Chapter 3 - Begadang

Aku tak pernah mengira hari semacam ini akan datang. Saling bertukar pesan lewat buku catatan selagi Pak Roro sibuk menerangkan di depan kelas.

Sampul plastik bergesek halus dengan meja. Buku tulis itu diangsurkan oleh pemiliknya agar sang Prontagonis dapat membaca pesan yang ingin disampaikan. Ingin berburu Yoma lagi? tertulis miring di bawah y\=x². Aku mengembalikan pandanganku pada papan tulis penuh angka, tuan x, dan tuan y. Mengedarkan pandang seperti seorang maling. Aman atau tidak.

Tanganku menari di atas secarik kertas, menuliskan deretan karakter yang membentuk suatu kalimat kasar. Tidak! seribu tidak! Kuangsurkan kertas bertuliskan itu. Pena kembali ke tempat semula, menulis solusi persamaan yang diberikan Pak Roro di depan kelas.

Buku bergaris-garis kembali mengganggu, kini dengan tulisan indah dalam bentukan melengkung-lengkung. Mengapa pakai huruf sambung? Aku menghela napas dalam. Begini tulisan yang semakin mendekat itu. Kalau begitu temani aku jelajahi Sisi Lain.

Tidak! seribu tidak! Begitu balasannku, ditambah gambar emotikon marah di bawahnya.

Nadla menyeringai. Dia sibuk menulis. Sementara itu, di depan kelas Pak Roro mengetuk papan tulis.

"Yang sana, selesaikan soal nomor 2 di depan," sahut guru matematika kami. Beliau menunjuk si buaya darat Mahendra.

Mahendra si buaya kelas, lelaki sembrono itu bergerak anggun ke depan. Memamerkan rambut panjangnya agar dewi-dewi kelas memperhatikannya. Atau lebih tepatnya supaya para gadis membantunya memberi contekan untuknya, sebagai balasan menunjukkan wajah tampan itu. Ada seorang dewi kelas mengangguk padanya.

Nadla tetap berkeras, buku bergaris-garis kembali berulah. Sekarang tertera tulisan cukup panjang. Intinya sama, yaitu mengajakku untuk menemaninya di Sisi Lain. Tetap aku menolak dengan kata-kata yang kurang lebih sama. Tidak!

Suara langkah kaki pak Roro menakuti jiwaku yang sedang tak menghadiri kelasnya. Pak Roro melintas di sampingku.

Senyuman jahat pasti sedang merekah. Aku menyaksikan si Gadis Antagonis menulis.

Setidaknya temani aku di Sisi Lain. Sendirian mengelana dunia tak berhingga adalah suatu kesengsaraan. Benar bukan?

Jawabannya tetap sama. Tidak, tetaplah tidak.

Halaman buku bergaris-garis itu dibalik. Alasannya?Tertulis pada baris pertama halaman baru.

Alasan? Tidak perlu alasan. Aku hanya tak ingin Nadla menggangguku, apalagi menghancurkan kesenangan satu-satunya yang aku miliki.

Aku membalas suratnya. Tidak efisien bersamamu. Lebih baik aku sendiri daripada bersama Gadis Antagonis.

Aku berharap dengan jawaban kasar itu dapat mengurungkan niat gadis antagonis menyeretku dalam masalahnya. Tapi dunia tidak berjalan seperti yang aku inginkan. Pesan demi pesan menghampiri tangan kiriku.

Tidak efisien? Kenapa? Bersama lebih baik daripada seorang diri.

Di anime, villain selalu kalah oleh tokoh utama dan teman-temannya. Bukan tokoh utama seorang.

Uzumaki pemilik rubah ekor sembilan menjadi hokage karena teman-temannya.

Hello?

Beritahu alasanmu!

Hey?

Aku memalingkan pandangan dengan sombong. Tapi entah mengapa si Gadis Antagonis malah mendapat pencerahan, seakan baru mendapatkan pesan dari yang maha kuasa. Dia memberikan kertas baru.

Oh aku mengerti! Kau tak ingin aku mengganggumu nilai matematikamu bukan?

