Welcome Back Cecil

Welcome Back Cecil

Tak Ada Hari Secerah Mentari

Cecil

Sinar mentari terasa cerah pagi ini. Rasanya baru semalam hujan turun amat deras mengguyur muka bumi ini, menyisakan bau tanah yang lembab namun kini udara dingin bekas semalam terganti dengan hangatnya sang mentari.

Sayangnya, meski hari cerah, di mataku semua hari selalu suram, kelabu, gelap dan seolah menyimpan kejutan menakutkan di dalamnya. Aku menghela nafasku dalam seraya memberanikan diri memasuki bangunan yang selalu riuh dengan suara tawa. Bahkan suara tawa itu terlalu kencang sampai menutupi suara tangisanku saat aku disakiti.

...Stop bullying. Stand Up. Speak Out. ...

Sebuah poster yang ada di depan sekolahku. Cih, semua tulisan di poster itu palsu! Hanya pencitraan semata. Bagaimana kalau pelaku bullying adalah anak dari pemilik yayasan sekolah? Apakah tulisan di poster itu masih berarti? Apakah ada keadilan di sekolah ini? Jangan harap!

Namaku Cecilia Pramesta Putri, siswi kelas 12 sekaligus siswi pindahan di sekolah menengah atas ini. Sejak pertama aku menginjakkan kakiku di sekolah bergengsi ini, tak sekalipun hidupku tenang. Tak sekalipun aku bisa belajar tanpa diganggu oleh sang penguasa sekolah. Tak sekalipun aku bahagia. Sekolah ini ibarat neraka berkedok lembaga pendidikan. Palsu semua, cih!

Aku tidak takut.

Aku tidak mundur.

Namun aku tak berani bersuara seperti isi poster tersebut. Aku tak mau Papaku yang akan kena imbasnya kelak. Aku hanya bisa bertahan. Sabar. Hanya setahun lagi dan aku bisa keluar dari neraka ini.

Kunaiki anak tangga menuju ruang kelasku. Baru saja membuka pintu, sebuah ember berisi tepung yang diletakkan di atas pintu dengan sengaja tumpah mengenai tubuhku. Aku bak pisang goreng yang berselimut tepung, semua putih dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tepung tersebut bahkan ada yang terhirup dan membuatku terbatuk-batuk.

Suara tawa teman-teman jahanam di kelas bak musik sumbang di telingaku. Mereka bahagia di atas penderitaanku. Bagi mereka apa yang terjadi padaku adalah perbuatan yang lucu. Cih! Lucu apa? Dasar kalian semua titisan iblis!

Kutepuk seluruh tubuhku yang penuh tepung. Kubiarkan debu tepung terbang mengenai siapa saja. Aku tak peduli. Kubersihkan semampuku lalu duduk manis di kursiku. Tak lama, guru Bahasa Inggrisku masuk. Ia menatapku dengan kening berkerut. "Cecil, kamu ... kenapa? Kamu yang membuat kelas penuh tepung? Cepat bersihkan!"

See?

Bahkan guru yang seharusnya menjadi tempatku meminta perlindungan pun menyalahkanku, bukan membelaku. Aku berdiri dan membersihkan bekas tepung seraya menyimak pelajaran yang diberikan. Masih ada saja yang menertawakanku. Nafasku mulai sesak, cepat-cepat aku mengambil Ventolin milikku. Jangan sampai penyakit asma-ku kumat. Mereka pasti akan tambah senang nanti.

Kuberikan tatapan tidak suka pada Lisa Anggada, anak dari Anggada Yudha, pemilik yayasan sekolah serta bos di tempat Papaku bekerja. Ia tersenyum mengejek padaku. Aku tahu, ini perbuatannya. Bukan sekali saja ia melakukan ini padaku, sudah tak terhitung berapa kali ia membullyku namun semua teman sekelasku mendukungnya. Mereka takut pada Lisa, saking takutnya mereka bahkan sampai tak punya hati nurani lagi.

Aku kembali duduk di kursiku setelah membersihkan tepung. Aku hendak mengambil tas milikku di laci ketika kurasakan jariku digigit sesuatu. Aww!

Aku berdiri dan terkejut saat seekor tikus loncat dari laciku. Jariku berdarah dan terasa sakit akibat gigitannya. Kelas langsung ramai karena tikus yang ingin kabur. Mereka berteriak ketakutan dan naik ke atas kursi. Kelas langsung gaduh.

Tak ada yang menanyakan keadaanku. Tak ada yang peduli. Semua ketakutan karena tikus. Tak ada yang bertanya tentang lukaku. Semua hanya memikirkan keadaannya sendiri.

