Ara duduk manis di kursi penumpang seat depan. Di sebelahnya ada Tama yang mengendarai mobil.
"Padahal Ara capek, kak. Ingin rasanya rebahan saja sampai pagi" rengek Ara.
Tadi ia dijemput paksa oleh Tama, padahal ia sudah menolak. Tubuhnya terasa remuk, tidak sanggup untuk berjalan. Namun apa daya, ia tidak bisa mendebat si kakak.
"Gak lama, dik. Kamu juga gak ngapa-ngapain. Tidur aja kalau kamu ngantuk, kakak gak bakal isengin kamu" kata Tama.
Ara benar-benar memejamkan matanya. Ia memang sangat mengantuk dan capek.
"Sendirian saja?" tanya Adiyaksa pada putranya.
"Sama adik, pa. Tapi tertidur di mobil" Jawab Adiyaksa setelah mencium punggung tangan papanya. Ia lalu beralih memeluk mamanya.
"Mama rindu sekali" ucap Arawinda. Padahal ia baru pekan lalu mereka berpisah.
"Lebih cepat, kasihan adikmu" kata Adiyaksa.
Sementara di mobil, Ara baru saja bangun. Ia mencari keberadaan kakaknya, namun tak ia temukan. Saat akan membuka pintu mobil, ia dikejutkan dengan terbukanya pintu pengemudi.
"Eh, anak papa sudah bangun yah" sapa Adiyaksa setelah duduk di seat belakang.
"Maaf, pa. Tadi ketiduran. Kak, tunggu dulu" dengan cepat Ara berpindah ke seat belakang, duduk diantara mama dan papanya yang sudah menguyel dirinya.
"Makin cantik saja anak mama ini" ucap Arawinda.
"Mamaku kan juga cantik " Ara dan mulut manisnya memang tidak perlu diragukan lagi.
"Habis dinas yah dik?" tanya Adiyaksa.
"Iya, pa. Makanya tadi ketiduran" jawab Ara.
Tama hanya diam bak supir beneran, menyaksikan nona muda dan kedua orang tuanya saling melepaskan rindu.
"Tama, langsung ke rumah sakit saja yah" kata Adiyaksa.
"Papa mau ngapain di rumah sakit?" tanya Tama.
"Mau ketemu teman lama" jawab Adiyaksa.
Tama mengangguk mengerti.
"Adik tunggu di kantin saja yah papa, mama" pinta Ara.
"Iya, sayang. Kalau Tama?"
"Ikut adik saja, ma" Tama menjawab pertanyaan mamanya.
Adiyaksa lalu membawa istrinya menuju lantai 8 rumah sakit, dimana sahabatnya berada. Lelaki paruh baya itu mengenakan celana kain yang dipadukan dengan baju kaos hitam, sementara Arawinda mengenakan midi dress yang menutupi hingga betisnya.
"Maaf, cari siapa?" tanya seorang lelaki yang berjaga di depan pintu ruangan.
Adiyaksa menoleh.
"Izin, maaf" ucap lelaki berseragam tersebut.
"Izin, silahkan masuk" lelaki tersebut bahkan sampai membukakan pintu untuk Adiyaksa dan Arawinda.
"Sudah sa-" Altair menghentikan ucapannya saat tahu jika yang datang datang adalah pangdam IV/ ATLANTIS RAYA.
"Izin, maaf pangdam" ucap Altair. Tadi posisinya membelakangi pintu masuk, hingga tidak melihat siapa gerangan yang datang.
"Maaf, Adiyaksa." ucap Hirawan saat melihat kedatangan sahabatnya. Ia tadi di kamar mandi. Ia lalu menjabat tangan sahabatnya lalu saling berpelukan.
"Tidak apa-apa." Adiyaksa menepuk pundak Hirawan.
"Silahkan duduk"
Adiyaksa lalu duduk di sofa bersama istrinya.
"Bagaimana keadaan Giandra, mas?" tanya Arawinda.
"Sudah lebih baik, hanya saja masih letih karena operasi tadi" jawab Hirawan.
"Silahkan di lihat. Mungkin ia akan senang saat melihatmu "
Mendengar ucapan Hirawan, Arawinda lalu berdiri.
"Silahkan, Tante" Altair lalu berdiri dari tempatnya duduk.
"Mau kemana?" tanya Hirawan pada anaknya.
"Ke bawah sebentar, ayah. Sambil nunggu adik " jawab Altair.
Hirawan mengangguk. Ia lalu kembali bercakap-cakap dengan Adiyaksa.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanya Arawinda.
