Panas, begitu komentarku. Teriknya jauh lebih menusuk daripada di gurun Sahara, tapi ajaibnya di sini langit merah padam. Bagai senja tapi bukan, feel yang kurasakan terlalu berbeda. Fajar? Bukan juga menurutku. Sekiranya boleh, aku akan menamakan timing saat ini adalah gelap sebelum terang.
"Antara, tempat apa ini? Gelap seperti malam tapi langit terang."
"Dan panas." Angelica menambahkan.
"Shhhh! Sudahku kata untuk diam dulu, jan ada pertanyaan Mahendra dan Angelica!"
"Tapi—"
"Tidak ada tapi, ini bukan lah demokrasi oke?"
Mahendra dan Angelica mengangguk terpaksa, mereka berjalan berdampingan. Di depan mereka, Zoya tak kalah bingungnya. Wajahnya mirip menhir, batu moai—terkejut tapi tak tahu apa yang musti dikejutkan.
Tanah merembes, langkahku tertahan. Untungnya aku segera menarik kaki sebelum tertelan lebih dalam. Entah sudah berapa lama kami berjalan pada padang perdu hitam ini. Asing seperti negeri alien.
"Apaan dah di sana?" tanya Zoya.
Wajah kami melirik bersamaan ke arah kota yang hitam kelabu di kaki bukit, pohon-pohon berjejal-jejal memenuhi sudut-sudut strategis. Hijau daun melingkupi sisi-sisi gedung dan rumah terbakar.
Insting bertahan hidupku mengatakan bahwa berbahaya bila aku melangkahkan kaki di sana.
"Semuanya! Kita ke sana, rapat kedua klub Paranormal akan kita adakan di sana!" terang Antara, paling semangat.
"Aku ikut bersamamu NPC!" Nadla ketularan semangatnya.
"Tidak, terlalu berbahaya ke sana, kita cari tempat lain untuk bernaung," jelasku pada yang lain tapi tak didengarkan. Antara telah membawa rombongan menuju kota di kaki bukit.
Aku mendengus malas. Apalah daya. Sejak awal perkara Sisi Lain, selalu saja aku yang tak diacuhkan. Eh aku tertinggal.
Langkah mereka cepat sekali, tak dikira mereka sudah beberapa meter jauhnya dariku. Nadla menoleh padaku, cahaya senter menyorot netraku.
"Prontagonis?"
"Oy Sekretaris, cepatlah!"
"Aku datang!" Aku bersahut lantang agar terdengar.
Gedung-gedung yang menjejal-jejal di padanganku ini tampak mati, mirip seperti bangunan tua yang pernah aku dan Nadla datangi. Hitam, berlumut, berair, dan tak berpenghuni. Bedanya dengan tempo lalu adalah banyaknya gedung yang serupa memenuhi setiap sudut pandanganku.
Jalan aspal berlubang menyambut kami. Rombongan sampai di pusat kota, taman angker penuh dengan keganjilan dunia nyata. Pohon tumbang, kaca pecah, retakan, dan rumput berserakan di pagar pembatas. Mahendra makin bingung tak kepayang, begitu pula Angelica. Tapi Zoya, dia malah terkekeh.
"Apaan sih patung ini!"
"Apa yang kau lihat Zoya? lucunya di mana?"
"Ini liat, patung itu Antara!" Zoya menunjuk patung kuda tanpa kepala. "Mirip itu loh jendral pasukan raja iblis, Dulahal di konosuba. Ada toh mereka di sini!"
Aku tak paham bagaimana cara kerja sirkuit saraf otak si Konyol Zoya. "Wibu akut," desisku.
Sementara itu, Sally menghampiriku. Tangannya gemetaran. "Ini beneran Otherside? Kaya film horor aja rasanya."
Aku hanya mengangguk. Memang berbeda sangat suasana Sisi Lain ketika gelap menuju terang. Ada hawa tak mengenakan di sekitarku. Meski gerah, tapi napasku tertusuk angin beku. Aneh. Tapi aku paling takut akan yang satu ini, ada semacam aura bergairah menginginkan tubuhku. Aku menoleh ke kiri, sepadang bola merah muncul dan hilang ketika aku memandangnya balik.
Ingin rasanya aku mendengarkan lagu rock agar bisa menenangkan jiwaku yang salah tingkah karena takut bukan main.
"Gais, kami menemukan tempat bagus untuk bernaung!" Nadla berseru dari depan gerbang pintu sebuah rumah tua yang masih utuh, beda sangat dengan kawan-kawannya yang lain.
"Gue udah boleh nanya?" celetuk Mahendra.
"Simpan pertanyaanmu untuk diskusi kedua klub Paranormal!"
Angelica mendecak, menatap sombong.
"Pertanyaan kalian akan dijawab oleh Dr. Madlad. Ya kan prof?" Nadla menepuk bahu Antara si Ilmuwan Gila.
"Aku akan menjelaskan semuanya," ucap Antara mantap, mendorong kacamatanya naik.
Antara dan Nadla semangat betul. Zoya juga tak kalah semangatnya, girang layaknya anak kecil. Sally? Dia tampak ketakutan. Mahendra dan Angelica? Mereka bingung tak kepayang. Aku tak bisa membayangkan apabila tiba-tiba muncul Yoma dan kami terpaksa bertarung melawannya.
Kami memasuki ruangan yang aku tebak adalah ruangan keluarga. Cahaya putih menyinari langkahku yang ragu. Angelica menepuk pundakku agar menghilang dari ambang pintu.
"Minggir," katanya dingin, dia melenggang masuk.
"Maaf."
Kami pun duduk melingkar di tengah ruangan. Cahaya redup senter menjadi penerangan utama. Di sini kami mulai melakukan rapat kedua yang Gadis Antagonis sebut-sebut sebagai Rapat Anggota Klub Paranormal.
