Tadi malam aku segera menyelesaikan rangkuman sejarah, tapi kata-kata yang kubaca membuat tidurku menjadi lebih sulit. Setiap ada kata Belanda, bayangan pintu berjumlah seribu dan korban kekejaman Jepang itupun terus menghantui pikiranku. Aku tak bisa tidur lelap karenanya.

Pandanganku tertutupi oleh layar hitam. "Coba tebak siapa gua?"

"Pasti si kanjeng ratu Sally."

"Benar sekali!" Sally menurunkan tangannya dari mataku. Pemandangan kota tercinta kembali datang, dan wajah ceria sang kanjeng ratu muncul dari sisi kiriku. "Ay, Wajahmu agak suram. Semalem ngapain aja? Kenapa?!"

"Hanya tidak bisa tidur. Otakku sedikit bermasalah," ucapku suram, menguap kantuk.

"Ada masalah apa, Ay? Tak kusangka kamu bisa mendapat masalah. Apa karena 'itu' lagi?" Sally berdeham, bibirnya berkedut.

"Bukan apa-apa. Aku hanya kesulitan tidur karena takut akan nenek lampir mampir ke dalam tidurku."

"Gua kira kamu tidak bisa tidur karena memikirkan si dia. Eh? Eh? Jangan tinggalkan aku! Dengarkanlah gua hey!"

"Sampai jumpa di kelas," ucapku dingin, pada trotoar.

"Jan jahat gitu!" Sally berlari. "Tungguin gua dong!"

Rumahku dengan rumah Sally tidak berjauhan. Kadang kala aku berangkat diantarnya kalau aku berangkat agak siang tentunya. Kanjeng ratu biasa datang membawa motor scoopy. Dia biasa berhenti depanku untuk membuka kaca helm fullface agar terlihat keren.

Kuakui, auranya berasa seperti Dilan versi perempuan. Tapi keseringannya Dilan versi perempuan ini menyimpan helm dan motornya untuk berjalan kaki persis seperti sekarang.

Perjalanan ke sekolah kali ini sama sepinya ketika aku berangkat sendirian. Sally tidak banyak omong pagi ini. Asal kalian tau, kanjeng ratu selalu banyak ucap. Kalau hatinya sedang penuh bunga-bunga, dia selalu bercerita gebetan barunya yang setampan Hendery WayV, Kim Soo Hyun, atau Ezra Hivi!. Katanya dia bertemu sang buah hati ketika dilanda musibah. Lalu sang pangeran mengulurkan tangan untuk membantunya.

Aku meragukan cerita itu. Terlalu indah untuk dunia nyata, lebih seperti kisah romansa pada novel-novel. Sally memang pemimpi, biarkan saja dia begitu.

Sally berhenti. "Siapa gadis itu btw? Kamu mengenalnya?"

"Gadis ma—"

"Prontagonis!!!" Nadla melambai di depan pagar sekolah. Kali ini rambutnya terlihat, dikucir kuda. "Bagaimana hari kemarin? Seru bukan? Apa kau ingin menjelajahi tempat baru? Eh napa wajahmu kelihatan lelah banget."

"Tentu aku letih. Dan apa yang kau katakan sebelumnya, aku tak mengerti semua itu."

"Jangan malu-malu, bisa kulihat wajah ceriamu yang menantikan petualangan seru." Villain Marvel menyiku lenganku.

"Petualangan katamu? Petualangan apa? Aku tak diajak! Jelaskan padaku!" Sally tidak mau ketinggalan.

"Sepertinya engkau salah dengar Sally, gadis di depanmu itu pendusta. Ayo pergi."

Aku memalingkan pandang kemudian menarik tangan Sally agar lekas pergi. Tapi si Gadis Antagonis malah melingkarkan lengannya padaku. Aku jadi terpaksa mendengarkan ocehannya. Sialnya juga, mata orang-orang tertuju pada kami yang membuat bising koridor. Terdapat satu pasang mata yang menatap dalam-dalam, menghunjam seperti pedang valyria dari dunia buatan kakek Martin.

