Tengah malam, jalanan cukup lengang, hujan gerimis masih mengguyur kota Bogor. Tampak mobil mewah melintasi jalan tersebut, hendak menuju rumah sakit. Di jok belakang, seorang wanita tak ada berhentinya Istigfar, lantaran sakit kakinya semakin ngebet saja.
Mobil berhenti di depan rumah sakit terdengar pengemudi tengah menutup pintu. 10 menit kemudian, Qiana memaksa bangun melihat ke luar kaca. Tampak Danial mengikuti seorang wanita berpakaian seragam putih mendorong kursi roda ke arahnya.
Dada Qiana sedikit lega, rupanya si somplak mulai ada perhatian kepadanya. Entah tulus atau tidak, nyatanya saat ini sedang membutuhkan pertolongan.
"Mari Mbak, saya bantu," Kata perawat ketika pintu mobil telah dibuka Danial.
"Terimakasih Sus," Satu kaki Qiana memijak pelataran rumah sakit. Satu kaki kiri yang sakit ia angkat sebelum bokongnya duduk di kursi. Kursi pun di dorong tetapi kali ini yang mendorong bukan Perawat, melainkan Danial.
15 menit kemudian.
"Kenapa kakinya?" Tanya dokter yang masih muda dan tampan tengah memeriksa kaki Qiana.
"Kemarin sore jatuh Dok" Tutur Qiana sambil tersenyum.
Danial yang berdiri di pinggir tempat periksa memperhatikan perbincangan itu. Dalam hatinya menggerutu. Tadi merintih terus, setelah diperiksa Dokter tampan cengengesan. Dasar ganjen.
Dokter yang usianya sepantar Qiana itu mengompres bagian kaki yang sakit, sebelum di perban. Setelah diberi obat anti nyeri lalu diperbolehkan pulang. Sepanjang jalan tidak ada rintihan seperti ketika berangkat. Begitu juga pria yang menyetir, tak ada suara hingga tiba di Villa.
"Mari saya bantu Non" Seperti saat berangkat, Qiana di gotong Nunuk bagian kepala dan Danial bagian kaki. Kemudian, di tidurkan di ranjang. Seperti biasa Qiana menanyakan tentang Nazran sebelum Nunuk ke luar kamar.
Hanya tinggal berdua di kamar itu, masih tetap tidak ada yang bersuara. Qiana memejamkan mata, saat ini waktu masih jam tiga pagi. Terasa tempat tidurnya bergerak, matanya terbuka kembali menoleh ke kiri suaminya sudah tidur memunggungi memeluk guling.
Dag dig dug deerr.
Jantung Qiana berdebar kencang. Hanya bisa Istigfar. Bukan lantaran jatuh cinta, tetapi selama ini Qiana belum pernah tidur bersama pria. Tentu saja, dadanya merasakan porak poranda.
"Adik ipar"
"Apa?"
"Terimakasih"
"Terimakasih untuk apa?"
"Sudah mengantar saya ke rumah sakit," Qiana berbicara tetapi masih berada di posisi yang sama.
"Jangan berisik! Saya mau tidur,"
Bibir Qiana manyun, tangannya menarik selimut menutup tubuhnya. Jika Danial mendengkur, tentu tidak untuk Qiana.
Rencana hanya satu hari di Villa, tetapi mulur sampai tiga hari, menunggu kaki Qiana bisa untuk berjalan lagi. Pada akhirnya mereka pulang dengan mobil masing-masing.
****************
Hari berlalu, semenjak saat itu, hubungan mereka sudah lebih baik. Sering komunikasi demi kepentingan Nazran, tetapi bukan tentang diri mereka. Keduanya setiap malam tidur satu ranjang, tetapi suami istri itu belum tidur satu selimut.
Berbeda dengan pagi ini, tepatnya hari minggu, Qiana bangun lebih dulu. Namun, badanya sulit bergerak, lantaran di kunci dengan kaki dan tangan Danial.
"Somplaaakk..." Pekik Qiana, badanya bergerak-gerak hendak keluar dari kungkungan Danial.
"Apa sih?! Berisik" Jawab Danial mengangkat kepala, tetapi masih dalam keadaan setengah bermimpi.
"Awas! Saya mau bangun," Suara Qiana melengking, di telinga Danial. Sebab, wajah Danial tepat berada di samping kepala Qiana. Hembusan napas halus pun terasa semilir di telinganya. Danial membuka mata, secepatnya melepas kaki dan tangan.
"Ah kamu!" Tandas Danial menyentak selimut hingga menutup wajah Qiana, lantas ngibrit ke kamar mandi.
