Dua pekan ini Ara bekerja seperti biasanya. Pagi hari ia akan berangkat ke rumah sakit, dan pulang saat jarum jam menunjukkan angka 2 siang. Ara tidak lagi kebagian shift siang dan malam seperti teman-temannya yang lain.
Ara menatap jam dinding yang ada di ruangannya, sudah menunjukkan angka 12 siang, waktunya untuk istirahat. Teman-temannya yang berada di make-up area juga berada di ruang makan. Saat akhir tahun begini, para administrator memang sedang sibuk-sibuknya. Seperti Ara yang harus mengerjakan laporan triwulan tentang alkes dan lain sebagainya
Ara hendak beranjak ke meja makan, namun ia tahan dan kembali duduk saat melihat papanya menelpon.
Papa is calling....
"Halo, pa!" sapa Ara riang seperti biasanya.
"Halo sayangnya papa. Lagi sibuk yah?" tanya Adiyaksa di Atlantis sana.
"Ini lagi mau makan siang kok, pa. Papa sehat?"
"Papa sehat sekali. Ya sudah, telponnya dimatikan saja. Ini papa sudah mau boarding "
Mata Ara berkedip-kedip sembari berpikir, kemana papanya akan pergi? Namun itu tidak berlangsung lama, sebab perutnya juga minta diperhatikan, minta diisi.
"Bu admin nih" goda Yuyun.
"Kak, jangan gitulah. Rasanya pengen kebagian shift malam saja. Mana semuanya mesti dilaporkan" rengek Ara.
Raditya, teman dinas Yuyun ikut tertawa pelan mendengar curhatan Ara. Menjadi administrator memang tidak semudah itu, butuh kesabaran dan ketelitian di atas rata-rata.
"Jangan misuh misuh gitu, gue tahu lo pasti senang, soalnya besok udah Sabtu dan hari Senin nanti tanggal merah" tuding Yuyun.
Mendengar ucapan Yuyun barusan, mata Ara kembali cerah.
"Aku sampai gak kepikiran kalau nanti long libur" ringis Ara.
Jam dua siang, Ara sudah meninggalkan ruangannya. Ia bahkan sudah berjalan di lorong yang akan membawanya ke lobi rumah sakit. Langkahnya terhenti saat melihat Altair berlari dengan wajah cemasnya, Ara melihat kemana arah langkah kaki lelaki itu. IGD PONEK. Mungkinkah ada kerabatnya yang akan melahirkan? pikir Ara. Tidak ingin berandai-andai dan banyak pikiran, Ara melanjutkan langkahnya menuju tempat parkir.
Tiba di rumah, Ara dikejutkan dengan kedatangan papa dan mamanya.
"Kok?" heran Ara.
"Surprise dong" Arawinda mencubit pelan hidung mancung anaknya.
Ara tentu saja senang melihat papa dan mamanya datang.
"Baby Ale rewel gak mi?" tanya Ara pada Anala.
"Gak, sayang. Selalu anteng " jawab Anala.
"Nak, habis bersih-bersih ikut papa ke kantor papi mu yah" pinta Adiyaksa.
"Iya, pa"
Anala menatap Arawinda dengan tatapan khawatir nya.
"Anak kita akan baik-baik saja , dik. Jangan khawatir" Arawinda berusaha menenangkan adik iparnya. Ia tentu mengerti dengan kecemasan sang adik ipar yang telah membantunya mengurus Ara. Sejak Ara SMP, Anala bahkan lebih dekat dengan Ara.
Anala pasrah saja. Ia tidak bisa berbuat banyak, tapi doanya selalu melangit untuk ponakannya, terutama untuk Ara yang sudah seperti anaknya sendiri.
Ara menyempatkan untuk menyusui Ale dulu sebelum ikut papanya. Mobil yang dikendarai oleh Adiyaksa sudah terparkir rapi di halaman kantor. Gedungnya sangat tinggi, ada 30 lantai. Bagaskara Group adalah perusahaan keluarga yang bergerak di bidang peternakan, pertanian, kesehatan dan juga pertambangan. Dan Bagaskara bersaudara hanya tersisa Adiyaksa dan juga Endra. Tama tentu saja ikut andil di dalamnya, lelaki itu menyibukkan diri di sektor pertanian dan juga peternakan yang memang berpusat di Tyria, kabupaten tetangga yang jaraknya kurang lebih 50 KM dari pusat kota Cakrawala.