Bel berdering nyaring, tanda jam pertama dimulai.

"Oh jadi kamu murid baru itu ya, tak habis fikri aku." Sally menjatuhkan tas gandongnya ke atas meja, berderak-derak suaranya. "Maaf siapa namamu tadi?"

"Aku Nadla si Gadis Antagonis siap melayani." Nadla berseru, membungkuk seperti orang Jepang.

Tas mendarat di atas meja. Aku menghela napas. Tolonglah, kamu ini memalukan sekali Nadla, pembaca nanti akan menghujat. Tokoh sepertimu terlalu mencolok.

"Ada urusan apa villain marvel?"

"Hanya menyapa salam!"

"Menyapa salam sudah selesai." Aku berkata kecut; Sepasang mata tertuju padaku, asalnya dari lelaki yang bernama Salam. "Dan sekarang Pergilah sana, tempatmu bukan di sini. Salam juga tidak menginginkanmu."

"Aing punya telinga loh Sekretaris," celetuk Salam di dua bangku belakangku.

Kutatap lelaki bertubuh tentara itu dengan tatapan mencela. Salam berdeham.

"Biarkan aku sendiri, aku lelah." Aku menaruh pipi di atas kedua tanganku yang terlipat di atas meja.

Bukannya sadar diri, Nadla malah mendekati kanjeng ratu, berbisik sesuatu padanya. Aku bangkit, tak mau kudapati dua persekongkolan tengah merencanakan sesuatu yang diluar nurul dan tak habis fikri. Harus segera kuhentikan sebelum negara api menyerang.

"Sally!"

"Ot, sebentar, aku ada pembicaraan serius!"

"Baiklah, kalau kamu begitu. Aku tak akan mengerjakan pekerjaan rumahmu lagi! Apalagi memberi—"

"Siap!" punggung Sally langsung berdiri. "Gue akan jauh-jauh dari dia!" Dia duduk di bangkunya. "Tempat duduk ini untuk gue! Siapa pun yang mau menemui sahabatku harus melewati gerbang neraka dulu!" Sally menyilangkan kaki di atas kursi. "Hey loe murid baru! Pergi ke tempat duduk lo sana! Dan loe juga Zoya!"

Si konyol Zoya terperanjat mendapati telunjuk Sally mengarah pada hidungnya. "Maaf kanjeng ratu! Hamba akan segera pergi!" Zoya melenggang pergi.

"Sampai jumpa di Sisi Lain," ungkap Nadla setelahnya. "Dan dah Salam!"

Salam membalas lambaian tangan Nadla.

Aku menghela napas dalam. Sepertinya lebih baik aku tak hiraukan saja dia. Anggap saja dia sebagai angin berlalu atau radio butut. Namanya saja Gadis Antagonis. Semakin ditanggapi, semakin menjadi-jadi.

Kelas pun berlangsung seperti biasa. Kali ini yang duduk di sampingku adalah Sally, sungguh lega karena kelas Bu Olan sangat membuat bulu kuduk berdiri. Ucapan "selamat pagi" beliau bagaikan "selamat datang di neraka". Tapi, tatapan menghunjam itu masih menghantuiku. Tatapan serupa yang kualami tadi sewaktu berjalan menuju kelas.

...****************...

Hari ini aku sengaja mencari tempat menyendiri. Lantai lima yang baru dibangun di gedung ujung sekolah cocok dijadikan tempat bernaung. Aku memilihnya karena satu-satunya jalan menuju sana hanya tangga semen yang berdebu. Tempat bernaung yang cocok untuk mengungkap penguntit.

Lega rasanya, tatapan menghunjam itu hilang.

"Oh kamu disini rupanya!" kepala Nadla mencuat dari lobang tangga.

"Kau lagi, kau lagi! Tidak bisakah biarkan hidupku tentram sehari saja?" dengusku jengkel.

