Di luar, Danial baru saja tiba. Padahal waktu sudah dini hari entah darimana dia. Rupanya pria itu pergi dengan membawa kunci sendiri. Setelah mengunci pintu, dia pun berjalan ke kamar dengan jaket yang tersampir di pundak.
Tiba di kamar, tatapan matanya tertuju kepada Qiana yang tengah tidur terlentang tanpa selimut, memperlihatkan asetnya. Kesal. Itulah yang pria itu rasa, ketika melihat wanita yang sudah berani mengatainya sore tadi tidak takut kepadanya. Justru tidur dengan pulas di kamarnya. Ingin tidak menatapnya tetapi sudah terlanjur. Mungkin Danial lupa jika ada anak yang tidak mungkin Qiana tinggalkan di kamar itu.
Bruk!
Danial melempar jaket yang tersampir di pundak ke tubuh Qiana dengan kasar, sebelum ke kamar mandi. Membuat pemilik tubuh hanya menggeliat dan menggunakan jaket tersebut sebagai selimut tanpa Qiana sadari.
Rupanya tidur Qiana tidak terganggu walaupun suara sandal jepit yang diseret dari kamar mandi mendekati box. Lalu berdiri membelakangi Qiana, menatap lekat wajah putranya yang tengah tidur pulas.
***********
"Oeeekk... Oeeekk..."
Jika mendengar apapun, tidur Qiana tidak merasa terganggu. Tetapi begitu mendengar tangis Nazran seketika bangun.
"Sebentar sayang..." Qiana segera membasuh wajahnya dulu sebelum mendekati box. Tidak memperhatikan jika di ranjang, Danial pun tidur dengan pulas.
"Sayang... pipis ya," Qiana memeriksa popok, kemudian menggantinya. Tetapi Nazran masih terus menangis tentu saja dia lapar. "Sebentar sayang... bunda membuat susu," Dengan langkah cepat, Qiana membuat susu yang sudah dia siapkan di meja kamar.
"Anak nangis kok didiamkan saja sih?! Bisa mengurus anak tidak?" Suara pria di ranjang menyadarkan Qiana. Ternyata somplak sudah pulang dan entah kapan itu. Sedetik kemudian, Qiana menghentikan tanganya menyendok susu. Ia menoleh ke tempat tidur, mata mereka bertemu sama-sama diliputi wajah kesal. Hingga keduanya melengos. Jika Qiana melanjutkan membuat susu. Danial pun bangun menggendong Nazran
"Sayang..."
"Oeeekkk.... Oeeekkk..." Walaupun sudah dalam gendongan sang Papa, Nazran masih juga menangis. Danial menoleh Qiana yang tengah mengocok botol. "Dasar lelet. Bikin susu saja lama," Ujarnya. Walaupun pelan tentu masih didengar Qiana. Sebenarnya Qiana marah, tetapi tentu dia tidak mau ribut.
Tanpa bersuara, Qiana meletakan botol susu di dalam box. Ia angsunkan tangan hendak menggendong Nazran.
"Biar saya saja. Mana susunya," Pinta Danial tanpa menatap lawan bicara.
"Wajah belekan begitu! Nggak boleh memberi susu, Nazran,"
Deg!
Danial tertohok. Perlahan menidurkan Nazran yang masih menjerit-jerit di ranjang, lalu ngibrit ke kamar mandi.
"Hihihi..." Dalam hati Qiana tertawa cekikikan. "Rasain! Memang enak dikerjain. Memang kamu doang yang bisa ngerjain orang. Somplak" Gerutu Qiana kesal. Tentu saja Danial tidak mendengar, lantaran sudah hilang di balik pintu kamar mandi.
Setelah menyedot susu satu botol, Nazran pun bobo. "Kamu bobo sama Papa sayang. Bunda keluar dulu," Setelah mencium pipi Nazran, Qiana menatap jam dinding sudah jam 4 pagi, kemudian ke kamarnya.
Tentu bukan mau tidur, tetapi membereskan pakaian dalam koper yang dia bawa kemarin sore ke dalam lemari. Saat ini Qiana akan sulit membagi waktu untuk beres-beres jika bukan menunggu waktu ketika Nazran sedang bobo seperti sekarang.
"Astagfirullah... untung tidak basi," Gumam Qiana yang sudah pindah ke meja makan, ketika memandangi hidangan makan malam sama sekali tidak disentuh. Sekarang dia bawa tiga menu karyanya yang dikerjakan sambil menonton tutorial. Karena Qiana bukan wanita yang pandai memasak. Menghangatkan masakan tersebut yang kini Qiana lakukan.
"Mudah-mudahan somplak mau makan," Ujarnya setelah selesai lalu ke tempat pencucian pakaian.