"Tidak!" aku berteriak selantang-lantangnya yang tenggorokkanku bisa tahan. Suaraku menggema ke seantero kelas. Sangat keras hingga semua mata mengarah padaku. Nadla si gadis antagonis, Mahendra si buaya yang tengah dihukum di depan kelas, kacamata kotak Antara, wajah dingin Anje, teman-teman kelasku lain yang sibuk menulis, dan juga sialnya Pak Roro.

...****************...

Dunia seakan mengejekku. Lidah-lidah api menari dibawah panci. Aku merasakan tarian mengejek si jago merah padaku. Apalagi tawa Nadla yang membahana. Suaranya bisa-bisa menggetarkan darahku yang semakin naik.

"Kau lucu sekali. Perutku sampai sakit begini, oh tolonglah." Cekikikan benar dirinya, mirip sekali gadis antagonis perfilman sinetron emak-emak.

"Ini gara-garamu," ucapku berang.

Aku tak akan melupakan kejadian itu sungguh! Memalukan! Tapi Nadla berpikiran lain. Peristiwa menggetarkan kelas tadi adalah hal yang bagus, sebuah keberuntungan karena ada kesempatan menyombongkan diri.

Ketika aku kepergok tidak mendengarkan Pak Roro–mengobrol lewat buku bergaris—hukumannya sama seperti hukuman mendidik untuk anak yang tak pernah mengerjakan PR. Aku dititah mengerjakan soal rumit nan ruyam di depan kelas. Melirik kecil ke samping berarti mendapatkan nasehat berupa ceramah yang mengejek. Begitulah Pak Roro

"Tapi hebatloh kamu ini." Cekikikannya berhenti. Nadlah menarik napas. "Tidak memperhatikan Pak Roro tapi bisa menjawab soal yang bahkan Einstein sendiri tidak bisa."

"Hiperbola bukan kesukaanku."

"Hiperbola justru bagus, karena dibutuhkan hal berlebihan agar sebuah cerita menjadi menarik bukan?" Nadla memberikan seringai usilnya. "Dan memberikan sebuah kehidupan pada kata-kata di layar ponsel."

Aku menghela napas dalam. Kusambar pentungan besi. "Yoma kali ini sekuat apa?"

"Entah, aku baru masuk ke wilayah sini, beberapa tempat masih asing bagiku. Bila beruntung kita bisa menemukan makhluk kerdil botak tapi membawa banyak uang." Nadla bangkit dari duduknya, dia juga mempersiapkan senjata ekspedisi kali ini. Glock. "Cepat sekali berubah pikiran."

"Aku membutuhkan sesuatu untuk dipukul, kecuali kalau kamu ingin aku permak wajahmu dengan pentungan."

Ya, rasanya ingin sekali aku melepaskan kekesalan dengan memukul sesuatu hingga hancur. Yoma tak masalah, apalagi Gadis Antagonis. Tapi aku lebih memilih Yoma karena lebih sastifiying.

Kami melintasi padang perdu yang tak kunjung berhenti. Cukup lama baru bisa melihat bangunan lain selain tenda peristirahatan. Di sana, jauh ke sebelah selatan. Bangunan putih mulus yang tersinari matahari asing nan ajaib dunia Sisi Lain. Sedikit naik turun bukit tak masalah bagi diriku selagi Gadis Antagonis tidak membuat masalah.

Nadla menyeringai padaku. "Biar perjalanan lebih menarik, ayo berbincang. Tanyakan padaku apa saja!"

"Kenapa kau menggangguku?"

"Karena kau satu-satunya yang mengetahui Sisi Lain."

"Bukan jawaban yang kuharapkan."

"Tanyakan yang lain kalau begitu." Nadla meneguk air mineral.

"Kelihatannya kau sudah kenal lama dunia ini. Darimana kau mengetahuinya?"

"Ketidaksengajaan. Mirip sepertimu," ungkapnya berbangga. "Aku menemukan satu portal di dalam gua tua. Sewaktu hendak kembali, aku malah menuju Sisi Lain. Dari sana aku sadar ternyata ada portal semacam itu di dunia nyata."

"Maksudmu terdapat banyak portal menuju Sisi Lain?"