Antara pertama-tama menjelaskan terlebih dahulu kepada anggota baru klub—Mahendra, Angelica, dan Zoya— sebagaimana yang dulu aku dan Nadla lakukan padanya. Antara juga menjelaskan alasan kami kemari, yaitu untuk mencari tahu Lawang Sewu dan sosok putih tinggi berjas yang mengikutiku.
Mahendra mengangguk. "Begitu ya? Jadi tempat ini adalah semua ketakutan manusia yang menjadi kenyataan?"
"Benar, semua ketakutan manusia. Mitos dan legenda, banyak orang yang percaya dan takut akannya. Oleh karena itu tempat ini hidup meski jaman sekarang dukun nyentrik dan paranormal sudah jarang." Antara melirik sosok yang menganggkat tangan tinggi-tinggi. "Ya saudara Mahendra?"
"Mengenai portal, bagaimana caranya kita menemukan portal kembali ke dunia nyata?" tanya Mahendra lagi.
"Pertanyaan bagus. Devais ini yang akan melakukan tugasnya, mahakarya yang aku ciptakan." Antara berlaga cool dengan efek kacamata ajaibnya, bersinar biru. Tangannya menepuk devais pendeteksi sinyal itu. "Tapi,"
"Tapi?" semua bertanya.
"Baterai mahakaryaku rusak, aku baru menyadarinya ketika tiba di kota. Radar dan spektrometer tak lagi berfungsi dengan benar, kita tak bisa kembali dengan mudah."
"Bagaimana kalau menggunakan baterai ponselku? ini loh gue punya hp cadangan, hp legend Nokia 3310. Baterainya mungkin berguna." Zoya menunjukkan ponselnya yang berwarna mencolok, merah muda.
"Mana ada jaman sekarang pake ponsel kek gitu?" Sally terkekeh.
"Kejam!"
"Tidak perlu Zoya." Antara mendorong naik kacamata biru bersinar. Kami semua memandang lekat-lekat si Ilmuwan Gila. "Baterai yang mahakaryaku gunakan adalah Batu Roh yang kita dapatkan ketika mengalahkan Yoma."
"Kalau begitu masalah seharusnya sudah beres bukan?" Aku berkata seraya memandang Nadla.
Gadis Antagonis malahan bersiul.
"Nadla, jangan bilang kau tak membawanya?"
"Aku lupa! Mana mungkin aku membawanya! Semua ada di tas sekolahku. Persiapan kita terlalu mendadak."
Aku menghela napas dalam. Kenapa malah di saat begini. Nadla, engkau selalu membawa Batu Roh kemana pun engkau pergi. Itu katamu sendiri. Sally sama kecewanya denganku.
"Tidak apa, kita tinggal berburu Yoma saja."
"Memangnya bisa? Kita cuman anak SMA yang bolos dari sekolah! Aku tak mau ikut berperang!" Zoya berseru, matanya membulat sempurna.
Dia berdusta, aku bisa menebaknya dengan jelas. Itu wajah kegirangan, haus akan petualangan.
"Tidak bolos kok kalau Sekretaris mencontreng kehadiran kita." Mahendra melirik ke arahku.
"Mohon bantuannya Prontagonis!"
"Jangan lupa namaku Sekretaris, Zoya absen terakhir."
"Baik-baik, untuk kali ini saja aku akan melakukannya demi kalian. Lagipula kalian sudah tanda tangan kehadiran sewaktu pertama masuk ke sekolah pagi ini."
"Ah benar, yang oleh pengurus OSIS itu?"
Aku mengangguk malas.
"Oh ya Sekretaris," ucap Mahendra lembut. Aku menoleh. "Aku penasaran akan sosok yang kau lihat ketika kita bertanding. Bagaimana detail sosoknya secara lengkapnya?"
Bulu kudukku berdiri. Ada yang tidak beres di sini. Apakah makhluk itu ada di sisiku? Aku tetap bercerita. "Sosoknya tinggi kurus berwana putih polos, wajahnya datar tak ada aksesoris wajah sedikitpun. Lalu dia berjas hitam dengan dasi merah. Tangannya panjang hampir sepanjang tubuhnya."
Mahendra menatap lamat-lamat lantai.
"Sesuatu familiar Endra?"
"Ya, aku rasa aku pernah mendengar makhluk semacam itu sebelumnya. Entahlah, dimana aku mendengarnya. Menurutku—"
Belum usai Wakil Ketua menyelesaikan kalimatnya, lampu senter berkedip. Beberapa saat kemudian mati.
"Sial, baterainya habis. Kalau saja seseorang benar-benar mempersiapkan lebih baik." Antara menoleh pada Nadla.
Nadla tersenyum dalam kegelapan.
"Tidak apa, gunakan saja senter ponselku berhubung ponselku masih 74% dayanya."
Cahaya putih menerangi ruangan gelap gulita ini. Wajah-wajah di sekelilingku terlihat berbayang. Tujuh wajah teman-temanku. Tujuh?
Jantungku mau lepas. Aku tersadar ada orang lain selain teman-temanku di sini. Orang ke tujuh, makhluk hitam berbulu dengan mata merah menyala. Dia menyeringai.
"Yoma!" Aku berseru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Quinnela Estesa
ada Prontagonis, ada Antagonis, ada bendahara, ada sekretaris, ada npc. yang paling gampang diingat cuman Zoya aja. yang lain gak tahu deh mau ngapain mereka.
2024-11-08
0
Ayanagi Joestar
Dullahan kali xixixi
2024-04-25
1
Ayanagi Joestar
Dullahan kali xixixi
2024-04-25
0