"Aku kan gadis antagonis, menyulitkan tokoh utama adalah tugasku!" Nadla memberikan senyuman menyindir. Sementara aku memberikan tatapan mencela.

"Kamu memang curang Villain Marvel." Aku mendesah. "Kubiarkan kali ini saja, asalkan kau tidak berkicau-kicau tak jelas."

Segera kuhabiskan kwetiaw Mamang Ade yang susah payah dibawa ke lantai lima gedung berdebu ini. Rasanya masih enak, meski sudah tidak hangat. Nadla membawa jajanannya juga ke atas sini. Mie goreng dibungkus plastik.

Wajah usil Nadla menoleh padaku.

"Ada yang lucu?"

"Hari ini aku akan menjelajahi tempat baru di dunia Sisi Lain, kamu mau ikut? Aku ingin melihat misteri aneh di Lawang Sewu!"

"Sudah kubilang untuk tidak berisik." Sumpit menjepit sejumpun kwetiaw. "Dan tidak, seribu tidak untukmu! Sangat berbahaya!" Ketusku setelah menghabiskan dulu sesuap kwetiaw.

"Boleh kutahu alasannya?"

"Lawang sewu bukanlah tempat biasa. Banyak keganjilan di sana." Aku mengambil napas dalam. "Kita bisa saja datang sesuka kita mau, tapi kita tidak bisa kembali. Beruntung kita bisa kembali."

"Seperti Hotel California."

"Aku tidak mengatakannya begitu tapi kau paham maksudku bukan? Seharusnya kau mengerti yang kita temui di sana bukanlah teman bermain biasa, melainkan Yoma kelas atas."

"Hmmm, benar juga, lawan kita bukan Yoma biasa. Lebih berbahaya dan lebih banyak dari yang bisa kita lawan. Butuh pasukan untuk menembus seribu pintu misterius dan menemukan misteri dibaliknya." Nadla memandang langit yang diisi ukiran kapas lembut. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu ingin-inginnya menghabiskan waktu istirahat di sini?"

Aku hampir menyemburkan isi mulutku. "Mengenai itu. Sejak tadi pagi ada orang yang terus mengikutiku. Sewaktu di koridor, lapang sekolah, kantin, juga kelas. Jadi aku berniat mencari tempat aman. Di sinilah yang kutemukan."

"Heee, begitu ya." Nadla berpikir keras, menyeringai licik. Wajahnya mendekat.

Aku menjaga jarak.

Oh tolonglah jangan berpikir yang tidak-tidak. Jangan buat pembaca salah paham.

"Apa mungkin itu stalker? Kamu pasti punya fans bukan? Tokoh utama mana yang tidak memiliki fans? coba spill!" mata Nadla nanar menatapku.

"Kau salah paham. Tatapannya saja membuatku gugup."

"Aku mencium dusta dalam kata-katamu."

"Aku bukan pendusta. Dan tidak mungkin ada yang ngefans padaku. Singkirkanlah pemikiran nyentrikmu Villain Marvel."

Nadla menyeringai licik. "Prontagonis jadi kalap gini, sudah jelas dong karna si doi ini mah."

"Jam istirahat hampir usai oke? aku mau beli minum dulu dah villain marvel!" ucapku kecut, meninggalkan Nadla sendirian.

Bel mengalun nyaring. Jam pelajaran PKK menanti. Aku berjalan cepat menyusuri koridor. Dan tatapan menghunjam itu kembali menghantuiku. Seharian penuh. Di kelas, di toilet khusus prontagonis, di gerbang sekolah, bahkan sampai di perjalanan pulang. Aku menoleh ke belakang, mengerling seantero jalan, tapi tidak ada yang mencurigakan.

Terpaksa hari ini aku tidak ke Sisi Lain. Sudah cukup satu orang saja yang mengetahui tempat rahasiaku. Tak boleh ada orang lain yang merusak tempat rahasiaku. Begitu kupikir. Oh naifnya diriku. Rupanya sudah ada orang ketiga yang mengetahui tempat rahasia yang selama ini kupendam. Dan dia bukanlah orang yang cocok untuk diajak kompromi.

