Hujan mengguyur dengan deras senja itu, membasahi tanah makam yang masih merah dengan bunga yang bertaburan di atasnya. Putik-putik bunga kamboja berguguran ke bawah, dan semakin menambah indah tanah makam yang masih baru tiga hari terbentuk.
Rasa sedih, rasa sakit dan juga kehilangan itu masih terasa. Bahkan masih begitu menyesakkan dada. Jika tidak memikirkan ada anak yang masih membutuhkan kasih sayangnya, ingin sekali Rengga pergi untuk menyusul istri yang sangat dia cintai.
Ini adalah hari ketiga Rania pergi, pergi dengan meninggalkan sejuta luka yang sepertinya tidak akan pernah terobati. Rasanya separuh nyawa Rengga juga ikut terkubur bersama jasad istri yang dia cintai itu.
"Rania, apa aku bisa hidup tanpa kamu? Rasanya berat sekali Ra," Rengga jatuh terduduk di samping makam istrinya. Dia menangis, menangis untuk yang kesekian kali. Istri yang dia cintai pergi begitu cepat dan meninggalkan luka yang menganga begitu lebar.
Masih Rengga ingat bagaimana bahagianya mereka ketika tahu jika Rania hamil, setelah penantian panjang yang mereka lalui. Lima tahun berumah tangga, penuh perjuangan untuk mendapatkan momongan karena masalah kesehatan Rania.
Hingga akhirnya mereka bisa memiliki anak, tentu itu adalah kebahagiaan yang tidak terhingga.
Tapi semua hancur, hilang dan musnah begitu saja. Kelahiran putri kecil mereka nyatanya malah membuat Rania pergi.
Masih melekat begitu jelas wajah pucat Rania ketika akan masuk ke dalam ruang operasi. Bagaimana dia yang teguh meminta Rengga untuk menemaninya, bagaimana wajah pucat Rania yang menahan sakit karena proses persalinan itu.
...
"Mas, temani aku, jangan jauh-jauh ya."
"Iya, sayang. Mas di sini. Sama kamu," Rengga ikut mendorong ranjang Rania untuk masuk ke dalam ruang operasi. Dia khawatir dan cemas sebenarnya, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. Apalagi entah kenapa tiba-tiba kondisi Rania drop dan melemah ketika akan menjalani persalinan normal beberapa saat tadi. Hingga kini dia dipindahkan untuk menjalani persalinan secara secar.
Tidak bisa ditunda, karena keadaan Rania yang memang harus melahirkan saat ini juga. Semua tim medis mulai bekerja serius, bahkan ruang persalinan itu benar-benar mencekam untuk Rengga.
Selama proses persalinan dia terus menggenggam tangan istrinya dan terus membisikkan kata-kata semangat agar Rania bisa bertahan. Wajah Rania semakin pucat dan keringat dingin terus keluar. Rengga sungguh takut dan cemas.
"Sayang, kamu harus kuat demi anak kita. Sebentar lagi dia akan lahir," bisik Rengga di telinga Rania.
Wanita itu tersenyum tipis di antara separuh kesadarannya. "Aku ingin melihat anak kita, Mas,"
"Iya, sebentar lagi. Kuat ya, sayang. Kuat," Rengga terus menguatkan istrinya, dan juga menguatkan dirinya sendiri untuk bisa terus menemani Rania.
Darah begitu banyak keluar seiring dengan tangisan bayi yang mulai di angkat dari perut Rania.
Tangis Rengga pecah, begitu pula dengan Rania. Anak yang mereka nantikan selama lima tahun itu akhirnya terlahir kedunia dengan segala perjuangan dan kesakitan.
"Sayang, anak kita sudah lahir. Lihat, dia sangat lucu," Rengga menangis, dia mencium dahi Rania begitu lembut. Rasa bahagia yang tidak terhingga.
Rania hanya tersenyum lemah, dia juga ikut meneteskan air mata, apalagi ketika bayinya diletakkan di atas dadanya.
"Bayi yang sangat cantik, anda harus kuat agar bisa melihat anak anda terus, Nyonya," ujar Dokter itu yang sepertinya dia memang sudah menyadari ada yang tidak beres dari Rania.
"Mas, dia cantik sekali."