"Huh! Dasaar... somplak," Monolog Qiana lalu bangun mengecek Nazran yang sudah bangun, lantaran terkejut dengan teriakan Qiana. Anak itu mengangkat kaki hingga sampai wajah lalu menggigit jempol. Begitu Qiana menyentuh tangan anak sambungnya. Nazran segera melepas kaki, sudah paham siapa yang datang.
"Assalamualaikum..." Ujar Qiana tersenyum, mengecek popok, kemudian menggantinya. Tidak lama kemudian, Danial ke luar dari kamar mandi, tidak berkata-kata langsung saja membuka handle pintu.
"Adik ipar, tunggu dulu," Cegah Qiana, menuju pintu kamar, spontan menahan tangan Danial. Danial menatap lengannya. Setelah menyadari, Qiana pun cepat melepas dengan wajah merah menahan malu.
"Adik ipar! Adik ipar. Ngapain?" Dengus Danial. Dari nada pertanyaannya. Qiana menyimpulkan bahwa sang suami tidak mau dipanggil demikian. Ya jelas tidak mau, mana ada istri memanggil suami seperti itu. Tetapi entahlah, sampai saat ini lidahnya masih belum bisa memanggil dengan sebutan yang lain.
"Janggain Nazran bentar" jawabnya sambil berlalu ke kamar mandi, tidak buang waktu, seperti ibu pada umumnya, Qiana cepat-cepat mandi. Tiba di kamar, Danial maupun Nazran sudah tidak ada di tempat itu.
"Nazran diajak Papanya kemana Nuk?" Tanya Qiana, ia sudah mencari Danial ke ruang tamu, ruang kerja, tetapi tidak ada. Lalu ke dapur menanyakan kepada Nunuk.
"Keluar Non. Tetapi saya nggak tahu kemana"
Qiana langsung mencari ke luar rumah, menyusuri jalanan komplek. Pandangannya tertuju pada taman. Seperti biasa, jika hari minggu tempat itu ramai untuk siapapun yang hanya sekedar singgah setelah olah raga pagi. Atau, menikmati sarapan pagi. "Itu mereka" Monolog Qiana segera menghampiri Danial yang sedang menggendong Nazran.
"Nazran... bunda cari-cari ternyata disini," Ia tepuk bokong Nazran dalam gendongan Danial. Danial melirik sekilas, ketika terkangkap mata Qiana, buru-buru berpaling.
"Bunda jajan dulu" bola mata indah itu mengedarkan pandangan mencari jajanan yang srek di hati. Qiana tersenyum senang kala melihat lolipop yang di gantung-gantung oleh penjual segera menghampiri, kemudian memilih permen yang bermacam-macam bentuk dan berwarna warni. Ia ambil love, seketika ingat Edwin, beberapa bulan yang lalu di berikan permen yang bentuknya seperti itu.
Danial tersenyum miring melihat gaya Qiana yang menurutnya seperti anak kecil. "Bunda kamu seperti anak kecil" Ucapnya, jika di depan Qiana jual mahal. Tetapi tanpa sepengetahuan Qiana, mata Danial terus mengawasi.
Qiana membuka permen satu, setelah membayar, kemudian menjilat. Danial menelan saliva pikiran mesum pun muncul. 'Ah, bibir itu pasti rasanya lebih manis dari permen' Gumam Danial, mengulum senyum.
"Hai cantik, beli permen banyak banget," Pemuda tampan berpakaian olahraga, mendekati Qiana.
"Iya" Jawab Qiana singkat.
"Kamu baru tinggal di komplek ini ya?" Tanya pria tak dikenal menyelidik.
"Ya, begitulah" Qiana kembali menyecap lolipop.
"Kenalkan namaku Ricky" pria yang berkalung handuk kecil itu mengulurkan tangan hendak bersalaman.
"Qiana" Namun, Qiana hanya menangkupkan kedua telapak tangan.
"Nama yang bagus"
Qiana mencari jajanan yang lain, tetapi pria itu mengikuti sambil bertanya ini itu. Danial yang awalnya tersenyum berubah kesal lalu berjalan mendekati Qiana yang tengah memilih ikat rambut.
"Qiana!" Sentak Danial. Sudah dua bulan menikah, baru kali ini menyebut nama istrinya.
"Iya, iya..." Qiana menoleh. Rupanya Danial sudah berada di belakangnya, dengan wajah nantang perang. Pria itu menatap Danial dan bayi dalam gendongan bergantian.
"Pulang" Perintahnya seperti bapak memerintah anaknya.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Erina Munir
🤣🤣🤣🤣🤣 sepet juga kan mata luh somplak klo udh kaya gituuh..
2024-02-03
3
Wulan Catur
haahaa... cemburu nih ye,,, 😁
2024-02-01
3
Dewi Anggya
cieeeeeee si adik ipar mulai posesif
2024-01-31
2