Demi Anakku (Turun Ranjang Adik Ipar)

Demi Anakku (Turun Ranjang Adik Ipar)

Luka Dan Wasiat Sang Istri

Hujan mengguyur dengan deras senja itu, membasahi tanah makam yang masih merah dengan bunga yang bertaburan di atasnya. Putik-putik bunga kamboja berguguran ke bawah, dan semakin menambah indah tanah makam yang masih baru tiga hari terbentuk.

Rasa sedih, rasa sakit dan juga kehilangan itu masih terasa. Bahkan masih begitu menyesakkan dada. Jika tidak memikirkan ada anak yang masih membutuhkan kasih sayangnya, ingin sekali Rengga pergi untuk menyusul istri yang sangat dia cintai.

Ini adalah hari ketiga Rania pergi, pergi dengan meninggalkan sejuta luka yang sepertinya tidak akan pernah terobati. Rasanya separuh nyawa Rengga juga ikut terkubur bersama jasad istri yang dia cintai itu.

"Rania, apa aku bisa hidup tanpa kamu? Rasanya berat sekali Ra," Rengga jatuh terduduk di samping makam istrinya. Dia menangis, menangis untuk yang kesekian kali. Istri yang dia cintai pergi begitu cepat dan meninggalkan luka yang menganga begitu lebar.

Masih Rengga ingat bagaimana bahagianya mereka ketika tahu jika Rania hamil, setelah penantian panjang yang mereka lalui. Lima tahun berumah tangga, penuh perjuangan untuk mendapatkan momongan karena masalah kesehatan Rania.

Hingga akhirnya mereka bisa memiliki anak, tentu itu adalah kebahagiaan yang tidak terhingga.

Tapi semua hancur, hilang dan musnah begitu saja. Kelahiran putri kecil mereka nyatanya malah membuat Rania pergi.

Masih melekat begitu jelas wajah pucat Rania ketika akan masuk ke dalam ruang operasi. Bagaimana dia yang teguh meminta Rengga untuk menemaninya, bagaimana wajah pucat Rania yang menahan sakit karena proses persalinan itu.

...

"Mas, temani aku, jangan jauh-jauh ya."

"Iya, sayang. Mas di sini. Sama kamu," Rengga ikut mendorong ranjang Rania untuk masuk ke dalam ruang operasi. Dia khawatir dan cemas sebenarnya, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. Apalagi entah kenapa tiba-tiba kondisi Rania drop dan melemah ketika akan menjalani persalinan normal beberapa saat tadi. Hingga kini dia dipindahkan untuk menjalani persalinan secara secar.

Tidak bisa ditunda, karena keadaan Rania yang memang harus melahirkan saat ini juga. Semua tim medis mulai  bekerja serius, bahkan ruang persalinan itu benar-benar mencekam untuk Rengga.

Selama proses persalinan dia terus menggenggam tangan istrinya dan terus membisikkan kata-kata semangat agar Rania bisa bertahan. Wajah Rania semakin pucat dan keringat dingin terus keluar. Rengga sungguh takut dan cemas.

"Sayang, kamu harus kuat demi anak kita. Sebentar lagi dia akan lahir," bisik Rengga di telinga Rania.

Wanita itu tersenyum tipis di antara separuh kesadarannya. "Aku ingin melihat anak kita, Mas,"

"Iya, sebentar lagi. Kuat ya, sayang. Kuat," Rengga terus menguatkan istrinya, dan juga menguatkan dirinya sendiri untuk bisa terus menemani Rania.

Darah begitu banyak keluar seiring dengan tangisan bayi yang mulai di angkat dari perut Rania.

Tangis Rengga pecah, begitu pula dengan Rania. Anak yang mereka nantikan selama lima tahun itu akhirnya terlahir kedunia dengan segala perjuangan dan kesakitan.

"Sayang, anak kita sudah lahir. Lihat, dia sangat lucu," Rengga menangis, dia mencium dahi Rania begitu lembut. Rasa bahagia yang tidak terhingga.

Rania hanya tersenyum lemah, dia juga ikut meneteskan air mata, apalagi ketika bayinya diletakkan di atas dadanya.

"Bayi yang sangat cantik, anda harus kuat agar bisa melihat anak anda terus, Nyonya," ujar Dokter itu yang sepertinya dia memang sudah menyadari ada yang tidak beres dari Rania.

"Mas, dia cantik sekali."