"Iya, dia cantik seperti kamu, sayang," Rengga kembali mencium dahi Rania sambil mengusap pucuk kepala putrinya.
"Beri nama dia Nadzira, Mas," pinta Rania.
Rengga langsung mengangguk. "Ya, namanya Nadzira. Nadzira Aurora Leksmana."
Rania tersenyum, dia sudah mulai merasa ada yang berbeda dari tubuhnya. Terasa seperti lemah untuk bisa bertahan lebih lama. Dokter kembali meraih bayi cantik itu untuk membersihkannya. Begitu pula dengan dokter yang lain menangani Rania yang mulai kesulitan bernafas.
"Sayang, kamu baik-baik saja kan? Kamu harus tetap kuat." Rengga panik, matanya mulai berair dan genggaman tangannya pada Rania juga semaki erat.
"Maafin aku, ya."
Rengga menggeleng kuat.
"Tolong jaga anak kita dengan baik."
"Sayang," Rengga tidak bisa mengatakan apapun ketika mendengar perkataan Rania yang seperti ingin meninggalkan dia.
"Bagaimana aku dan anak kita kalau nggak ada kamu, Ra," lirih Rengga.
Rania tersenyum, namun dengan air mata yang menetes. Dia sudah tidak bisa bertahan lebih lama, tapi Tuhan masih berbaik hati untuk membiarkan dia melihat putrinya.
"Kamu pasti kuat, sayang."
"Nggak, aku gak akan kuat," lirih Rengga yang langsung tertunduk dan mencium tangan Rania yang sudah mulai dingin.
Tim dokter sudah mulai sibuk membuat penanganan pertama untuk wanita itu.
"Aku ingin bertemu mereka, Mas," pinta Rania.
Rengga mengerti siapa yang dimaksud oleh Rania, dia meminta salah seorang dokter untuk memanggil semua keluarganya. Hingga kini semua orang sudah berkumpul, termasuk Shania, adik kandung Rania. Satu-satunya keluarga yang dia punya setelah kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun lalu.
"Kak, kakak harus kuat ya," pinta Shania dengan wajah yang sudah sembab. Apalagi melihat keadaan kakaknya yang sudah dipasangi oleh alat bantu pernafasan.
"Sha, tolong jaga dan titip anakku ya. Aku cuma percaya kamu,"
Shania menggeleng pelan mendengar itu.
"Kak, jangan begitu,"
"Mas," Rania memanggil Rengga dengan nafas yang mulai terputus-putus.
"Aku disini," Rengga mendekatkan wajahnya pada Rania sambil menahan tangis dan kesedihan yang mendalam.
"Kalau aku gak ada, aku mau Mas menikahi Shania,"
Deg
Semua orang langsung terkejut mendengar permintaan Rania.
"Kak," Shania ingin protes, tapi pandangan mata sayu itu membuat dia kembali terdiam dan hanya bisa menangis.
"Sayang, kamu jangan berkata seperti itu. Hanya kamu istriku sampai kapanpun,"
Rania menggeleng pelan, "Zira butuh ibu, dan aku cuma percaya sama Shania. Aku mohon,"
"Sayang," Rengga meggeleng pelan. Bagaimana mungkin dia mengiyakan permintaan itu jika hanya Rania yang dia cintai.
"Tolong," lirih Rania lagi.
Rengga tidak menjawab, dia hanya bisa menangis dan tertunduk saja, begitu pula dengan Shania.
Rania tersenyum tipis, untuk terkahir kalinya dia pandang wajah Rengga. "Aku sayang kamu, Mas,"
Rengga terisak, dia langsung memeluk istrinya dan menangis di sana. Apalagi ketika melihat keasadaran Rania yang juga sudah hilang berserta monitor detak jantung yang berbunyi nyaring
...
Sungguh, rasa sakit itu luar biasa. Bagaimana mungkin dia bisa sembuh dan menerima semua ini?.
"Kak!" seruan Bayu, adiknya membuat dia menoleh.
"Sebaiknya kita pulang, hari sudah mulai gelap,"
Rengga tidak menjawab, dia hanya beranjak lemah dari makam istrinya.
...
Hai guys, selamat membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak di setiap bab ya.
