Qiana di seret oleh seseorang dari belakang, dari tarikan tangan orang tersebut, Qiana rasa dia sosok pria. Tetapi entah siapa pria jahat itu. Hembusan napas sang pria yang tepat di belakang telinga Qiana, masuk ke lubang hidungnya, melaui sela-sela jemari pria yang membekap mulutnya. Masih sedikit tercium bau alkohol, sudah bisa di tebak jika pria itu meneguk minuman. Inilah yang Qiana takutkan, benar-benar terjadi, ketika pria itu membawa masuk Qiana ke ruang gelap yang tak lain kamar mandi.
Qiana tidak bisa melihat wajah pria jahat, karena tidak ada pendar sama sekali. Setelah mendorong tubuhnya dengan kasar ke wc yang baunya tidak sedap itu. Pria laknat menutup pintu lalu menguncinya dari luar tanpa sepatah kata pun bicara.
Dok dok dok.
"Heee... siapa pun kamu? Buka pintunya..." Seru Qiana. Dia gedor-gedor pintu toilet, tetapi tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Yang ada di luar hanya keheningan. Qiana menyalakan senter ponsel mengedarkan pandanganya. Kamar mandi tersebut sudah lama tidak digunakan. Lantaran banyak sarang laba-laba, tembok hitam, dan lantai pun berlumut, sungguh menjijikkan.
Hingga beberapa menit, Qiana hendak menghubungi keluarganya. Namun, dia terkejut karena dia salah membawa handphone, yang dia bawa rupanya bukan ponsel yang tersimpan nomor-nomor keluarga. Tetapi yang dia bawa ponsel perusahaan. Qiana bingung, hendak menghubungi Danial, tetapi selama menjadi istri, belum minta nomor hp kepadanya.
"Atau... Edwin?
*****************
Sementara, Danial. Setelah ke luar dari toilet merapikan pakaian di depan kaca. Kemudian, kembali ke tempat pesta. Mulutnya menganga lebar, kala tempat itu sudah berantakan tidak karuan. Beberapa teman yang sedang mabuk berjalan sempoyongan hendak ke luar dari tempat itu. Di tempat lain tiga orang telah mengejar entah siapa itu, tidak begitu jelas dari penglihatan. Menabrak kursi dengan meja hingga menimbulkan suara gaduh.
"Danial... hihihi..." Wanita yang mabuk berat merangkul tubuh Danial dari belakang.
Bruk!
Danial menghindar cepat, hingga wanita berpakaian minim itu tersungkur. Ke injak-injak teman-teman yang sedang berlarian.
Suara pistol menambah suasana menakutkan. Seketika Danial ingat Qiana, ketika dia tinggalkan dalam ke adaan ketakutan
"Qiana?" Danial seketika melebarkan langkah kaki, hanya beberapa lompatan saja, kaki panjangnya tiba dimana Qiana tadi duduk. Tentu saja sudah tidak ada di tempat itu.
Ia berlari ke sana ke mari hingga di ruang pesta kosong tetapi tidak ada Qiana. Bingung, hendak bertanya kepada siapa? Lantaran suasana sudah sepi, lalu bergegas ke luar dari ruangan, mencari ke lorong-lorong hotel. Ia mengerang prustasi kala tidak menemukan istrinya sepenjuru hotel.
"Apa dia sudah pulang bersama Edwin?" Ia bermonolog lalu menekan tombol, nomor Edwin pun tidak aktif.
Tidak ada pilihan lain bagi Danial selain pulang tanpa Qiana. Mungkin saja istrinya sudah pulang lebih dulu.
Mobil mewah meluncur cepat menembus jalanan ibu kota. Ia melirik arloji saat ini sudah jam 3 pagi. Sekali-sekali menyugar rambutnya. Perasaan bersalah menyelinap di relung hati nya. Seharusnya dia tidak mengajak Qiana ke tempat itu, karena dia tahu, pesta seperti ini tidak cocok untuknya.
Rumah model masa kini berdiri kokoh di antara deretan rumah-rumah komplek. Model sama, tetapi hanya berbeda ukuran lebih besar, lantaran dua rumah dijadikan satu. Itulah rumah Danial.
