"Mas Edwin?" Sapa Qiana menatap Edwin tersenyum kikuk. Beberapa detik kemudian, wajah Qiana sedih, kala Edwin tidak membalas senyumnya, justru berbincang-bincang dengan pria di sebelah, seolah-olah tak mengenal dirinya.
Saat pertemuan di restoran satu bulan yang lalu. Mereka tidak pernah lagi saling menanyakan kabar, melaui chat, atau yang lainnya.
"Selamat pagi Mbak Qiana" sapa para tamu. Qiana pun menjadi sorotan peserta rapat, yang didominasi oleh pria, tanpa Qiana sadari.
"Selamat pagi..." Qiana hanya membalas dengan menangkupkan kedua telapak tangan di dada, dan senyuman ramah. Menyembunyikan rasa malunya karena fokus dengan Edwin, sampai tidak memperhatikan para pemimpin perusahaan dari berbagai sektor. Perkebunan, peternakan, ceo wanita yang bergerak di bidang kosmetik dan perancang pakaian.
Lagi-lagi, Qiana melempar pandangan ke arah Edwin, dadanya terasa sesak. Sebab, Edwin, jangankan menyambut kedatangannya seperti yang lain, menatap pun tak mau. Qiana sadar, ia tidak berharap apapun dari Edwin. Hanya, tidak mau ada dendam di hati keduanya
"Silahkan duduk Mbak Qiana," Panitia menyambut kedatangan Qiana, kemudian menyediakan tempat duduk. Setelah berbasa basi, sebagai Owner dimana rapat dilaksanakan, Qiana memberi sambutan singkat dan jelas. Tetap profesional dalam bekerja, menyingkirkan masalah pribadi dengan Edwin.
Rapat kerja sama antar perusahaan pun dimulai. Negoisasi tawar menawar antar pihak-pihak perusahaan melalui perundingan, walaupun berjalan cukup alot, namun pada akhirnya kesepakan bersama pun tercapai.
"Mas Edwin" Tegur Qiana, setelah beberapa jam, acara rapat selesai, Qiana bertemu Edwin di halaman kantor. "Mas Edwin apa kabar?" Qiana tersenyum. Namun, senyum itu hilang lantaran Edwin tidak membalas senyumnya justru membuang wajah
"Kabar tidak baik Qin. Maaf, saya tidak ada waktu untuk ngobrol" Jawab Edwin sambil berlalu.
Air mata Qiana menggenang, menghalangi pandanganya ke arah Edwin yang sudah jauh meninggalkan dirinya. Hatinya kini tersayat, bukanya ingin balikan dengan Edwin. Namun, ia hanya ingin minta maaf.
Qiana mengusap air matanya, ingat ketika pertama kali bertemu dengan Edwin, sedang rapat seperti sekarang. Edwin yang mempunyai usaha peternakan, lokasinya masih satu wilayah dengan perkembunan miliknya. Berawal dari pertemuan singkat, lalu mengatur pertemuan makan bersama sambil ngobrol. Rupanya cocok dan nyambung. Tidak Qiana sangka tumbuh rasa yang lain di hati. Mereka pun berkomitmen. Usia masing-masing sudah sama-sama matang lantas ingin segera melangkah ke arah yang lebih serius, tetapi rupanya mereka ditakdirkan tidak berjodoh.
****************
Angin sore tertiup kencang, menggerakkan awan hitam yang bergumpal-gumpal. Setelah ashar di perkebunan, Qiana melangkahkan kaki hingga tiba di tempat itu. Hawa begitu dingin, Qiana melipat tangan di dada, agar sedikit hangat. Ia pandangi bentangan tanaman teh, mata Qiana mengerjap kala selintas bayangan Edwin muncul di jalan kecil.
"Mas Edwin" Qiana berlari menuju di mana Edwin berada, tetapi tidak ada siapa-siapa di tempat itu.
Qiana mengedarkan pandanganya ke setiap jalan, di sela-sela tanaman teh. Matanya menangkap Edwin terasa di mana-mana.
"Astagfirullah..."
"Aku sudah gila! Aku gilaaa..." Gumamnya. Perkebunan tampak sepi, Qiana mendongak menatap langit menghitam tertutup mendung pekat. Di sekitar mulai gelap, padahal waktu masih jam 4 sore.
Duaaarrr...
Suara guntur di iringi hujan gerimis. Qiana berlari ke arah gubuk di tengah perkebunan. Tiba di dalam, hujan semakin deras di sertai angin kencang, air pun masuk ke dalam.
"Astagfirullah...
Qiana Istigfar, memikirkan Nazran yang saat ini berada di villa. "Kenapa... aku harus kesini" sesalnya. Tidak peduli bajunya yang sudah sedikit basah, tetapi Nazran yang dia pikirkan.