"Iya, dia cantik seperti kamu, sayang," Rengga kembali mencium dahi Rania sambil mengusap pucuk kepala putrinya.

"Beri nama dia Nadzira, Mas," pinta Rania.

Rengga langsung mengangguk. "Ya, namanya Nadzira. Nadzira Aurora Leksmana."

Rania tersenyum, dia sudah mulai merasa ada yang berbeda dari tubuhnya. Terasa seperti lemah untuk bisa bertahan lebih lama. Dokter kembali meraih bayi cantik itu untuk membersihkannya. Begitu pula dengan dokter yang lain menangani Rania yang mulai kesulitan bernafas.

"Sayang, kamu baik-baik saja kan? Kamu harus tetap kuat." Rengga panik, matanya mulai berair dan genggaman tangannya pada Rania juga semaki erat.

"Maafin aku, ya."

Rengga menggeleng kuat.

"Tolong jaga anak kita dengan baik."

"Sayang," Rengga tidak bisa mengatakan apapun ketika mendengar perkataan Rania yang seperti ingin meninggalkan dia.

"Bagaimana aku dan anak kita kalau nggak ada kamu, Ra," lirih Rengga.

Rania tersenyum, namun dengan air mata yang menetes. Dia sudah tidak bisa bertahan lebih lama, tapi Tuhan masih berbaik hati untuk membiarkan dia melihat putrinya.

"Kamu pasti kuat, sayang."

"Nggak, aku gak akan kuat," lirih Rengga yang langsung tertunduk dan mencium tangan Rania yang sudah mulai dingin.

Tim dokter sudah mulai sibuk membuat penanganan pertama untuk wanita itu.

"Aku ingin bertemu mereka, Mas," pinta Rania.

Rengga mengerti siapa yang dimaksud oleh Rania, dia meminta salah seorang dokter untuk memanggil semua keluarganya. Hingga kini semua orang sudah berkumpul, termasuk Shania, adik kandung Rania. Satu-satunya keluarga yang dia punya setelah kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun lalu.

"Kak, kakak harus kuat ya," pinta Shania dengan wajah yang sudah sembab. Apalagi melihat keadaan kakaknya yang sudah dipasangi oleh alat bantu pernafasan.

"Sha, tolong jaga dan titip anakku ya. Aku cuma percaya kamu,"

Shania menggeleng pelan mendengar itu.

"Kak, jangan begitu,"

"Mas," Rania memanggil Rengga dengan nafas yang mulai terputus-putus.

"Aku disini," Rengga mendekatkan wajahnya pada Rania sambil menahan tangis dan kesedihan yang mendalam.

"Kalau aku gak ada, aku mau Mas menikahi Shania,"

Deg

Semua orang langsung terkejut mendengar permintaan Rania.

"Kak," Shania ingin protes, tapi pandangan mata sayu itu membuat dia kembali terdiam dan hanya bisa menangis.

"Sayang, kamu jangan berkata seperti itu. Hanya kamu istriku sampai kapanpun,"

Rania menggeleng pelan, "Zira butuh ibu, dan aku cuma percaya sama Shania. Aku mohon,"

"Sayang," Rengga meggeleng pelan. Bagaimana mungkin dia mengiyakan permintaan itu jika hanya Rania yang dia cintai.

"Tolong," lirih Rania lagi.

Rengga tidak menjawab, dia hanya bisa menangis dan tertunduk saja, begitu pula dengan Shania.

Rania tersenyum tipis, untuk terkahir kalinya dia pandang wajah Rengga. "Aku sayang kamu, Mas,"

Rengga terisak, dia langsung memeluk istrinya dan menangis di sana. Apalagi ketika melihat keasadaran Rania yang juga sudah hilang berserta monitor detak jantung yang berbunyi nyaring

...

Sungguh, rasa sakit itu luar biasa. Bagaimana mungkin dia bisa sembuh dan menerima semua ini?.

"Kak!" seruan Bayu, adiknya membuat dia menoleh.

"Sebaiknya kita pulang, hari sudah mulai gelap,"

Rengga tidak menjawab, dia hanya beranjak lemah dari makam istrinya.

...

Hai guys, selamat membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak di setiap bab ya.

Terpopuler

Comments

sherly

sherly

awal aja dah nyesek

2024-04-25

0

soekmaa

soekmaa

novel apa ini? dr awal sudah bikin mewek/Cry/

2024-02-27

0

LISA

LISA

Aq mampir Kak

2024-01-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!