"Ya ampuuun... banyak sekali," Qiana memandangi tumpukan baju kotor di mesin cuci hanya geleng-geleng kepala. Ia bingung sendiri, sebagai ibu baru, banyak sekali tugas yang harus dia kerjakan.
Ia menarik napas dalam-dalam lalu menggiling pakaian tersebut. Jika hanya dipandangi tidak akan selesai. Saat memilah pakaian, air matanya menetes. Tatkala baju almarhumah Quinsha yang terakhir dia pakai ia pegang erat, dia dekap di dada. Aroma parfum pun masih wangi, seolah Quinsha masih ada di sekitarnya. Bayangan adik satu-satunya itu seperti masih di depan mata.
"Kamu yang tenang di peristirahatan terakhirmu. Dek," Ujarnya lalu memasukkan baju adiknya ke dalam mesin.
Sambil menunggu pakaian bersih, Qiana mencari sapu dan kain pel pekerjaan ini yang harus dia utamakan agar rumah ini tidak berdebu, mengingat saat ini mempunyai anak kecil tentu agar semua bersih.
"Lumayan capek" Batin Qiana ketika semuanya bersih ia meneguk air putih. Lalu telungkup di meja makan.
***********
Rambut basah yang baru saja mandi berbalut handuk tengah memilih kemeja di lemari. Hal seperti ini dia lakukan bisa dihitung, kerena biasanya sang istri yang menyiapkan. Tetapi apa boleh buat istri tercintanya kini telah tiada.
Srot... sroott... sroott.
Parfum mahal telah di semprotkan ke pakaian, kemudian duduk di kursi memasang kaos kaki.
Kriing... kriiing...
"Brisik amat sih telepon! Ganggu tidur anak gw saja," Omelnya, lalu menekan tombol sisi handphone hingga suara deringan tidak terdengar lagi. Padahal itu hanya alasan karena handphone itu milik Qiana. Nyatanya Nazran masih pulas.
Kriiing... kriiing...
Handphone pun berbunyi kembali, Danial penasaran juga. Siapa yang menghubungi Qiana pagi-pagi sekali. Dia amati nama penelpon. 'Edwin' Setelah tahu namanya Danial meninggalkan telepon lalu keluar kamar.
"Woe!" Bentakkan Danial ketika sudah tiba di dekat meja makan.
Qiana terkejut rupanya tertidur setelah menyapu, dan mengepel. Matanya mengerjap memandangi pria yang tengah tolak pinggang dengan gayanya yang sok kuasa. Ia pun hendak pergi mandi sebelum Nazran bangun. Terlalu sayang jika waktu dia gunakan untuk bertengkar.
"Mau kemana kamu?" Tanyanya.
"Mau mandi!"
"Mana kopi saya," Perintahkan.
Tidak menyahut, Qiana pun ke dapur hendak membuat kopi. Anggap saja ini ibadah menyiapkan sarapan untuk pria yang sudah menjadi suaminya. Walaupun tidak dianggap istri.
"Ini kopinya," Ujar Qiana. Namun pria yang diajak bicara sok sibuk dengan benda gepeng, tanpa peduli dengan kehadirannya.
"Jangan kemana-mana dulu, khawatir Nazran bangun," Ujar Qiana sambil berlalu hendak melanjutkan niatnya ke kamar mandi.
"Kamu merintah saya?"
"Merintah adik ipar tidak akan kwalat bukan?"
Danial mendengus geram melihat Qiana yang sudah menjauh. Ia lantas ingat kopi menyeruput sedikit kemudian melepehnya.
"Kopi macam apa pula ini," Monolognya tidak melanjutkan minum. Seketika dia ingat Quinsha, tidak ada wanita di dunia yang bisa seperti almarhumah istrinya itu. Memasak enak, membuat kopi enak. Bukan seperti kopi yang di hadapanya itu.
Benar saja. Hingga Qiana sudah rapi, Danial pun masih di tempat itu. Qiana hendak mengisi perut. Terakhir dia makan saat selesai ijab kabul kemarin siang.
"Ya Allah... air apa sih ini?" Tanya Qiana melihat lantai basah berwarna hitam. Padahal dia sudah setengah mati mengepel.
...~Bersambung~...
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Rena utami
katanya si somplak kaya, takut harta diambil org lain klo nikah bukan dg qiana..kok art aja ga punya, apa2 dikerjain qiana sendiri..thor, piye ikih?😂
2024-02-03
5
Erina Munir
ngebathin qiana ngadepin suami kaya gitu...mr somplaks
2024-02-02
1
Dewi Anggya
gmna sihh Danil inii
2024-01-31
1