"Qiana sudah pulang Nuk?" Tanyanya dengan suara memburu ingin segera tahu jawaban Nunuk.
"Belum Tuan?" Jawab Nunuk bingung. Gadis bertubuh tambun itu memandangi Danial yang berjalan tergesa-gesa ke kamar. Pikiran Nunuk pun tidak tenang, khawatir terjadi sesuatu dengan nonanya.
Selama bekerja di rumah ini, Nunuk baru kali ini melihat wajah Danial begitu khawatir dengan Qiana. Nunuk tahu, bahwa Danial pria yang cuek, tak jarang memergoki Qiana sedang menangis sudah pasti bos pria itu penyebabnya.
Nunuk menoleh ke arah suara, kala gelas beradu dengan meja makan, rupanya Danial ambil minum sendiri. Efek termenung, Nunuk tidak menyadari jika Danial melewati dirinya.
"Tuan mau kopi?" Nunuk mendekati Danial.
"Tidak" jawabnya sambil berlalu. Lima menit kemudian, mobil kembali berderung pergi.
Dalam perjalanan Danial sesekali menghela napas. Pikiran buruk tentang Qiana membuatnya nelangsa.
****************
"Danial... kamu kok pagi-pagi sudah kesini..." Sapa Afrida, menyambut kedatangan menantunya pagi-pagi begini, tentu saja perlu di pertanyakan. Apa lagi wajah Danial tampak tegang.
"Qiana sudah pulang kemari Ma?" Pertanyaan menantunya membuat mata Afrida mengeryit.
"Pulang? Memang darimana kalian?" Cecar Afrida, menatap lekat wajah menantunya, lalu memberondong pertanyaan. Apakah mereka saat ini tengah bertengkar kemudian Qiana kabur.
"Kami..." Danial bingung hendak menjelaskan.
"Oh, ada Danial? Kamu tadi malam menginap disini?" Tanya Rahardyan tiba-tiba duduk di depan Danial.
Danial rasanya tidak mampu menjelaskan. Pertanyaan Afrida pun belum dia jawab, kini sudah ada pertanyaan lagi dari mertua pria. Danial memang pengecut. Selamat menikah, sikapanya kepada Qiana selalu kasar, tetapi tentu saja tidak punya nyali jika berhadapan dengan Rahardyan.
"Danial"
"Iya, Pa. Anu" Danial gugup.
"Kedatangan Danial mencari Qiana Pa," Afrida yang menjawab, kemudian duduk di sebelah suaminya.
"Mencari Qiana? Memang kemana istri kamu pagi-pagi begini, Danial?" Tatapan tajam sang mertua, membuat Danial menciut. Bingung, darimana harus mulai menjelaskan.
Melihat Danial kebingungan, Afrida segera minta penjelasan dari menantunya. Tentu lebih lembut, sebelum suaminya marah besar. Afrida paham betul dengan sikap suaminya akhir-akhir ini. Setelah tidak ada Qiana di rumah, suaminya sering kesepian. Apa lagi jika tahu Qiana pergi dari rumah. Jika selama ini tegar atas meninggalnya Quinsha, itu hanya pura-pura. Nyatanya Rahardyan sering melamun dan kesehatannya mulai menurun.
Danial lantas menceritakan apa yang terjadi.
"Lalu, kamu sudah telopon," Dahi Rahardyan mengeryit.
Danial lagi-lagi kebingungan. Hendak berkata jujur, tetapi mertuanya akan tahu jika selama ini Danial belum bisa menerima Qiana di hati.
"Biar Mama yang telepon," Kata Afrida. Penyelamat bagi Danial. Ia menatap Afrida cemas, jika teleponnya tidak di angkat.
"Assalamualaikum..." Ucap Afrida, ketika handphone sudah di angkat. Binar muncul di wajah Danial. Seketika bibirnya tersenyum tipis, padahal belum tahu siapa yang angkat telepon Afrida.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Ketawang
kebangetan😠😡
2024-06-12
0
Rena utami
😡😡
2024-02-03
1
Erina Munir
edwin paling tuh yg bawa k situ
2024-02-03
1