"Air apa yang kau buang di lantai?!" Qiana mendengus kesal, melipat tangan di dada. Rasanya ingin menangis, sudah kerja sejak pagi, tetapi dengan seenaknya Danial mengotori. Merasa berbicara dengan batu, Qiana lalu berjongkok dimana cairan hitam kresil itu menggenang. Jari telunjuk nya mengecek cairan hitam di lantai tersebut, ternyata masih hangat. Apa lagi jika bukan kopi buatannya.
"Jadi... kopi yang saya buat, kau buang di sini? Keterlaluan!"
"Kopi buatan kamu itu tidak enak di lidah saya. Lalu kenapa kamu marah-marah," Danial pun beranjak.
"Tunggu!" Qiana menahan tangan Danial. "Mau kau buang, atau kau minum, kopi buatan saya. Itu hak kamu. Tetapi setidaknya kamu menghargai keringat saya yang belum kering, karena sejak bangun tidur beres-beres. Tetapi dengan seenaknya kamu kotori!" Qiana menumpahkan uneg-uneg.
"Ternyata kamu itu wanita yang mudah marah. Berbeda dengan Quinsha!" Danial membandinkan. "Siapa juga yang menyuruhmu beres-beres!" Lanjut Danial kemudian pergi.
Qiana bersimpuh di lantai, air matanya tumpah. Segitu tidak berharganya dia di mata suaminya. Apa lagi dibandingkan, sungguh menyakitkan. Tetapi, ya sudahlah. Qiana bangkit dari lantai anbil kain pel lalu membersihkan kopi satu cangkir yang sudah pindah ke lantai itu hingga bersih, sebelum Nazran bangun.
Dengan langkah tertatih-tatih, Qiana ke kamar Nazran. Rupanya anak keponakan itu sudah bangun. Seperti tahu ketegangan pagi ini, Nazran tidak menangis.
Belum ada dua hari menjadi ibu, Qiana sudah lihai mengurus anak. Selesai memandikan Nazran dan memberi susu, kemudian membereskan kamar.
"Anak bunda pintar" Ujarnya, setelah mencium lembut pipi bayi mungil berat 3,3 kg itu, lantas menidurkan di box.
Qiana hanya bisa geleng-geleng kepala. Kala pandanganya beralih ke sekeliling kamar. Handuk tergeletak di lantai, baju dan kaos berada di tempat tidur. Jaket tebal tersampir di sofa. Tidak lagi bisa disebut kamar. Selayaknya kandang kambing. Pasalnya, bantal dan guling pun pindah posisi ke lantai.
Kriiing... kriiing....
Handphone yang sejak jam tujuh malam tidak Qiana lihat, kini berdering. "Mas Edwin" gumam Qiana setelah melihat siapa yang telepon. Ia diamkan saja, walaupun terus berdering hingga mati dengan sendirinya. Sudah puluhan telepon dan puluhan chat, tentu saja Qiana tidak berani membukanya. Agar aman, Qiana non aktifkan ponsel miliknya.
"Ya Allah... bagaimana caranya? Agar aku bisa bertemu dengan Edwin, lalu menjelaskan semuanya. Seburuk apapun penilaian Edwin terhadapku, aku harus terima," Qiana berbicara sendiri. Qiana pun melanjutkan beres-beres, lalu ke rumah mama Afrida.
************
"Kamu pulang sayang?" Tanya mama Afrida, lalu menggendong cucunya. "Kemana suami kamu?" Cecar Afrida.
"Kerja kali Ma" Ketus Qiana lalu menjatuhkan bokongnya di kursi.
"Looh, kok kali, sih... memang kamu kemari tidak pamit suami kamu?" Tanya Afrida lagi. Wanita paruh baya itu menarik napas panjang. Ia pandangi putrinya yang bersandar di sofa dengan mata terpejam. Afrida mengerti jika putrinya tidak semudah membalikan telapak tangan menerima Danial. Begitu juga dengan menantunya itu. Quinsha meninggal baru 4 hari yang lau. Tentu masih menjadi pukulan berat bagi menantunya.
"Ngapain juga pamit Ma. Aku kesel... masa, belum ada tujuh hari Quinsha meninggal, dia sudah ke kantor sih?" Sungut Qiana, jika memang Danial merasa kehilangan istrinya, seharusnya bukan malah pergi hingga pulang larut malam.
"Sudahlah sayang... mungkin dengan begitu, suami kamu bisa sedikit melupakan adikmu," Afrida menenangkan, walaupun sebenarnya ia pun sepemikiran dengan Qiana, tetapi Afrida tentu tidak mau Qiana membenci Danial.
"Ma, boleh aku titip Nazran?" Qiana mengalihkan, dan ini tujuan Qiana yang sebenarnya.
"Jelas boleh. Tapi kamu mau kemana?"
"Aku mau menemui Edwin Ma," Lirih Qiana.
