Karena Arumi masih harus izin untuk beberapa lama, Ara dimintai tolong untuk menggantikan Arumi sementara waktu sebagai admin untuk mengurus segala administrasi di instalasi CSSD.
Mama is calling....
"Halo, sayang?" sapa Arawinda di telpon.
"Iya, ma?"
"Temani mama besuk Tante Gea, boleh? Gak sibuk kan?"
Ara menghela napasnya sebelum menjawab, "Boleh, ma. Mama dimana sekarang?"
"Mama di parkiran mobil."
"Tunggu di sana, ma. Biar Ara jemput mama di bawah"
Ara lalu memberitahu temannya yang kebagian dinas pagi sebelum meninggalkan ruangannya.
"Maaf, membuat mama menunggu " ucap Ara.
Arawinda tersenyum melihat anaknya yang sangat manis dengan setelan kerjanya. Rambut sebahunya diikat setengah.
"Gak apa-apa, sayang. Ayo!"
"Ra, barang mama nih" tunjuk Tama pada paper bag berwarna coklat.
"Kakak mau kemana?" tanya Ara.
"Mau temanin papa, astaga. Posesif banget kamu, mbakmu aja gak banyak tanya kok" Tama memang senang menggoda adiknya.
"Ma,kakak tuh" adu Ara.
Arawinda terkekeh kecil.
"Sudah sudah, bertengkar nya nanti dilanjut " lerai Arawinda.
Ara lalu berjalan di sisi mamanya sambil menenteng paper bag. Sesekali ia membalas sapaan teman-teman kerjanya yang mengenalnya.
"Ara banyak teman di sini, pantesan gak mau ikut mama pulang" ucap Arawinda.
"Ya mau gimana, ma. Ara kan sejak SMP di sini" Ujar Ara.
Tidak butuh waktu lama, dua perempuan itu tiba di lantai 8. Masih ada beberapa tentara yang duduk di depan ruang perawatan VVIP - yang berada di ujung ruangan. Karena kemarin sudah melihat wajah Arawinda, ajudan itu tidak lagi menahan langkah keduanya, malah membantu membukakan pintu.
"Eh, Arawinda" Gea dengan cepat me-notice keberadaan sahabatnya.
"Gak apa-apa kan yah kalau aku datang lagi?"
Gea tertawa kecil.
"Gak apa-apa, dong. Malah senang, ada temannya "
Pandangan Gea lalu jatuh kepada gadis yang memakai rok panjang yang menutupi hingga mata kakinya, juga baju lengan panjang yang menutupi hingga pergelangan tangannya. Ada logo rumah sakit yang tertempel pada bahu kirinya.
Menyadari tatapan Gea tertuju pada dirinya, Ara dengan cepat berjalan mendekati Gea.
"Selamat pagi menjelang siang, Tante." Ara lalu menjabat tangan kanan Gea, lalu menempelkannya pada bibirnya.
"Anak ketiga ku, Gea. Waktu di asrama dulu, kehadirannya saja belum aku bayangkan" kata Arawinda.
Ucapan terakhir Arawinda membuat Gea tertawa kecil.
"Ada-ada saja kamu. Tapi untung saja adik cantik ini lahir" syukur Gea.
"Duduk dulu gih." suruh Gea saat menyadari tamunya masih berdiri.
Sebelum duduk di sofa , Ara menyimpan paper bag yang dibawanya di atas nakas.
Pintu dibuka dari luar.
"Maaf, bu. Ta-.." ucapan Altair terhenti saat menyadari keberadaan orang lain selain ibu dan adiknya.
"maaf, Tante" ucap Altair cepat.
Arawinda tersenyum.
"Tidak apa-apa, nak. Santai saja"
Ara menunduk, tidak tahu harus berbuat apa.
"Kak, tolong ambilkan cemilan untuk Tante Arawinda dan dek Ara"
Tanpa menunggu lama, Altair berjalan ke kulkas, lalu mengeluarkan box kue dan juga dua cup jus jeruk.
"Terima kasih" ucap Ara saat satu cup jus jeruk itu mendarat di depannya. Ia mengangkat wajahnya sebagai bentuk penghargaan nya kepada orang lain.
"Eh!" kaget Altair.
"Dik Ara, ini anak Tante. Namanya Altair." beritahu Gea.
"Sudah pernah ketemu, bu" lapor Altair.