"Sudah lebih baik, Win. Maaf karena kedatanganmu ku sambut dengan cara seperti ini"
Arawinda tersenyum.
"Gak apa-apa. Gak ada yang tahu kalau akan seperti ini. Namanya musibah yah mau gimana? Selagi kamu sehat dan baik-baik saja, aku bersyukur sekali "
"Kamu yang terbaik " lirih Geandra .
Arawinda tertawa kecil mendengar ucapan Giandra. Dulu mereka bertetangga saat masih pengantin baru. Namun seiring berjalannya waktu, para suami melanjutkan pendidikan hingga mereka terpisah. Untungnya, mereka berada di pulau yang sama, hanya saja berbeda provinsi, namun itu bukan hal yang sulit, karena hanya butuh waktu 1 jam 45 menit untuk mereka bertemu. 30 tahun berlalu, namun mereka masih sehangat itu.
"Ayah, tolong panggilkan Altair" pinta Geandra.
"Biar Naya saja" Anak kedua Hirawan itu lalu berdiri dan memanggil kakaknya yang sedang bercakap-cakap dengan om-om ajudan ayahnya.
"Ada apa, bu?" tanya Altair pelan.
"Kalau ibu meminta mu menikah dalam waktu cepat, apakah kamu mau?" tanya Geandra.
"Bu!"
"Jawab, sayang "
"I-iya, bu"
Geandra bernapas lega.
"Ayah dan ibu sepakat untuk menjodohkan kamu dengan anak sahabatnya ayah dan ibu dulu. Seharusnya sekarang kita bisa makan malam bersama, namun karena kondisi ibu yang seperti ini, hal itu tidak terjadi"
"Ibu sembuh dulu, jangan pikirkan yang lain lagi" Naya mengelus kepala ibunya.
"Iya, sayang" Geandra membawa tangan anak perempuannya ke bibirnya.
"Bu!"
"Gak apa-apa, ibu suka. Waktu kakak dan adik masih kecil, ibu suka cium tangan kecil kalian" untuk pasien yang baru menjalani operasi, Geandra bisa dikategorikan menjadi pasien yang proses kesembuhan nya cukup pesat.
"Terima kasih karena selalu berada di sisi ibu." ucap Geandra pada tiga orang kesayangannya.
"Cepat sembuh, sayang" Hirawan mencium kening istrinya di depan anak-anaknya.
"Ayah nih, curang. Tebar kemesraan di depan adik" rengek Naya. Meskipun ia adalah seorang tentara wanita berpangkat letnan, ia masih akan merengek jika di depan keluarganya.
Senyum Altair terbit melihat interaksi di depannya. Berbanding terbalik dengan tadi subuh hingga pagi, ia bahkan lupa cara bernapas saat itu.
✨✨✨
"Kakak besuk siapa tadi?" tanya Endra.
"Besuk istrinya Hirawan."
"Kak Hirawan yang itukah? Yang sering ikut kakak pulang ke rumah dulu?"
Adiyaksa mengangguk. Saat Taruna dulu, ia memang sering mengajak Hirawan pulang ke rumahnya, sebab rumahnya dulu tidak jauh dari pusat pendidikan. Itulah sebabnya Endra juga mengenal sosok Hirawan.
"Kamu gak pernah ketemu dia?" tanya Adiyaksa.
"Gak pernah, kak. Tahu sendiri gimana sibuknya beliau "
"Hirawan juga belum lama jadi pangdam di sini."
"Jadi kedatangan kakak memang untuk membesuk kak Hirawan?"
Adiyaksa menggelengkan kepalanya.
"Lebih dari itu. Kakak akan menjodohkan Ara dengan anaknya " jawab Adiyaksa jujur.
"Kak, jangan begini " kata Endra cepat.
"Dik, ini bukan hanya sekedar perjodohan biasa. Lebih jauh daripada itu, ini adalah sebuah janji dari kami berdua. Kamu ingat kan waktu kakak penugasan di perbatasan dan hampir mati disana?"
Endra mengangguk.
"Saat itu saya hanya berdua dengan Hirawan. Karena maut sudah di depan mata, kami hanya berani membayangkan yang indah-indah saja, termasuk akan menjodohkan anak-anak kami nanti. Disaat Tuhan sudah menjawab doa kami, sudah memberikan kami kesempatan untuk melanjutkan hidup, kami benar-benar tidak ingin ingkar janji. Kakak mohon pengertianmu" Adiyaksa bahkan sampai menangkup kedua tangannya di depannya wajahnya, memohon agar adiknya setuju.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Arwet Bach
Wah...wah,bau"perjodohan nich...
2024-03-28
2