Cecil
Leon nampak menggandeng Lisa yang berjalan agak sempoyongan sampai ke mobil. Setelah Lisa masuk ke dalam mobil, dengan langkah yang juga agak sempoyongan karena pengaruh alkohol, Leon juga masuk ke dalam mobil. Benar yang Egi katakan, Leon mengemudi dalam keadaan mabuk. Gila!
Aku terkejut saat Egi melingkarkan tanganku ke pinggangnya. "Pegangan. Kita akan mengikuti mereka!"
Setelah memberikan uang tip pada petugas parkir, Leon mengemudikan mobilnya di jalan raya. Sambil menjaga jarak, Egi terus mengikuti mobil Leon. Udara malam semakin dingin, untunglah tanganku masih melingkar di pinggang Egi, rasa dingin sedikit bisa aku atasi.
"Siap-siap, Cil!" kata Egi. "Buka matamu lebar-lebar dan kalau takut cukup sembunyi di belakang punggungku!"
Deg!
Jantungku berdegup dengan kencang. Sebentar lagi aku akan melihat nyawa seseorang hilang di depan mataku.
"3."
"2."
"1."
Aku menahan nafas saat hitungan Egi mencapai angka 1 dan ternyata tak ada yang terjadi. Takdir berubah lagi. "Hati-hati, Gi. Turunkan kecepatan. Jangan sampai takdir buruk menimpa kita!" pesanku.
"Iya." Egi menurunkan kecepatan motornya. Kami tetap mengikuti Leon meski jarak kami menjadi semakin jauh. Tak apa, lebih baik kami mengutamakan keselamatan daripada takdir buruk jadi pindah ke kami.
Mataku tetap terfokus menatap mobil Leon. Mobil yang melaju cepat di jalan raya yang lengang dengan pengemudi yang mabuk menjadi penguasa jalan yang siap mengambil nyawa orang tak bersalah. Tak kulihat anak kecil berkeliaran di jam ini. Apa Egi salah lihat? Atau memang takdir yang berubah?
Egi tetap menjaga jarak sampai akhirnya kami melihat ada seorang kakek-kakek yang menyebrang di kejauhan. "Gi, jangan sampai, Gi. Jangan kakek itu, Gi! Cegah, Gi!"
Egi menambah kecepatannya namun sayang, jarak kami yang lumayan jauh tak bisa menghentikan takdir. Mobil Leon yang melaju kencang menabrak tubuh kakek-kakek sampai membuat tubuhnya terpental.
Egi menepikan motornya di tempat yang agak gelap. Jantungku bertalu cepat. Kecelakaan itu tetap terjadi, hanya korbannya berbeda, bukan anak kecil melainkan kakek-kakek.
Egi menaruh tangannya di depan bibirnya, menyuruhku yang sudah dipenuhi air mata untuk diam. "Mereka akan turun dari mobil." Egi mengeluarkan ponsel miliknya dan merekam semua kejadian yang terjadi.
Leon nampak keluar dari mobil dan menengok ke berbagai arah. Suasana sepi. Motor Egi juga tak terlihat karena kami bersembunyi di tempat gelap dan tertutup mobil yang parkir.
Setelah memastikan aman, Leon nampak memarahi Lisa yang menangis ketakutan dan menyuruhnya mengangkat tubuh kakek-kakek yang terbujur kaku dan kuyakin sudah meregang nyawa. Egi menutup helmku dan menarik tanganku melingkar di pinggangnya lagi seraya berbisik, "Jangan dilihat jika tak kuat."
Ini benar-benar bak mimpi buruk untukku. Aku tak menyangka akan melihat kejadian ini. Aku takut namun aku tetap ingin menjadi saksi perbuatan jahat Leon dan Lisa. Selain melihat dengan mata secara langsung, Egi juga merekam kejadian dengan kamera yang diletakkan di helm kami. Semakin banyak bukti, semakin kami akan aman.
Leon sudah memasukkan tubuh kakek-kakek itu ke dalam mobil. Setelah jarak mereka agak jauh, Egi kembali menyalakan motornya. "Kami masih kuat? Kalau tidak kuat, biar aku saja yang menyelesaikan semuanya."
Aku menghapus air mata yang memenuhi kedua mataku. "Aku ... kuat. Kejadian ini yang membuatku dilenyapkan oleh mereka. Aku akan ikuti sampai akhir. Ayo, kita lihat dua iblis itu berbuat kejahatan lagi!"