"Iya tapi kebanyakan tersembunyi pada tempat yang tidak pernah kau bayangkan." Nadla melingkarkan tangan padaku. Berbisik. "Portal yang kugunakan berada di bawah kolong jembatan."

"Jaga jarakmu! Menjijikkan!"

Nadla menyeringai jahat. "Bukan kolong jembatan bayanganmu."

Aku mendorongnya menjauh. Tidak sepatutnya aku bertanya padanya. Maka perjalanan menjadi agak sunyi, hanya desir dan suara sayup-sayup dari Ilham Aditama dan Febrian Nidyo sedang bernyanyi Lihatlah Dunia lewat speaker headphoneku.

Bangunan itu dari kejauhan sangat kecil terlihat, bagai rumah-rumahan lego. Langkah-demi langkah berlalu dan bangunan itu masih putih polos juga kecil. Mata ini sepertinya menipu. Kami bergerak beberapa kilometer lagi dan bangunan bercat putih masih tetap sekecil rumah-rumahan lego. Aku menoleh ke belakang, tenda peristirahatan sudah tidak terlihat. Jejak langkah kami mengular dari bukit ke bukit tapi mengapa bangunan sepucat susu itu tidak kunjung mendekat.

Wajahku bersimbah keringat. Nadla juga demikian letihnya.

"Apa yang kita tuju?"

"Bangunan putih disana tentunya. Rumah milik juragan belanda dulu. Ada beberapa legenda hidup disana, uang juga emas melimpah kalau kita beruntung." Nadla meneguk habis botol minum perbekalan bersisa sedikit itu. "Seharusnya tidak sejauh ini."

"Kita kehabisan perbekalan, aku tak ingin mati kehausan. Melawan Yoma, pasti membutuhkan energi yang banyak."

"Salahkan dirimu, aku bilang tadi untuk membawa satu galon air minum. Dunia ini kadang berubah-ubah."

Puk! Pentungan jatuh di kepala Gadis Antagonis. Satu galon air? Mana mungkin aku mau membawa beban seberat itu dalam perjalanan jauh? Aku jadi meragukan bagaimana Nadla bisa melintasi dataran Sisi Lain sendirian.

"Kita bergerak lagi, jangan sampai langit berubah gelap."

"Bagaimana kalau kita ke arah barat? Ada desa kecil di sana," aku menunjuk pada desa terpencil di tengah hamparan rumput yang membentang. Aneh, tempat itu tadinya hanya lekukan saja bukan desa.

"Desa kecil?" Nadla terdiam sejenak. "Persiapkan pentunganmu. Bisa saja di desa sana penduduknya menolak kita atau terdapat Yoma."

Kami berjalan menuruni bukit, kemudian merangkak menaiki bukit lagi. Pelbagai pikiran negatif menguasai kepalaku. Langkah rasanya semakin berat. Ini gawat. Feeling bertahan hidupku mulai bermain. Ada yang tak beres di sini.

Nadla bingung tidak kepayang. Dia saja yang sudah cukup lama mengarungi Sisi Lain kebingungan, apalagi diriku yang baru saja tempo lalu mengetahui keberadaan Yoma.

Tempat ini seperti desa kecil pada umumnya. Desa pedalaman, masih asri tidak terpapar teknologi. Mirip Jakarta tempo doeloe pada film abu-abu. Bagai kembali ke tahun 60-an dimana partai merah masih keluyuran bebas.

Terdapat sumur di tengah desa tersebut. Rumah angker membentang di sisinya.

Aku celingak celinguk menatapi kosongnya rumah-rumah warga. Nadla entah bagaimana tertarik pada rumah angker terbesar di desa. Namun, yang menarik perhatianku saat ini adalah sumur di depannya. Jujur saja, aku haus.

Langkah ringan mendekat. Aku melongok ke dalam sumur yang rupanya bukan diisi air.

Pikiranku kosong, sekosong-kosongnya luar angkasa yang hampa. Aku terjerembab jatuh. Rasanya jantung seperti berayun ayun bagai samsak tinju. Makhluk itu cekikikan, lincah keluar dari lobang sumur yang hanya bisa dimasuki satu orang dewasa. Warna kulitnya hijau, matanya merah, dan kepalanya botak!