Esok harinya, ketika aku sengaja datang pagi sekali dan tidak ada siapa-siapa di kelas, penguntit itu barulah menampakan dirinya. Dia orang yang sangat ingin aku hindari.

Langkah mantap memasuki kelas X MIPA 11. Aku yang kala itu mengenakan headphone terpaksa dibuat penasaran olehnya. Kepalaku terangkat dari lipatan tangan di atas meja. Lelaki berkacamata itu menghampiriku.

"Kau percaya hantu?" tanya Antara sembari membanting tangan ke atas meja.

"Eh?"

"Beritahu aku rahasia dunia otherworldmu!" Kacamata kotaknya meluncur turun dari pangkal hidung.

Ya, duniaku akan sangat berbeda sekarang. Antara, lelaki strata paling rendah dalam hirarki anak lelaki di sekolah, seorang pemuda paling jenius yang IQ-nya diluar nalar manusia. Berdebat dengan guru atau tembok bila perlu. Lelaki ini jenius tidak main. Orang-orang menyebut beliau si Ilmuwan Gila. Dan sialnya, dia tahu rahasiaku tentang Sisi Lain.

Terpopuler

Comments

story

story

sejumpun apa sejumput?

2024-10-22

0

Katsumi

Katsumi

Jenius dan Gila hampir sulit untuk dibedakan😅

2024-02-26

1

Katsumi

Katsumi

entah kenapa aku ngerasa feelnya kayak main grany house😅

2024-02-26

1

lihat semua
Episodes
1 Chapter 1 - It's My Life
2 Chapter 2 - Rocky Mountain High
3 Chapter 3 - Begadang
4 Chapter 4 - Hotel California
5 Chapter 5 - Heartbeat
6 Chapter 6 - Paradise
7 Chapter 7 - Counting Stars
8 Chapter 8 - Up&up (Bagian Satu)
9 Chapter 8 - Up&up (Bagian dua)
10 Chapter 8 - Up&up (Bagian tiga)
11 Chapter 9 - Daylight (Bagian Satu)
12 Chapter 9 - Daylight (Bagian Dua)
13 Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Satu)
14 Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Dua)
15 Chapter 11 - Dynamite (Bagian Satu)
16 Chapter 11 - Dynamite (Bagian Dua)
17 Chapter 11 - Dynamite (Bagian Tiga)
18 Chapter 12 - Jangan (Bagian Satu)
19 Chapter 12 - Jangan (Bagian Dua)
20 Chapter 12 - Jangan (Bagian Tiga)
21 Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Satu)
22 Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Dua)
23 Chapter 14 - Hotel California (Bagian Satu)
24 Chapter 14 - Hotel California (Bagian Dua)
25 Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Satu)
26 Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Dua)
27 Chapter 16 - Let It Be
28 Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Satu)
29 Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Dua)
30 Chapter 18 - Jailhouse Rock
31 Chapter 19 - Give Love (Bagian Satu)
32 Chapter 19 - Give Love (Bagian Dua)
33 Chapter 20 - Sweet Victory
34 Chapter 21 - Otherside
35 Chapter 22 - Faded
36 Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Satu)
37 Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Dua)
38 Chapter 24 - Iridescent
39 Chapter 25 - Do You Hear The People Sing?
40 Chapter 26 - Kereta Kencan
41 Chapter 27 - Pudar (Bagian Satu)
42 Chapter 27 - Pudar (Bagian Dua)
43 Chapter 28 - Pilihanku
44 Chapter 29
45 Chapter 30 - Broken Angel
46 Chapter 31 - Aw Aw Aw
47 Chapter 32 - From Now On (Bagian Satu)
48 Chapter 32 - From Now On (Bagian Dua)
49 Chapter 33 - Page of Life In My Story
50 Chapter 34 - Dreamhigh
51 Chapter 35 - Hymn For Weekend
52 Chapter 36 - Stand By You
53 Chapter 37 - Tanpa Tergesa
54 Chapter 38 - 17才 (Bagian Satu)
55 Chapter 38 - 17才 (Bagian Dua)
56 Chapter 39 - In The End (Bagian Satu)
57 Chapter 39 - In The End (Bagian Dua)
58 Chapter 39 - In The End (Bagian Tiga)
59 Chapter 39 - In The End (Bagian Empat)
60 Chapter 40 - The End Run
61 Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Satu)
62 Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Dua)
63 Chapter 42 - Let Her Go
64 Chapter 43 - Sampai Jumpa
65 Epilog
66 Prolog
67 Akhir Kata
68 Side Story 1: Prontagonis/Sekretaris
69 Pengumuman Update
Episodes