Rengga berjalan sempoyongan saat turun dari mobil. Bahkan Bayu dengan sigap berjalan di belakang kakaknya karena melihat pria itu yang seperti tidak memiliki nyawa lagi untuk berpijak. Tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat pasih bahkan dia sudah menggigil sekarang.
Rengga berdiri di bawah hujan satu jam lebih, dan tentu saja sekarang dia sudah seperti mayat hidup. Bayu yang menunggu di mobil saja sudah kedinginan, apalagi dia.
"Ya Allah, nak. Kenapa kamu basah kuyup gini? Dari mana?" Maryam, wanita paruh baya yang merupakan ibu Rengga dan Bayu itu terlihat panik melihat Rengga yang basah kuyup dan pucat seperti ini. Dia langsung merangkul putranya dan berjalan menuju kamarnya.
"Biasa, Ma. Dari makam mbak Rania. Dia gak mau pulang udah Bayu paksa," ungkap Bayu yang juga pergi mengikuti ibu dan kakaknya.
Rengga hanya diam, dia tidak menjawab apapun. Dan tentu saja itu membuat Bu Maryam merasa sangat sedih. Ini sudah hari ketiga kepergian menantunya, tapi putranya masih belum bisa merelakan kepergian Rania.
Mereka membawa Rengga masuk ke dalam kamar yang memang ada di lantai bawah, Rengga tidak ingin tidur di kamar atas, kamar yang menjadi peraduannya bersama Rania selama lima tahun ini. Rengga masih tidak bisa menerima semuanya.
Bukan karena tidak ikhlas, dia sudah ikhlas karena mungkin ini memang sudah ketentuan Tuhan. Tapi Rengga hanya rindu, rasanya sakit sekali jika melihat semua tentang Rania di rumah ini, apalagi di dalam kamar itu. Tawanya, keceriaannya, keusilannya, dan semua kelembutan Rania membuat Rengga tidak bisa menahan perasaan.
"Kamu bantu kakak kamu dulu, Mama mau lihat Zira, dia nangis terus dari tadi," ujar Bu Maryam pada Bayu ketika Rengga sedang membersihkan diri di dalam kamar mandi.
Bayu hanya mengangguk saja, dia membiarkan ibunya pergi keluar untuk melihat putri kecil yang baru hadir di dalam kehidupan mereka. Tapi sayang, kehadiran putri kecil itu malah merenggut sesuatu yang sangat berharga untuk hidup kakaknya.
"Kak, mau makan gak? Biar aku suruh Bibi bawa kemari," tawar Bayu ketika Rengga sudah keluar dari kamar mandi.
"Nggak, aku mau tidur. Kamu pergi sana," usir Rengga dengan acuh. Bahkan dia langsung merebahkan diri di atas ranjang itu dengan rambut yang bahkan masih basah.
Bayu menggeleng pelan dan menghela nafas panjang. Kakaknya sudah seperti orang bodoh yang tidak memiliki semangat hidup saja. Bahkan dia sudah tidak ada makan sejak kakak iparnya meninggal. Hanya minum susu dan itupun karena dipaksa.
"Jangan kayak gitu kenapa,"
Ucapan Bayu membuat Rengga membuka mata kembali, dia menoleh lesu ke arah adiknya.
"Mau sampai kapan kayak gini terus?"
Rengga terdiam dengan pertanyaan Bayu. Dia tidak menjawab dan malah memejamkan matanya kembali.
"Mbak Rania udah tenang di sana, tapi Mas malah kayak orang gila disini. Bukannya bangkit dan ngurus anak, tapi malah terpuruk gak nentu. Sedih boleh, tapi tuh lihat, Zira juga perlu perhatian Mas."
Rengga kembali membuka mata, tapi kali ini matanya sudah mulai berair.
"Jangan nambahi beban Mbak Rania di sana, dia nitip Zira sama Mas. Itu anak yang kalian idamkan selama ini 'kan. Jadi ayolah, semangat demi anak." Bayu sedih sebenarnya, tapi dia juga tidak bisa membiarkan kakaknya seperti ini terus. Semua orang kehilangan Rania, semua orang juga bersedih, tapi yang sudah pergi apa masih bisa kembali? Tentu tidak.
Rengga tidak menjawab apapun, dia beranjak dari tempat tidurnya dan duduk di atas ranjang.