"CECIL! Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membawa tikus ke sekolah?" Lagi-lagi guruku menyalahkanku. Apa beliau tak tahu kalau aku juga korban? Tak lihat jariku yang berdarah? Aku mungkin tertular penyakit dari hewan menjijikkan itu tapi kenapa malah aku yang disalahkan?

"Bu-bukan aku yang membawanya, Bu," kataku dengan suara terbata.

"Keluarkan tikus yang kamu bawa, saya tunggu kamu di ruang BP!"

Bu Guru lalu pergi meninggalkan teman-temanku yang menyorakiku. Aku harus mengusir tikus padahal darah bekas gigitan tikus masih menetes dari tanganku. Tak ada yang peduli padaku sama sekali. Mereka tahu bukan aku pelakunya namun mereka memilih ikut menyalahkanku. Tak ada yang membelaku. Kalian sungguh kejam! Kalian tak punya hati nurani!

Aku melirik gadis yang duduk di kursi belakang, Anita. Ia sama sepertiku, sasaran bullying teman-teman namun Anita lebih beruntung. Setidaknya ia tak pernah mengalami hal-hal berat seperti yang kurasakan saat ini. Anita hanya dikerjai yang ringan saja. Baik aku maupun Anita hanya bisa pasrah dengan nasib kami. Tak ada yang berani melawan penguasa sekolah. Punya senjata apa kami untuk melawan? Bisa makin berat hidup kami kalau melawan Lisa Cs.

Aku hanya bisa mengutuk dalam hati. Aku tak berani melawan mereka. Aku hanya batu kerikil kecil di antara batu besar. Jika aku melawan, maka aku akan hancur. Satu keberuntunganku hari ini, tikus itu pergi tanpa perlu susah payah aku tangkap.

Kini aku harus pergi ke ruang BP. Aku harus mempertanggung-jawabkan kesalahan yang bukan kulakukan. Di jalan, aku berpapasan dengan Leon, teman akrabku satu-satunya di sekolah ini. "Cecil? Tangan kamu kenapa?"

Aku tak menjawab pertanyaannya. Leon menarik tanganku dan membawaku ke ruang UKS. Ia mengobati lukaku dan tak lagi bertanya apa yang terjadi. Leon berbeda dibanding yang lain. Hanya Leon yang masih memiliki hati nurani di sekolah ini. Sayangnya, Leon adalah kekasih Lisa.

"Aku ... tak apa. Terima kasih," kataku dari hati yang paling dalam.

"Keterlaluan mereka!" Leon nampak murka dan mengepalkan tangannya sampai buku jarinya memutih.

"Aku ... harus pergi ke ruang BP."

Baru saja aku hendak keluar ruangan, tangan Leon menghentikanku. "Katakan saja yang terjadi dengan jujur. Kamu berhak membela diri."

Aku mengangguk pelan. Kulepaskan tangan Leon dan siap menerima apapun yang terjadi di ruang BP. Aku berkata jujur dan membela diri pun tetap saja tak dipercaya. Aku kalah dibanding seisi kelas yang bersaksi kalau aku memang membawa tikus ke sekolah. Aku pun dihukum mengepel satu lantai sepulang sekolah.

"Cecil? Kamu sedang apa?"

Aku mengangkat wajahku dan melihat Leon berdiri di depanku yang sibuk mengepel lantai.

"A-aku ... sedang mengepel lantai," jawabku dengan gugup.

"Ck! Mereka benar-benar keterlaluan ya!" Leon nampak sangat marah. Wajah tampannya memerah dan buku tangannya memutih karena menahan amarah.

"Ma-maaf," kataku dengan takut. Lagi-lagi aku selalu gugup saat berbicara. Ini yang membuatku tak bisa membela diri dan selalu dibully.

"Kamu tak salah tapi kenapa kamu yang menanggung semuanya. Aku akan membuat mereka meminta maaf secara benar padamu dan tak akan membuatmu menderita lagi!" Leon mengeluarkan ponsel miliknya dan terlihat amat marah. Aku melanjutkan pekerjaanku dan terkejut saat Leon mengabarkan sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Aku berhasil! Lisa dan teman-teman yang lain menyesal dan akan minta maaf sama kamu. Mereka meminta kamu datang ke tempat ini." Leon memberikan secarik kertas padaku. "Mereka menunggumu."

Benarkah apa yang Leon katakan? Haruskah aku mempercayainya?

*****

Terpopuler

Comments

ㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤ𝐀⃝🥀✰͜͡v᭄ㅤ❣️

ㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤ𝐀⃝🥀✰͜͡v᭄ㅤ❣️

ratain aja ke semua temenmu biar adil sekalian

2024-11-05

0

Alivaaaa

Alivaaaa

aku mampir Thor 😊

2024-07-24

0

barning sipp

barning sipp

aku mampir kk baru sempet baca 😊😊😊

2024-03-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!