Wutth! Angin berhembus di telingaku. Sial dia ternyata bersaudara! Membawa pasukan serupa botaknya.

"Nadla mereka datang padamu!" teriakku sembari menjejalkan pijakan untuk melompat dan melayangkan serangan pentungan besi pada si bocil kepala botak sebelum beliau dapat membawa kabur ponselku.

Kepala botak itu bolong. Nadla dengan sigap melepaskan timah panas pada kepalanya. Tapi sial saudara-saudara si botak ternyata banyak sekali! Mereka melompat, berlarian di antara kaki lalu beberapa mengambil barang berhargaku! Tas, senter ,kamera, mp3 player, dan headphoneku

Nadla berkeras mempertahankan tas gandongnya tapi tentu tidak sebanding dengan kekuatan saudara-saudara botak yang jumlahnya berjibun.

Mereka melompat girang, berseru dan mengejek kami. Dalam keadaan tengkurap aku menyaksikan mereka mengangkat tas dan headphone seperti sebuah piala.

"Headphoneku!" itulah yang bisa kulakukan saat ini. Berteriak memanggil-manggil barang-barang kami agar bisa kembali.

Nadla duduk membeku. Kami terkalahkan. Glock si Gadis Antagonis raib dicuri, ransel berisikan peta, senter dan barang-barang berhargaku juga hilang dibawa mereka.

"Masih lebih baik daripada tikus negara," ujarku getir. Ya mereka mengambil semua barang berharga kami, tapi tetap menyisakan senjata untuk membunuh mereka balik. Masih terhormat karena memberikan kesempatan kedua."Apa sekarang?"

"Tidak ada. Senjataku raib kecuali pisah kecil ini. Melawan rasanya percuma saja, mereka terlalu banyak." Nadla mengeluarkan pisau dapur yang disarungkan pada kayu tua.

Aku menghela napas dalam. Aku tidak ingin semua berakhir buruk. Tidak, tidak boleh begini. Pemirsa juga pasti tidak ingin tokoh utama kesayangannya kalah begitu saja tanpa perlawanan.

Cepat pikirkan sesuatu untuk lolos dari lobang kelinci ini. Pasti ada semacam trik untuk mengalahkan tuyul-tuyul bersaudara. Pentungan dan pisau saja tidak mungkin berguna, kami akan kalah lagi kalau hanya mengandalkan dua alat itu. Disini desa terpencil, sesuatu pasti bisa berguna. Yang kulihat di sini hanya rumah-rumah bobrok, peralatan dapur penuh karat, dan sejumpun hutan bambu. Tunggu, hutan bambu?

"Beritahu padaku bagaimana hukum dunia di Sisi Lain, aku ingin tahu bagaimana caranya mati di Sisi Lain," ucapku penuh harap pada Nadla Si Gadis Antagonis.

"Apa-apaan itu?"

"Lihat saja sekelilingmu, desa samping hutan bambu. Bisa jadi kita bertemu Yoma lain yang bahkan tingkatannya lebih tinggi daripada tuyul kepala botak. Kakekku selalu melarang untuk berkeliaran malam hari terlebih dekat hutan bambu karena ad—."

"Justru itu hal yang bagus!"

"Eh?"

Aku tak mengerti bagaimana cara kerja kepala sang Gadis Antagonis. Matanya, selalu bersinar meski dalam kondisi melarat. Dunia seakan tunduk pada pilihannya. Aku bisa menebak apa yang akan dilakukan Nadla. Sebuah ide brilian dan sinting. Coba tebak, apa yang direncanakan beliau?

Nadla berlari menuju salah satu pasak, menyambar apapun peralatan dapur yang berdentang ketika dipukul. Ketel dan panci. Lalu melemparkan kuali dan sendok sup padaku. Dia lalu berlari menuju salah satu rumah, kembali dengan membawa cermin lonjong yang ditutup kain beludru.

"Kita buat pertunjukkan, agar bocah-bocah itu datang kemari lalu sesudahnya, boom! kita bakar habis mereka!"