"Mas, setidaknya Mas hidup untuk Zira kalau mas gak tahu lagi harus berbuat apa," Bayu menepuk pundak Rengga dengan lembut. Membuat pria itu mendongak dan memandang ke arahnya.
Rengga mengangguk. Ya, dia tidak bisa seperti ini terus. Kesedihan itu memang tidak akan pernah hilang. Tapi ada anak yang juga membutuhkan dia.
Akhirnya, setelah mendapatkan semangat dari Bayu, Rengga memutuskan untuk pergi ke kamar putrinya. Masih sampai di depan pintu tapi sudah terdengar suara tangis bayi di sana. Sangat kuat dan begitu pilu dan itu semakin membuat hati Rengga menjadi sakit.
Dia masuk ke dalam karena pintu memang tidak terbuka, terlihat Ibunya sedang menimang putrinya yang masih terus menangis, seorang baby sitter yang menjaga anak mereka juga nampak kelelahan.
"Ngga, coba deh gendong, Zira nangis terus. Siapa tahu sama kamu dia diam, biasa ada Shania disini, tapi siang tadi dia bilang mau ke kampus karena ada yang dia urus," Bu Maryam menyerahkan Zira pada Rengga.
Masih terlalu kaku dia menggendong putri kecilnya, tapi ketika melihat wajah mungil itu senyum sendu langsung terbit di wajah Rengga.
"Anak ayah kenapa nangis sayang? Diem dong," pinta Rengga sambil terus menimang dan menggerakkan sedikit tubuhnya, berharap putrinya itu bisa sedikit tenang.
Tapi Zira, bayi yang masih merah itu tetap saja tidak mau diam. Dia masih terus menangis tanpa henti.
"Sayang, ini ayah, nak. Zira jangan nangis,"
Bu Maryam tertunduk dan langsung memalingkan wajahnya dari Rengga. Hatinya hancur dan sedih jika melihat pemandangan ini. Bayi sekecil itu yang masih membutuhkan pelukan seorang ibu tapi malah sudah harus kehilangan.
"Diem ya, sayang. Zira anak baik kan, Zira gak boleh nangis terus," Air mata tanpa terasa menetes di wajah Rengga saat dia menimang anaknya.
Hatinya benar-benar teriris perih melihat putrinya menangis seperti ini.
'Ra, lihat putri kita. Dia menangis terus, dia pasti merindukan kamu Ra. Dia ingin ibunya. Bagaimana aku bisa hidup jika seperti ini terus, Ra. Aku tidak bisa melihat anak kita menangis terus,' batin Rengga dalam hati. Bukannya menenangkan putrinya, dia juga malah ikut menangis dan memeluk bayi kecil itu dalam dekapannya.
"Nak, sudah. Kamu harus kuat," Bu Maryam mengusap bahu Rengga, tapi dia juga tidak bisa menahan air mata, begitu pula dengan baby sitter Zira.
"Rengga nggak bisa, Ma. Rengga nggak bisa," Rengga menangis, bahkan dia langsung berlutut di atas lantai sambil terus memeluk putrinya.
Tangisan bayi kecil itu semakin kuat, apalagi ketika Rengga juga ikut menangis. Dia seolah tahu jika ayahnya sedang bersedih saat ini.
Di tengah-tengah kesedihan mereka, tiba-tiba pintu kamar yang terbuka separuh itu terbuka lebar.
"Assalammualaikum," suara lembut Shania membuat Bu Maryam menoleh. Tapi tidak dengan Rengga, dia masih terus memeluk putrinya.
"Waalaikumsalam. Sha, tolong Zira. Dia nggak mau diam dari sore tadi." Bu Maryam memandang Shania dengan wajah penuh harap.
Shania mengangguk, dia langsung masuk ke dalam kamar itu dan memandang sedih pada Rengga yang masih memeluk putrinya sambil menangis tersedu. Kakak iparnya ini pasti masih begitu terpukul, dan sebenarnya dia juga. Apalagi hanya Rania yang dia punya.
"Berikan Zira, nak," Bu Maryam langsung meraih Zira dari tangan ayahnya dan dia langsung memberikan cucunya itu pada Shania.
Shania menggendong bayi kecil itu dengan perasaan tidak menentu, bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya.
Shania tersenyum, dia menimang Zira dengan lembut sambil membisikkan kata-kata di telinga bayi itu, dan benar saja, tidak lama hanya berselang beberapa menit Zira mulai tenang.