"Kalian sudah kenal?" tanya Arawinda excited.
"Kapan hari pernah ketemu, ma. Waktu Tante Gea di operasi juga sempat berpapasan di depan ruangan" kini Ara yang melapor kepada mamanya.
"Wah, kabar baik nih" Gea sama excited nya dengan Arawinda.
Altair bisa menebak, andai saja Gea tidak terbaring di atas ranjang rumah sakit, bisa ia pastikan ibunya itu akan berjingkrak-jingkrak senang.
"Silahkan di minum Tante, dik. Saya harus bersiap-siap untuk kerja" pamit Altair sebelum hilang ke sekat ruangan yang ada di sebelah.
"Mama mau di sini saja?" tanya Ara pelan, agar suaranya tidak terdengar oleh Gea.
"Iya. Kalau Ara sudah pulang, telpon mama yah. Biar pulangnya barengan"
Ara mengangguk. Ia lalu berdiri dan berjalan mendekati bed pasien.
"Tante, Ara pamit kerja yah. Semoga lekas pulih" ucap Ara.
Tangan kanan Gea terangkat dan mengelus lengan Ara yang tertutupi pakaian kerja.
"Iya, sayang. Terima kasih, yah. Pulang kerja nanti, ke sini lagi yah"
"Baik, Tante " Ara tentu tak lupa mengecup pipi mamanya sebelum meninggalkan mamanya di ruang perawatan sahabatnya.
Ara duduk di kursi yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit. Kursi khusus untuk menunggu lift. Derap langkah kaki mendekat ke arahnya, namun itu tidak membuat Ara repot meski hanya untuk mendongak.
"Kerja di sini?" tanya seseorang.
Ara menoleh ke kiri, di ujung kursi panjang yang sedang ia duduki, ada Altair yang mengisi kekosongan.
"Iya, om"
"Om?"
"Biasanya panggil om ke om-om tentara" jujur Ara.
"Saya belum setua itu. Panggil saya kakak"
"Saya dan om tidak sedekat itu untuk mengubah panggilan saya."
"Biasakan dirimu, dik. Karena cepat atau lambat saya dan kamu akan sering bertemu " ucap Altair sebelum beranjak karena pintu lift sudah terbuka.
Ara juga ikut berdiri dan memasuki lift. Di dalam kotak besi berukuran 2x2 meter itu, mereka hanya berdua dan terjadi keheningan sebelum lift berhenti di lantai 3.
"Duluan om" ucap Ara sebelum keluar dari lift.
Senyum Altair terbit saat mendengar ucapan Ara barusan. Ia tentu mewajarkan sikap Ara. Di saat orang lain berlomba-lomba ingin dekat dengannya, perempuan itu malah biasa saja. Mungkin karena papanya adalah seorang tentara juga, jadi sejak kecil ia sudah terbiasa dengan banyak hal tentang prajurit. Senyum Altair tidak pudar seolah melupakan kesedihan yang menimpanya pagi tadi karena harus memutuskan hubungannya dengan Alexi, tentara muda yang bertugas di Yonif 127 MHL.
Altair menghela napasnya sebelum berlari kecil menuju Yonif 12x CRE tempat ia bekerja. Jaraknya dari rumah sakit tidak lebih dari 1 KM, hanya dipisahkan oleh jalan raya provinsi.
"Bagaimana keadaan ibu?" tanya Erlan, sahabat Altair.
"Sudah lebih baik " jawab Altair.
Altair sedang ada kegiatan menembak. Lelaki itu cukup jitu dalam bidang tersebut. Seperti halnya sekarang, ia sedang mengambil posisi yang baik dan sesuai dengan ajaran yang ia dapatkan. Kedua kakinya ia buka selebar bahu dan memastikan posisi badan yang nyaman untuk meletuskan pistol. Ia lalu memicingkan salah satu matanya untuk mensejajarkan pembidik depan dan belakang. Sasarannya kali ini berada di jarak 25 Meter. Saat aba-aba peluit mulai terdengar, Altair lalu melepaskan tembakannya sebanyak 3 kali. Seperti yang sudah-sudah, orang-orang di sana akan bertepuk tangan pada akhirnya karena Danton kesayangan berhasil menyentuh angka 10.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Nur Ain
tuh udah ada kekasih tu
2024-03-30
2