Untuk kalian yang tidak mengerti, ingatlah perkataan Nadla yang lalu. Yoma adalah jelmaan mitos dan cerita rakyat yang menjadi nyata akibat rasa takut manusia. Benar, tuyul-tuyul ini adalah kenyataan yang tercipta dari salah satu cerita rakyat. Lihat sekelilingmu. Desa kecil dengan satu bangunan muram yang megah, beda kelas dengan rumah warga yang lain. Seperti rakyat dan pejabat wakanda, ada kesenjangan sosial. Sejumlah 13 tuyul berkeliaran di seantero desa. Bisa disimpulkan bahwa tempat ini tercipta dari cerita rakyat mengenai sekeluarga tajir yang memelihara tuyul dengan bayaran janin-janin para ibu di desa. Aku tak sengaja pernah membacanya dulu.

Bila begitu, tuyul yang kami lawan memiliki kelemahan yang sama dengan mitos yang menghidupkan mereka! Cermin dan permainan adalah kelemahan tuyul, bocah-bocah kepala botak itu.

Berdentang dentang suara perabotan yang ditempa oleh si jagoan Nadla. Dengan heboh dan penuh percaya diri, beliau menyenandungkan lagu syahdu lelaki kribo dari ibukota, begadang. Aku juga ikut memainkan peran dalam membuat simfoni ini menjadi lebih terdengar bagai permainan sirkus. Tujuan kelakuan nyentrik kami adalah untuk memancing para tuyul bersaudara datang bermain bersama kami. Lalu ketika mereka lengah, kami keluarkan senjata andalan kami. Cermin lonjong dan bawang putih sebagai senjata cadangan.

Aku tak ingin menjelaskan detail kelakuan konyol kami. Yang jelas, setelah habis lagu sayang dari pedangdut cantik, berlarianlah keluar dari kegelapan berjibun anak-anak hijau yang bersinar kepala mereka ditempa matahari. Mereka melompat girang dan beberapa menari tak jelas seperti Ken Arok. Dan dalam detik penentuan, aku memutar tangan setengah lingkaran. Kain beludru terjatuh, wajah-wajah buruk rupa bocah-bocah muncul pada permukaan cermin.

Tidak menurunkan tempo, aku menjejelkan pijakan lalu melayangkan pukulan Homerun kepada batok kepala tuyul terdekat dengan cermin. Satu terhempas jauh. Dua lagi jatuh sempoyongan kena seranganku berikutnya. Satu berusaha melawan dengan melompat pada punggungku. Tapi naasnya dia tak dapat meraih bahuku karena Nadla melemparkan panci ke kepalanya.

Tas berisikan buku dan makanan jatuh di atas tanah berumput. Satu lagi bocah botak terkalahkan, dia kepanasan menerima bawang yang aku lempar. Dalam kekacauan, kami berdua berhasil mengalahkan hama-hama ini. Ada perlawanan sengit tentunya dari para bocah botak, dua pemberani dari mereka berusaha menjatuhkan cermin tapi tangannya sudah lebih dulu terbakar dan wajahnya memelas karena kebencian terhadap buruknya wajah dia sendiri di cermin.

Nadla berteriak penuh kemenangan. Tuyul-tuyul tersisa mulai kocar kacir. Nadla berhasil mengalahkan tiga yang kabur. Terimakasih berkat sendok supnya. Sementara aku menghempaskan ke tanah bocah hijau paling besar. Satu saudara yang paling kecil jatuh dalam pijakan Nadla. Dan begitulah akhir cerita seru kami mengalahkan 13 tuyul bersaudara.

Penuh adrenalin seperti film-film action Hollywood.

Aku duduk menjulurkan kaki. Menarik napas yang kuperlukan saat ini.

"Apa yang kita dapatkan dari mereka? item berguna?"

"Sangat, nanti bakalan dapet banyak uangloh kalau semua ditukarkan pada Dagran si saudagar. Tiga juta Rupiah kita bagi dua. "

"Kau simpan saja semua untukmu."

"Tidak perlu uang?" tanya Nadla penasaran, tapi pandangannya menjadi picik ketika aku menggeleng tidak ingin. "Baik, semua untukku kalau kau tak ingin. Aku akan menyimpannya, tidak jadi kutukarkan. Untuk dikoleksi atau sebagai jimat atas keberhasilan kita melawan tuyul bersaudara."