Rengga tersandar di bawah ranjang dan memperhatikan putrinya dengan sedih.
Zira memang masih butuh seorang ibu.
Tapi ... apa mungkin ibu pengganti itu adalah Shania?
Bagaimana Rengga bisa menikah lagi jika cintanya sudah habis pada Rania. Dan bagaimana mungkin dia menikahi Shania, adik iparnya sendiri?
Rengga memandangi Shania yang sudah tertidur di samping putrinya dengan pandangan sedih. Hatinya terasa berat melihat pemandangan ini. Seharusnya Ranialah yang ada di sana, tapi takdir yang cukup kejam ini malah merenggut semua impiannya.
Tepukan di bahu Rengga membuat dia sedikit terkesiap. Rengga menoleh, memandang Bu Maryam yang berdiri di belakangnya. Dengan pelan Rengga menutup pintu kamar dan berbalik arah memandangi wanita itu.
"Mama dan Papa mau bicara sama kamu,"
Rengga hanya mengangguk, dia berjalan mengikuti ibunya menuju ruang keluarga dimana Tuan Banu sudah duduk di sana. Sepertinya Rengga tahu apa yang akan mereka bicarakan malam ini. Pandangan pria paruh baya yang sudah nampak tua itu memandang Rengga dengan sedih.
Nyatanya, kesedihan Rengga memang terasa di hati semua orang. Rania pergi seperti membawa semua senyum di wajah putranya.
"Duduk," ujar Tuan Banu.
Rengga duduk dengan lemas di hadapan orang tuanya. Wajahnya yang kusut, layu dan cekung membuat hati kedua paruh baya itu benar-benar terusik.
"Papa tahu kamu masih begitu sakit dengan kepergian Rania. Tapi putrimu juga butuh seseorang yang bisa mengurus dan merawatnya, nak," Tuan Banu mulai mengutarakan apa yang ingin dia sampaikan pada Rengga. Meski sebenarnya Rengga sudah tahu hal ini.
"Benar, kita semua sedih dan masih dalam keadaan berduka. Tapi Zira, kamu lihat kan, tidak ada siapapun yang bisa membuat dia tenang selain Shania," sahut Bu Maryam pula.
Rengga tertunduk sedih. Tangannya saling meremas satu sama lain.
"Ini sudah seminggu kepergian Rania. Kita tidak bisa seperti ini terus. Kamu harus penuhi wasiat Rania untuk menikahi Shania agar dia tenang di sana dan juga agar Zira bisa tumbuh dengan baik."
Rengga menggeleng pelan. "Bagaimana mungkin aku menikahi adik iparku sendiri."
"Nak," Bu Maryam memandang Rengga dengan pandangan sedih. Dia tahu ini berat untuk putranya, tapi mereka tidak punya pilihan lain. "Tidak ada yang salah, mungkin ini berat tapi pikirkan putrimu. Kita tidak bisa menahan Shania untuk terus berada di sini tanpa status apapun."
Rengga mengusap wajahnya dengan kasar. Dia semakin frustasi sekarang. Cintanya sudah habis pada Rania, janji setia untuk sehidup semati yang pernah dia ucapkan apa harus dia langgar? Meski Rengga tahu jika ini adalah permintaan dari Rania juga.
"Kamu mau anakmu tumbuh tanpa seorang ibu? Papa lihat Shania gadis yang baik, dia pintar dan dia juga punya keahlian yang bagus dalam mengurus Zira. Tidak ada salahnya menikahi dia."
"Demi Zira, dan juga atas permintaan istrimu, nak." Bu Maryam memandang Rengga penuh harap. Dan itu semakin membuat Rengga bingung.
Dia ingin menolak, tapi bagaimana dengan Zira dan bagaimana dengan wasiat istrinya yang memang meminta Shania untuk menjadi penggantinya?
Rengga sungguh bingung.
"Rengga," Bu Maryam memanggil Rengga kembali di saat putranya itu hanya terdiam.
Hingga akhirnya, Rengga yang tidak punya pilihan lain langsung mengangguk pelan. "Demi anakku," ucapnya.