"Ara?" panggil Adiyaksa.
Ara yang sedang melihat kendaraan yang berlalu lalang lewat jendela kaca di depannya, menoleh menatap papanya.
"Duduk, nak" ucap Adiyaksa lagi.
Ara lalu duduk di sofa, sebelah Endra. Sementara Adiyaksa duduk di sofa tunggal.
"Ada apa, pa?" tanya Ara.
"Beberapa puluh tahun yang lalu, papa pernah bertugas ke daerah rawan. Ada suatu peristiwa yang terjadi, yang membuat papa dalam bahaya, dalam kondisi berpasrah diri jika seandainya papa memang harus meninggal saat itu. Pada saat itu hanya ada papa dan seorang teman papa. Tidak ingin pergi dalam keadaan bersedih, kami, papa dan teman papa membayangkan banyak hal indah. Jika kami pergi saat itu, setidaknya kami pergi dalam keadaan senang karena hal-hal indah yang ada dalam pikiran kami. Salah satu hal indah yang papa banyangkan saat itu adalah, papa dan teman papa akan menjadi keluarga di masa depan yang sah dimata hukum. Kami berjanji untuk menjodohkan anak-anak kami, sebagai wujud syukur persahabatan kami. Ternyata Tuhan masih memberikan kesempatan hidup kepada papa dan teman papa, hingga masih bisa menghirup udara sampai detik ini. Pertanyaan papa, maukah Ara menolong papa untuk menepati janji papa?"
Ara terdiam cukup lama, tidak tahu harus mengatakan apa. Ia tidak punya alasan untuk menolak permintaan papanya, sebab sebelum melakukan induksi laktasi beberapa bulan yang lalu, ia juga pernah berjanji kepada papanya untuk mematuhi semua ucapan sang papa.
"Kalau Ara tidak bersedia, ngomong nak" ucap Endra.
Ara menatap Endra yang terlihat keberatan dengan keputusan sang papa.
"Apa ini adalah timbal balik dari program laktasi itu?" tanya Ara.
"Bisa dibilang iya. Seandainya kamu menolak dijodohkan karena hanya janji papa, kamu tidak akan menolak karena janjimu sendiri. Bukan begitu Aurora Denaya?"
Ara mengangguk pasrah.
"Terserah papa" jawab Ara pada akhirnya.
Endra menghela napasnya. Ara memang sudah kalah sebelum berperang. Ingin menentang kakaknya pun percuma, sebab kakaknya sudah menyusun strategi yang membuat ia dan Ara tidak bisa berkutik.
"Terima kasih, sayang" ucap Adiyaksa.
"Dih, sekarang aja bilang sayang , kemarin kemana aja?" cibir Endra.
Adiyaksa tertawa kecil mendengar ucapan adiknya yang memang cukup sensitif jika hal itu menyangkut tentang Ara.
"Mau ice cream?" tanya Endra pada Ara. Ia tahu jika mood putrinya sedang tidak baik-baik saja.
"Mau yang coklat vanila, pi" pinta Ara.
Endra lalu berjalan menuju pintu yang ada di dalam ruangannya. Di dalam sana ada kamar kecil yang sering ia gunakan sebagai tempat beristirahat.
"Kakak gak ditawari?" tanya Adiyaksa.
"Endra masih ngambek yah" ucap Endra, tapi tetap membawa sebotol kopi instan untuk kakaknya.
"Papa dan papi jangan berantem dong. Ara baik-baik saja kok. Namanya juga janji, harus ditepati"
Jadi siapa yang mampu menolak gadis cantik dan baik hati seperti Ara? Tidak ada.
"Padahal papi sudah menyiapkan banyak kandidat untuk kamu, nak" beritahu Endra.
"Endra, jangan rusak pikiran putriku" sergah Adiyaksa.
"Jangan lupa jika Ara juga putriku " Endra tidak mau kalah.
Ara menghela napasnya. Ia lalu menyalakan kamera ponselnya.
"Papa, papi, madep sini"
Dua lelaki itu kompak menatap kemera. Wajah Ara berada di tengah.
"Fotonya langsung dicetak yah sayang, nanti papi minta orang buat beli bingkainya"
Ara mengangguk. Ia menghabiskan ice cream nya terlebih dahulu sebelum duduk di kursi kebesaran Endra dan mencetak foto tadi.
"Papa juga mau fotonya" Adiyaksa tidak mau kalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Arwet Bach
Ara pinter
2024-03-28
2