Updated 69 Episodes

1
Chapter 1 - It's My Life
2
Chapter 2 - Rocky Mountain High
3
Chapter 3 - Begadang
4
Chapter 4 - Hotel California
5
Chapter 5 - Heartbeat
6
Chapter 6 - Paradise
7
Chapter 7 - Counting Stars
8
Chapter 8 - Up&up (Bagian Satu)
9
Chapter 8 - Up&up (Bagian dua)
10
Chapter 8 - Up&up (Bagian tiga)
11
Chapter 9 - Daylight (Bagian Satu)
12
Chapter 9 - Daylight (Bagian Dua)
13
Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Satu)
14
Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Dua)
15
Chapter 11 - Dynamite (Bagian Satu)
16
Chapter 11 - Dynamite (Bagian Dua)
17
Chapter 11 - Dynamite (Bagian Tiga)
18
Chapter 12 - Jangan (Bagian Satu)
19
Chapter 12 - Jangan (Bagian Dua)
20
Chapter 12 - Jangan (Bagian Tiga)
21
Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Satu)
22
Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Dua)
23
Chapter 14 - Hotel California (Bagian Satu)
24
Chapter 14 - Hotel California (Bagian Dua)
25
Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Satu)
26
Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Dua)
27
Chapter 16 - Let It Be
28
Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Satu)
29
Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Dua)
30
Chapter 18 - Jailhouse Rock
31
Chapter 19 - Give Love (Bagian Satu)
32
Chapter 19 - Give Love (Bagian Dua)
33
Chapter 20 - Sweet Victory
34
Chapter 21 - Otherside
35
Chapter 22 - Faded
36
Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Satu)
37
Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Dua)
38
Chapter 24 - Iridescent
39
Chapter 25 - Do You Hear The People Sing?
40
Chapter 26 - Kereta Kencan
41
Chapter 27 - Pudar (Bagian Satu)
42
Chapter 27 - Pudar (Bagian Dua)
43
Chapter 28 - Pilihanku
44
Chapter 29
45
Chapter 30 - Broken Angel
46
Chapter 31 - Aw Aw Aw
47
Chapter 32 - From Now On (Bagian Satu)
48
Chapter 32 - From Now On (Bagian Dua)
49
Chapter 33 - Page of Life In My Story
50
Chapter 34 - Dreamhigh
51
Chapter 35 - Hymn For Weekend
52
Chapter 36 - Stand By You
53
Chapter 37 - Tanpa Tergesa
54
Chapter 38 - 17才 (Bagian Satu)
55
Chapter 38 - 17才 (Bagian Dua)
56
Chapter 39 - In The End (Bagian Satu)
57
Chapter 39 - In The End (Bagian Dua)
58
Chapter 39 - In The End (Bagian Tiga)
59
Chapter 39 - In The End (Bagian Empat)
60
Chapter 40 - The End Run
61
Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Satu)
62
Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Dua)
63
Chapter 42 - Let Her Go
64
Chapter 43 - Sampai Jumpa
65
Epilog
66
Prolog
67
Akhir Kata
68
Side Story 1: Prontagonis/Sekretaris
69
Pengumuman Update

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!