Di sebalik dinding, Shania meneteskan air mata mendengar semua cerita Rengga dan orang tuanya. Dia terisak tertahan dan kembali masuk ke dalam kamar. Duduk di bawah ranjang dimana Zira masih tertidur dengan tenang di sana.
Haruskah dia menikah dengan kakak iparnya sendiri? Lalu bagaimana dengan cita-citanya dan janjinya pada seseorang? Haruskah dia mengabaikan itu semua?
Shania ingin menjadi wanita karir, sebelumnya dia sudah bekerja sebagai karyawan dibagian divisi pemasaran di perusahaan Rengga. Setelah tamat kuliah beberapa bulan lalu dia melamar pekerjaan di sana. Ingin meniti karir dan hidup mandiri tanpa menyusahkan kakaknya. Usianya masih 21 tahun sekarang, apa mungkin dia menikah secepat itu?
Lalu bagaimana dengan kekasihnya? Cinta pertama Shania yang saat ini sedang melanjutkan studinya di luar negeri. Apa dia harus mengabaikan itu? Tapi itu sangat berat.
Shania menangis tertahan, dia memandangi putri kecil kakaknya dengan hati yang perih dan hancur. Melihat wajah mungil ini, Shania juga tidak tega.
Semenjak orang tuanya meninggal, hanya Rania yang dia punya. Dan sekarang Rania juga sudah pergi meninggalkannya seorang diri. Rasanya terlalu jahat jika dia tidak menuruti keinginan kakaknya yang terakhir itu.
'Kak, kenapa kakak pergi secepat ini. Rasanya begitu berat, kak. Shania bingung.'
Shania kembali menangis, menangis untuk yang kesekian kalinya. Mengenangkan nasib dan kesedihan yang sepertinya tidak akan pernah berhenti.
...
"Saya terima nikah dan kawinnya Shania Isnari binti Almarhum Sutomo dengan mas kawin tersebut di bayar tunai."
Suara penuh luka dan kehancuran itu terdengar menggema di dalam ruang tengah rumah keluarga Leksmana. Air mata menetes di wajah Rengga saat dia mengucapkan ijab kabul untuk yang kedua kalinya itu. Begitu pula dengan Shania.
Siang ini, mereka melangsungkan pernikahan sederhana di rumah mewah itu. Tidak ada tempat yang indah, tidak ada acara yang romantis, bahkan tidak ada senyum dari semua orang yang hadir di sana.
Shania tertunduk, berulang kali mengusap air mata yang tidak bisa di tahan.
"Sudah, jangan menangis. Sekarang, kamu sudah menjadi menantu Mama," Bu Maryam mengusap bahu Shania dengan lembut. Gadis itu hanya mengangguk saja.
Dia tidak ingin menangis, tapi keadaan ini terasa begitu menyakitkan. Bukan hanya untuk Rengga saja, tapi juga untuk dia.
Impian untuk menikah dengan orang yang dia cinta harus terkubur rapat, impian untuk memakai gaun yang indah dan pesta pernikahan yang megah juga sirna.
Nyatanya Shania harus menikah dengan kakak iparnya sendiri demi anak yang ibunya sudah tiada lagi.
Terasa sangat menyakitkan, tapi ini sudah jalannya dan Shania harus menjalani.
Bayu memandang sedih kakaknya, tidak ada senyum sama sekali. Jika dulu Rengga menangis karena bahagia saat menikahi Rania, maka sekarang dia menangis sedih saat menikahi Shania.
Acara pernikahan berlangsung singkat, karena mereka memang hanya menikah secara agama lebih dulu. Tuan Banu ingin Shania memiliki status di dalam rumah ini agar tidak menimbulkan fitnah, meskipun tetap saja pernikahan ini menimbulkan pro dan kontra untuk keluarga besar mereka.
Turun ranjang, hal yang masih sangat tabu. Tapi apa boleh buat, demi cucu mereka dan juga demi permintaan terakhir almarhumah.
...
Malam hari, di dalam kamar. Shania duduk sambil memangku Zira yang sudah tertidur di pangkuannya. Dia menoleh memandang Rengga yang masuk ke dalam dengan wajahnya yang datar.
"Pernikahan ini kita lakukan karena Zira dan permintaan Rania. Kamu tahu jika cintaku hanya untuk kakakmu. Jadi jangan pernah berharap apapun dari pernikahan kita."
Deg
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!