"Apa dengan begitu semua sudah cukup?" aku menunjuk tuyul paling besar yang terbaring tak berdaya menunjukkan perut buncitnya. "Dengan begitu kau tak perlu lagi repot mencari Yoma?"

"Ya, kurang lebih bisa dikatakan begitu. Setidaknya untuk beberapa waktu."

"Baguslah," ucapku dingin. "Jangan pernah datang merusak tempat bermainku lagi."

Jujur saja, sangat-sangat tak ingin aku melihat wajah Villain Nadla di tempat ini. Tempat ini, adalah satu-satunya milikku. Dan Hal yang bagus sekali bila si biang kerok tidak menunjukkan wajahnya padaku di sekolah maupun di Sisi Lain. Tapi dunia ingin aku lebih tersiksa lagi. Atas Nadla di masa depan atau, atau makhluk tinggi dengan payudara panjang menyentuh tanah yang berdiri di sampingku.

Aku terperanjat, terkaget-kaget karena mata nenek tua itu menatap dalam-dalam jiwaku yang ketakutan. Ternyata pertunjukkan nyentrik kami sudah mengunggah selera makan Yoma-yoma di sekitar hutan bambu.

Nadla mengaga seperti ikan koi. Jiwanya seperti hilang dalam kurun waktu beberapa detik lalu kembali dari alam baka untuk memekik keras-keras. "Wewe gombel!"

Ngeri bukan main, aku berlari sebisa kaki ramping ini bisa lakukan. Kemana saja, asalkan tidak dekat-dekat dengan Yoma menjijikkan itu!

Terpopuler

Comments

story

story

Fourth Wall Awareness

2024-09-23

0

story

story

Kenapa gk dispasi.

2024-09-23

0

Katsumi

Katsumi

so bakso

2024-02-22

1

lihat semua
Episodes
1 Chapter 1 - It's My Life
2 Chapter 2 - Rocky Mountain High
3 Chapter 3 - Begadang
4 Chapter 4 - Hotel California
5 Chapter 5 - Heartbeat
6 Chapter 6 - Paradise
7 Chapter 7 - Counting Stars
8 Chapter 8 - Up&up (Bagian Satu)
9 Chapter 8 - Up&up (Bagian dua)
10 Chapter 8 - Up&up (Bagian tiga)
11 Chapter 9 - Daylight (Bagian Satu)
12 Chapter 9 - Daylight (Bagian Dua)
13 Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Satu)
14 Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Dua)
15 Chapter 11 - Dynamite (Bagian Satu)
16 Chapter 11 - Dynamite (Bagian Dua)
17 Chapter 11 - Dynamite (Bagian Tiga)
18 Chapter 12 - Jangan (Bagian Satu)
19 Chapter 12 - Jangan (Bagian Dua)
20 Chapter 12 - Jangan (Bagian Tiga)
21 Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Satu)
22 Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Dua)
23 Chapter 14 - Hotel California (Bagian Satu)
24 Chapter 14 - Hotel California (Bagian Dua)
25 Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Satu)
26 Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Dua)
27 Chapter 16 - Let It Be
28 Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Satu)
29 Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Dua)
30 Chapter 18 - Jailhouse Rock
31 Chapter 19 - Give Love (Bagian Satu)
32 Chapter 19 - Give Love (Bagian Dua)
33 Chapter 20 - Sweet Victory
34 Chapter 21 - Otherside
35 Chapter 22 - Faded
36 Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Satu)
37 Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Dua)
38 Chapter 24 - Iridescent
39 Chapter 25 - Do You Hear The People Sing?
40 Chapter 26 - Kereta Kencan
41 Chapter 27 - Pudar (Bagian Satu)
42 Chapter 27 - Pudar (Bagian Dua)
43 Chapter 28 - Pilihanku
44 Chapter 29
45 Chapter 30 - Broken Angel
46 Chapter 31 - Aw Aw Aw
47 Chapter 32 - From Now On (Bagian Satu)
48 Chapter 32 - From Now On (Bagian Dua)
49 Chapter 33 - Page of Life In My Story
50 Chapter 34 - Dreamhigh
51 Chapter 35 - Hymn For Weekend
52 Chapter 36 - Stand By You
53 Chapter 37 - Tanpa Tergesa
54 Chapter 38 - 17才 (Bagian Satu)
55 Chapter 38 - 17才 (Bagian Dua)
56 Chapter 39 - In The End (Bagian Satu)
57 Chapter 39 - In The End (Bagian Dua)
58 Chapter 39 - In The End (Bagian Tiga)
59 Chapter 39 - In The End (Bagian Empat)
60 Chapter 40 - The End Run
61 Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Satu)
62 Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Dua)
63 Chapter 42 - Let Her Go
64 Chapter 43 - Sampai Jumpa
65 Epilog
66 Prolog
67 Akhir Kata
68 Side Story 1: Prontagonis/Sekretaris
69 Pengumuman Update
Episodes

