Setelah sarapan bersama pagi itu, Gea mengajak Ara ke butik milik Anala.
"Eh, ada cucuku" ucap Gea senang saat melihat Ale duduk di atas stroller.
"Selamat datang, mbak" sapa Anala.
"Terima kasih, dik."
Sementara Anala dan Gea dan sibuk membuka katalog untuk gaun dan baju seragam saat resepsi nanti, Ara menyibukkan diri menguyel uyel Ale.
"Sayang, gaun untuk pedang pora nya mau warna apa?" tanya Anala.
"Hijau sage di mix dengan sedikit warna silver boleh?" tanya Ara.
"Boleh, nak."
Mereka memilih warna dan juga model kebaya sambil zoom dengan Arawinda yang masih berada di Atlantis.
"Anala, mbak masih harus mengajak Ara ke suatu tempat. Boleh?" tanya Gea.
"Boleh, mbak. Jangan sungkan, bagaimana pun Ara sudah menjadi putri mbak juga."
Gea menatap Ara yang sedang bermain dengan Ale di luar ruangan yang dibatasi oleh kaca.
"Kamu hebat, dik. Bisa membesarkan dan mendidik dik Ara dengan sangat baik, hingga ia tumbuh dengan cantik dan berkarakter. Ara pasti sangat beruntung memiliki kamu"
"Terima kasih, mbak. Semoga mbak juga merasa beruntung karena menjadikan Ara sebagai menantu mbak" harap Anala.
Setelah makan siang bersama di dalam ruangan Anala, Gea lalu pamit. Ia tidak pergi sendiri, melainkan membawa Ara dan Ale bersamanya. Di saat seperti ini, perasan Anala kadang tidak baik-baik saja. Anak yang ia besarkan sebentar lagi akan menjadi menantu orang lain.
Mobil yang dikendarai oleh om Fauzan berhenti di depan rumah berukuran sedang tapi dua lantai. Ada mobil dinas milik Hirawan yang terparkir di depannya, juga mobil HRV hitam.
"Ini rumah pribadi untuk kalian tinggali nanti. Ayah berharap kalian - terutama dik Ara bisa tinggal di asrama agar bisa mendampingi kak Altair dalam bertugas. Namun jika terasa berat, tinggal lah di sini. Jaraknya dari kesatuan juga tidak jauh." ucap Hirawan.
"Ayah, Al masih bisa lho buat bikin rumah sendiri. Meskipun gak sekarang " ujar Altair.
"I-iya , om. Ara juga mau kok tinggal di asrama" dukung Ara atas argumen Altair.
Hirawan menghela napasnya, sembari berpikir kalimat yang akan ia ucapkan.
"Seandainya dik Ara adalah putri dari Adiyaksa seorang, ayah tentu tidak masalah dengan semuanya. Lebih jauh daripada itu, dik Ara juga putri seorang Endra. Adiyaksa mungkin mengajarkan anak-anaknya untuk mandiri dan di didik dengan tegas, khas militer, namun berbeda dengan Endra. Ayah bisa menebak jika Endra membesarkan dik Ara dengan sangat lembut dan penuh keistimewaan. Ayah tentu mengerti dengan pola asuh seperti itu dan sebenarnya ayah juga ingin menerapkan kepada anak-anak ayah, namun ayah tidak bisa karena jiwa militer ini memang sudah membumbung tinggi. Ini adalah satu-satunya cara yang ayah dan ibu bisa untuk memperlihatkan kesungguhan kami sebagai orang tua yang ingin anak-anaknya hidup bahagia, bukan hanya sebatas karena pelepasan janji saja."
"Ayah...-"
Ara menghentikan ucapannya saat melihat tangan Hirawan terangkat.
"Terima lah pemberian orang tua ini dik Ara."
Altair mengusap kasar wajahnya. Ia tentu sangat paham dengan maksud Hirawan.
Setelah pembicaraan itu berakhir, Ara mengelilingi rumah ini bersama Gea. Ale sudah diambil oleh Hirawan dan juga Altair.
"Beberapa alat yang sering terpakai sudah ibu siapkan."
"Sungguh, bu. Ara merasa tidak enak" jujur Ara.