Egi langsung tancap gas, kami mengikuti mereka berdua. Pertama mereka pergi membeli cangkul lalu ke daerah sepi. "Kali ini takdir tidak berubah. Mereka tetap pergi ke tempat yang sama," kata Egi.
Benar yang Egi katakan. Mereka pergi ke sebuah hutan kecil, menurut Egi, ada bukit kecil di belakangnya. Egi memarkirkan motornya di tempat tersembunyi. Kami mengendap endap dan melihat apa yang dilakukan dua iblis itu.
Kami memangkas jarak agar bisa terdengar apa yang mereka bicarakan. Kulihat Leon dan Lisa sedang bertengkar hebat. "Lalu kamu mau apa? Lapor polisi? Sudah gila kamu!" maki Leon. "Kamu mau kita dipenjara karena sudah membunuh orang?"
"Aku tidak mau. Aku tak mau dipenjara dan aku juga tak mau menguburnya di sini! Aku takut, Leon. Aku takut. Kalau arwahnya terus menghantuiku bagaimana?" Lisa terlihat benar-benar ketakutan dan panik.
"Kamu percaya hal konyol kayak begitu? Sudahlah, kita harus menguburkan mayat lelaki ini sebelum pagi. Kamu bantu aku mengangkatnya!" perintah Leon.
Dengan terpaksa Lisa menuruti perintah Leon. Ia takut pagi datang dan masyarakat memergoki apa yang mereka lakukan.
"Sst! Cil, ayo!" Egi menyadarkanku yang diam terpaku.
"Eh, iya." Aku mengikuti Egi yang berjalan mengendap-endap memasuki area hutan kota. Gelap sekali, aku sampai beberapa kali terkena akar pohon dan hampir terjatuh.
"Sst!" kata Egi pelan. Ia menarik tanganku dan menggandengnya.
Jujur saja, aku takut berada di hutan kota ini. Selain agak gelap, aku juga takut ada makhluk halus yang akan aku temui. Ketakutan terbesarku adalah takut kami ketahuan Leon dan ikut dihabisi malam ini juga.
Kutatap tanda di lenganku, tanda itu masih ada berarti takdir burukku belum berubah. Langkah Egi terhenti, aku pun mengikutinya. Di kejauhan kulihat Leon sedang menggali tanah untuk menguburkan mayat korban. Leon nampak memarahi Lisa beberapa kali karena terus menangis.
"Kamu bisa diam tidak? Tangisanmu membuat orang lain datang dan memergoki apa yang kita lakukan!" bentak Leon.
"Aku ... aku takut, Leon. Aku tak mau dipenjara," kata Lisa sambil menangis sesegukan.
"Kamu tak lihat kalau aku sedang berusaha? Aku sedang menyelamatkan masa depan kita. Tenanglah, tak ada yang tahu. Semua sidik jari sudah kita bersihkan. Kalau kamu tutup mulut, kita akan aman. Sekarang, bantu aku menggali tanah ini!" perintah Leon yang terlihat bermandikan peluh. Lama kelamaan mataku terbiasa melihat di kegelapan. Apalagi Leon menyalakan senter ponselnya jadi aku bisa melihatnya dengan jelas dari kejauhan.
"Aku? Aku tak bisa menggali! Kamu saja! Kamu yang menabraknya, kamu saja yang menguburnya!" tolak Lisa.
"Dasar egois!" maki Leon yang kembali meneruskan menggali tanah.
Egi berbisik padaku, "Kita pergi sekarang!"
Aku mengangguk lalu mengikuti Egi pergi. Kami berjalan pelan-pelan mendekati pintu keluar taman. Sayangnya, aku tak melihat ada akar tanaman dan tersandung.
Brukk!
Aku menutup mulutku bahkan menggigit lidahku agar tak mengeluarkan suara. Namun suara jatuhku lumayan kencang. Apakah Leon mendengarnya.
"Siapa itu?" tanya Leon.
Gawat!
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
ㅤㅤㅤ ㅤ🍃⃝⃟𝟰ˢ𝐀⃝🥀✰͜͡v᭄ʰᶦᵃᵗ
wowww bacanya BKIN degdegan
2024-11-05
0
Aysana Shanim
Waduh deg degan...
2024-06-17
0
💜🌷halunya jimin n suga🌷💜
tegang euyyyyy
2024-02-18
1