"Untuk apa?" Afrida tentu tidak ingin anaknya masih ada hubungan lagi dengan Edwin.
"Aku cuma mau menjelaskan, Ma. Tidak ada maksud apa-apa," Jujur Qiana.
"Loh, memang belum kamu jelaskan? Bukankah Papa kamu sudah menyuruh kamu sejak kemarin?"
"Mama ini bagaimana? Aku sama Mas Edwin itu rencana menikah sudah 90 persen Ma. Jangan hanya bisa melimpahkan kesalahan padaku. Apa pantas, jika aku membicarakan masalah seberat ini sendirian, Ma" Qiana pun terisak-isak.
"Rencana pernikahan kami sudah dirundingkan dua belah pihak, Ma. Apa pantas jika aku membatalkan lewat telepon," Kata Qiana panjang lebar. Ia sebenarnya tidak pernah berbicara ketus kepada orang tuanya. Tetapi masalah yang datang bertubi-tubi, membuat Qiana tidak bisa mengontrol emosi.
"Mama mengerti sayang... sebaiknya... kita besok saja datang ke rumah orangtua Edwin sama-sama ya, Nak. Sebaiknya kamu sekarang istirahat dulu, lelah sekali, tuh" Pungkas Afrida.
"Iya Ma. Terus tolong bilang sama bibi" Qiana minta, agar bibi membawa kerabatnya yang mau bekerja menjadi art di rumahnya. Qiana bukan tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi dia juga harus bekerja dari rumah mengurus perkebunan.
"Loh...bukanya kemarin ada bibi? Terus sekarang bibi kemana?" Tanya Afrida. Sebelum Qiana melahirkan, ia sempat datang berkunjung ke rumah Quinsha.
"Nggak tahu Ma" Qiana hanya menggeleng. Jika ada bibi, tentu di rumah somplak, tidak berantakan seperti tadi pagi.
"Kalau gitu, Nunuk biar kerja sama kamu saja," Saran Afrida. Nunuk adalah, art Afrida. Toh, di rumah ini ada dua art.
Qiana mengangguk, mengambil tissue di meja, membersihkan sisa air matanya lalu mengikuti Afrida yang tengah berjalan ke kamar, sambil menggendong bayi. Tidak ada yang bisa Qiana lakukan. Mengecek laporan panen di perkebunan yang sudah 4 hari tidak dia kerjakan pun malas.
Otaknya kali ini sama sekali tidak mampu untuk berhitung. Handphone miliknya pun tidak bisa ia mainkan. Walaupun gabut nya tidak lama, kerena Nazran sudah bangun. Malaikat kecil itulah penyejuk hatinya.
"Sudah sore, kita pulang, yuk," Ucapnya. Walaupun Nazran belum bisa bicara, Qiana sering mengajaknya bicara. Badan mungil yang sudah penuh dengan bedak dan minyak telon itu segera dipakaikan baju.
"Non Qiana" Kata anak remaja sepantar Quinsha, yang tak lain adalah Nunuk, sudah siap berangkat bekerja bersama nona mudanya.
"Tolong bantu saya membawa perlengkapan Nazran ya," Titahnya.
"Baik Non" Nunuk membungkuk melewati Qiana, lalu memasukkan perlengkapan Nazran ke dalam tas.
Mereka pun berangkat dengan kendaraan roda 4 milik Qiana sendiri. Sebagai pengusaha perkebunan tentu harta Qiana banyak. Walaupun tidak sebesar milik Danial, sebagai pengusaha otomotif.
************
"Di ajak kemana anak gw," Gumam Danial. Kesal. Waktu sudah sore, ketika pulang dari kantor di rumah sepi. Padahal ia ingin segera bertemu dengan Nazran. Dalam hati mengumpat kala bayangan putranya diajak pergi menemui Edwin. Sebab, tadi pagi telepon dari tunangan Qiana terus berdering.
Ia lempar tas di sofa, bokongnya menyusul. Menggerakkan leher ke kekiri dan ke kanan. Mungkin saja lehernya pegal-pegal.
Danial menggeser gorden ruang tamu sedikit, kala mendengar derung mobil. Rupanya orang yang dicari baru saja tiba. Tampak Nazran bukan dalam gendongan Qiana, tetapi Nunuk. Tentu saja, karena Qiana nyetir sendiri.
Terdengar pintu dibuka dari luar, tetapi lama sekali tidak bisa-bisa. Wajar saja, karena kunci milik Danial masih tersangkut di lubang kunci. Namun, rupanya Danial engan untuk membuka.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Ketawang
Disini ortu Qiana bnr" egois
2024-06-12
0
Ririn Nursisminingsih
ayo qiana jg lemah
2024-02-09
0
Rena utami
suami kyk gitu knapa ga dubuang ke laut aja .yg aneh alfrida, udah tahu kesedihan qiana, tapi tega bgt..kyk mak tiri...
2024-02-03
1