Updated 69 Episodes

1
Chapter 1 - It's My Life
2
Chapter 2 - Rocky Mountain High
3
Chapter 3 - Begadang
4
Chapter 4 - Hotel California
5
Chapter 5 - Heartbeat
6
Chapter 6 - Paradise
7
Chapter 7 - Counting Stars
8
Chapter 8 - Up&up (Bagian Satu)
9
Chapter 8 - Up&up (Bagian dua)
10
Chapter 8 - Up&up (Bagian tiga)
11
Chapter 9 - Daylight (Bagian Satu)
12
Chapter 9 - Daylight (Bagian Dua)
13
Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Satu)
14
Chapter 10 - Dibalik Hari Ini (Bagian Dua)
15
Chapter 11 - Dynamite (Bagian Satu)
16
Chapter 11 - Dynamite (Bagian Dua)
17
Chapter 11 - Dynamite (Bagian Tiga)
18
Chapter 12 - Jangan (Bagian Satu)
19
Chapter 12 - Jangan (Bagian Dua)
20
Chapter 12 - Jangan (Bagian Tiga)
21
Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Satu)
22
Chapter 13 - Fire With Fire (Bagian Dua)
23
Chapter 14 - Hotel California (Bagian Satu)
24
Chapter 14 - Hotel California (Bagian Dua)
25
Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Satu)
26
Chapter 15 - Bring Me To Life (Bagian Dua)
27
Chapter 16 - Let It Be
28
Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Satu)
29
Chapter 17 - Party Rock Anthem (Bagian Dua)
30
Chapter 18 - Jailhouse Rock
31
Chapter 19 - Give Love (Bagian Satu)
32
Chapter 19 - Give Love (Bagian Dua)
33
Chapter 20 - Sweet Victory
34
Chapter 21 - Otherside
35
Chapter 22 - Faded
36
Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Satu)
37
Chapter 23 - Castle On The Hill (Bagian Dua)
38
Chapter 24 - Iridescent
39
Chapter 25 - Do You Hear The People Sing?
40
Chapter 26 - Kereta Kencan
41
Chapter 27 - Pudar (Bagian Satu)
42
Chapter 27 - Pudar (Bagian Dua)
43
Chapter 28 - Pilihanku
44
Chapter 29
45
Chapter 30 - Broken Angel
46
Chapter 31 - Aw Aw Aw
47
Chapter 32 - From Now On (Bagian Satu)
48
Chapter 32 - From Now On (Bagian Dua)
49
Chapter 33 - Page of Life In My Story
50
Chapter 34 - Dreamhigh
51
Chapter 35 - Hymn For Weekend
52
Chapter 36 - Stand By You
53
Chapter 37 - Tanpa Tergesa
54
Chapter 38 - 17才 (Bagian Satu)
55
Chapter 38 - 17才 (Bagian Dua)
56
Chapter 39 - In The End (Bagian Satu)
57
Chapter 39 - In The End (Bagian Dua)
58
Chapter 39 - In The End (Bagian Tiga)
59
Chapter 39 - In The End (Bagian Empat)
60
Chapter 40 - The End Run
61
Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Satu)
62
Chapter 41 - Tetap Dalam Jiwa (Bagian Dua)
63
Chapter 42 - Let Her Go
64
Chapter 43 - Sampai Jumpa
65
Epilog
66
Prolog
67
Akhir Kata
68
Side Story 1: Prontagonis/Sekretaris
69
Pengumuman Update

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!