Qiana bingung, terjebak di tempat itu. Hendak hujan-hujanan ke Villa ingin segera bertemu Nazran, tetapi takut petir yang sedang menyambar-nyambar.
"Telepon Nunuk" Ia ambil handphone dari tas tetapi tak ada signal.
Jam berlalu, satu jam sudah Qiana berada di gubuk, tetapi hujan tak kunjung reda. Ia duduk di kursi rotan yang bentuknya sampai klimis, karena kursi itu sering di duduki oleh wisatawan yang sekedar foto-foto.
Tubuh bagian belakang terasa hangat, Qiana menunduk melirik pundak. Jaket hitam menyangkut di sisi kiri, dan kanan. "Apa Edwin kesini? tapi kok aroma parfum nya seperti..." Batin Qiana. Begitu sadar aroma parfum siapa, Qiana seketika berdiri lalu mundur.
"Kamu?" Dahi Qiana berkerut, tidak menduga jika pria itu berada di gubuk. Terlebih memberikan jaket kepadanya.
"Kenapa kamu mundur? Takut saya pe*kosa?"
"Ih! Nggak jelas!" Sungut Qiana. Namun, merasa tubuhnya hangat menatap pria dewasa yang tengah menyeringai kepadanya hatinya sedikit melunak.
"Terimakasih" Ucap Qiana. Ia bukan orang yang tidak tahu terimakasih. Walaupun pria itu menatapnya galak, tetapi sudah perhatian merelakan jaket miliknya. Qiana kembali duduk merekatkan jaket hingga dada.
"Kenapa kamu tinggalkan Nazran sendiri, di Villa?" Tanya pria yang tak lain adalah Danial, akhirnya bertanya sedikit pelan.
"Habis rapat terasa suntuk, niatnya cuci mata sebentar, tetapi hujan," Kata Qiana menatap ke luar di mana curah hujan masih lebat. Payung berwarna hitam pun terbang dibawa angin menjauh.
"Mau cuci mata, apa mencari Edwin?"
Deg.
Qiana mendongak menatap Danial yang masih tetap berdiri dengan kaos putih tengah memegangi kursi yang Qiana pakai untuk duduk.
"Keppo" Qiana menunduk, dengan bibir manyun memainkan kancing jaket.
"Sekarang kita pulang, kasihan Nazran"
"Mau hujan-hujanan? Yakin kuat?!" Qiana meledek.
"Siapa yang mau hujan-hujanan, sih"
Dengan percaya diri, Danial hendak ke luar dari gubuk. Baru beberapa langkah, matanya mengerling kanan kiri teras gubuk mencari payung yang ia letakan di tempat tersebut, namun tidak ada.
Qiana terkikik geli, tanpa ia tahu, masih terdengar oleh Danial. Lantas kembali masuk mendekati Qiana.
"Kamu umpetin dimana? Payung saya?"
"Siapa yang umpetin payung sih? Tuh dibawa angin," Qiana menunjuk di mana payung telah terlentang penuh dengan air.
Dengan wajah kesal, Danial menerobos hujan, hanya dengan beberapa lompatan payung sudah dia pegang.
"Ayo pulang" Danial sudah tiba di depan pintu.
"Masih deras begini," Tolak Qiana, tak urung ke depan.
"Pakai payung ini"
"Berdua?" Qiana terperangah.
"Kalau kamu mau bermalam di tempat ini jadi santapan jurik, ya sudah" Danial hendak pergi.
"Eh, tunggu. Iya, iya. Mau" Qiana pun membonceng payung suaminya yang sebenarnya hanya muat satu orang, tetapi daripada sampai malam di tempat itu, lebih baik mengalah.
"Jangan cepat-cepat jalanya," Protes Qiana. Kesal, mengimbangi langkah kaki Danial tentu saja kesulitan, karena ia berjalan mengenakan rok panjang.
"Makanya jalan jangan seperti kura-kura. Lelet sih,"
"Kamu yang jalannya kaya binatang melata" Yang dimaksud Qiana adalah Ular.
"Jangan nempel-nempel kamu"
"Siapa yang nempel-nempel sih, sepatu saya basah ini," Wajah Qiana memerah tidak sengaja tanganya memegang lengan Danial lalu menariknya cepat.
"Modus" Ucap Danial.
"Idih! bawa payungnya yang benar makanya" Qiana ngomel-ngomel. Sebab payung yang suaminya pegang, ke bawa angin hingga sepatu mahal Qiana pun sudah kemasukan air.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Rena utami
ga banget deh...kesel sm si somplak...mau si somplak jatuh cinta sm qiana jg ga ikhlas gue...kesel bgt sm ortu nya qiana dan adiknya...
2024-02-03
3
Erina Munir
😂😂😂😂 jdo kaya bocah
2024-02-03
2
Dewi Anggya
astagaaaa masih sempat berdebat 🤭
2024-01-31
1