"Papi dan mami memang membesarkan Ara dengan caranya sendiri, namun beliau tidak pernah lupa mengajarkan cara hidup sederhana kepada Ara. Semua ini tidak perlu, Bu. Ara siap kok temani kak Altair berjuang dari bawah, dari hal yang paling kecil." kata Ara lagi.
"Ibu memang gak salah pilih menantu " Gea mencubit pelan hidung mancung Ara sambil tersenyum.
"Anggap saja ini hadiah untuk dik Ara dan kak Altair. Okay? Kalau senggang dan tidak ada kegiatan di satuan, dik Ara kesini saja hidup sebagai Aurora"
"Terima kasih, bu" Ucap Ara. Mau menolak pun percuma. Rumahnya sudah terbeli, isinya juga sudah ada beberapa.
Jam 5 sore, Altair mengantarkan Ara dan Ale pulang.
"Maaf kak, kalau kedatangan Ara membuat orang tua kakak repot seperti ini" ucap Ara, sekaligus membuka percakapan setelah dilanda kesunyian sebab si yang paling suka mengoceh sedang ketiduran.
"Saya juga tidak bisa berbuat banyak, dik. Saya memang sering mendengar ayah membahas rumah belakangan ini, tapi pikiran saya tidak sampai kesana. Ayah bahkan membangun rumah di tengah kota kota seperti ini, hal yang sangat mustahil jika dipikirkan dengan logika"
Benar, ucapan Altair tadi ada benarnya. Di pusat kota besar seperti Cakrawala ini, sangat mustahil rasanya membangun rumah di lokasi impian.
Drrrttt drrtttt
Ujung mata Ara tidak sengaja melihat id caller pada layar ponsel Altair, dimana tertulis My Al dibagian atas, sementara ada foto kecil dibawahnya. Ara langsung bisa menebak jika penelpon tadi adalah orang yang sama, yang dibahas di lapangan pagi tadi.
Keheningan kembali terjadi hingga mobil Altair berhenti di depan gerbang tinggi milik Endra. Siapa pun bisa tahu jika pemilik rumah bukan orang sembarangan.
"Hati-hati, pegang kepala Ale, jangan sampai terbentur" ujar Altair.
Duk
Bukan kepala Ale yang terbentur, tapi kepala Ara.
"Yah, saya salah perkiraan sepertinya" ucap Altair.
Ara meringis malu, juga sedikit sakit.
"Terima kasih kak"
Ara langsung menidurkan Ale di kasurnya. Setelah memasang pembatas di sisi tempat tidurnya, Ara segera memasuki kamar mandi. Ia sangat butuh air untuk membilas badannya yang seharian ini bergerak terus tanpa beristirahat. Ini masih H-14 menuju pelepasan masa lajangnya, tapi Ara sudah merasakan turbulensi pada kehidupannya. Bagaimana dengan hari-hari selanjutnya, pasti makin banyak hal tidak terduga lainnya yang bisa jadi terjadi.
Persiapan pernikahannya juga dalam tahap 50% menuju selesai. Hanya menunggu undangan kelar dicetak dan baju-baju sudah di jahit
Waktu, janganlah cepat berlalu. Ara masih ingin jadi anaknya papa dan mama, masih jadi ingin kesayangan papi dan mami dan juga masih ingin menjadi adik kesayangan kak Tama dan mbak Ayra. Ara masih belum siap menjadi menantu, menjadi istri dan juga menjadi ipar. Waktu, lebih santai lah sedikit, monolog Ara dalam hatinya.
Cukup lama Ara berada di dalam kamar mandi, namun saat ia telah berganti pakaian, Ale juga belum bangun. Jadilah Ara melakukan kegiatan yang lain, yaitu menghapal lagu-lagu persit yang sebenarnya belum ia hapal. Untung saja Hirawan yang akan menjadi mertuanya. Jika bukan Hirawan, Ara sudah tidak tahu harus bagaimana lagi.
From : 085397xxxxxx
Ini nomor saya, Altair.
Fyuhhhh
Ara lalu menyimpan nomor tersebut di kontak ponselnya dengan nama kontak Kak Altair .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments