Di apartemen, suara canda tawa Samudra bersama Satria dan Lintang memenuhi ruangan itu.
Sesekali ia melirik Angkasa yang fokus dengan lukisannya. Tak seperti Satria dan Lintang yang lebih ekstrovert. Angkasa cenderung dingin dan hanya berbicara seperlunya saja.
“Daddy.” Angkasa memperlihatkan hasil lukisannya.
“I'ts so beautiful,” puji Samudra sembari memangku Angkasa. Mengecup kepalanya singkat dengan senyum tipis.
Tak lama berselang, bel pintu berbunyi. Senyum Samudra semakin lebar seraya berbisik, “Itu pasti Momy, daddy tinggal sebentar, ya.”
Ketika membuka pintu, Samudra langsung tersenyum seraya berkata, “Welcome to our home, Baby.”
Kejora bergeming dengan wajah datar. Akan tetapi keningnya seketika berkerut tipis ketika mendengar suara anak-anak.
“Aku seperti nggak asing dengan suara itu,” tebak Kejora.
Ia pun masuk ke dalam ruangan mencari arah sumber suara. Mendapati anak-anaknya sedang bermain, Kejora terpaku di tempat.
“Momy!” pekik Lintang kemudian berlari kecil ke arahnya disusul Angkasa dan Satria
Kejora segera berjongkok, memeluk ketiga buah hatinya itu lalu menangis. Takut kehilangan, itulah yang kini menyelimuti dirinya.
“Sayang,” sebut Kejora dengan lirih tanpa melepas dekapannya.
Sedetik kemudian, ia melepas dekapannya. Kejora perlahan berdiri kemudian menghampiri Samudra yang sejak tadi menjadi penonton di belakang.
Sorot mata yang begitu tajam sudah cukup menggambarkan jika gadis itu sangat marah.
“Calm down, Baby,” bisik Samudra sesaat setelah Kejora berdiri tepat di hadapannya. “Silakan marah, maki sepuas yang kamu inginkan, tapi jangan di sini karena nggak baik dilihat anak-anak.”
Samudra memegang lengan Kejora lalu mengajaknya masuk ke dalam kamar.
“Apa kamu sudah nggak waras, hah! Apa kamu sengaja mengajak anak-anak ke sini lalu akan memisahkanku dari mereka! Apa kamu ingin membawa mereka pergi jauh dariku?!” cecar Kejora dengan perasaan geram lalu memukul dada Samudra bertubi-tubi.
“Kejora, stop it!” Samudra memegang kedua tangan gadis itu. Memeluknya erat merasa bersalah. “Forgive me, semua yang kamu tuduhkan itu nggak benar.”
“Please, jangan pisahkan aku dari anak-anakku. Aku nggak bisa hidup tanpa mereka. Kamu nggak tahu seperti apa perjuanganku mengandung serta membesarkan mereka kala itu, i'm alone,” tutur Kejora dengan tersengal-sengal.
“Satria, Angkasa juga Lintang bukan cuma anakmu seorang tapi KITA,” tekan Samudra. “Sekarang aku baru mengerti mengapa kamu menghindariku. Apa alasan tadi adalah penyebabnya? Kamu takut jika aku akan memisahkan kalian, begitu kan yang kamu pikirkan?”
“Samudra.” Untuk pertama kalinya Kejora menyebut nama pria itu setelah bertemu lagi sejak sebulan terakhir ini.
“Diammu adalah jawaban.” Samudra menghela nafas, melepas dekapannya lalu membuka laci nakas. Mengambil amplop lalu menyerahkan benda itu pada Kejora.
Kejora menatap lekat wajah Samudra sesaat setelah selesai membaca isi amplop. Jika biasanya pihak perempuan yang gencar meminta sebuah pengakuan sebaliknya Kejora. Ia lebih memilih hidup damai bersama sang anak daripada menuntut ini dan itu.
Hening sejenak yang terdengar hanya suara lirih tangisan Kejora.
“Momy, Daddy.”
Samudra dan Kejora langsung mengarahkan pandangan ke arah suara tersebut. Terlihat Angkasa berdiri di ambang pintu dengan wajah bengong.
“Sayang.” Kejora menghampiri sang putra kemudian membawanya masuk ke dalam pelukan.
“Momy, apa kita akan tinggal di sini bersama Daddy,” tanya Angkasa dengan polos.
‘Good job, Sayang,’ batin Samudra.
Kejora mengurai dekapan disertai gelengan kepala. Menatap wajah Angkasa dengan senyum tipis.
“Sayang, untuk saat ini kita belum bisa tinggal bersama Daddy. Ada beberapa hal yang kalian nggak mengerti meski momy menjelaskan. Kalian masih terlalu kecil,” jelas Kejora.
Dua puluh menit berlalu ....
Kejora terus menatap wajah anak-anaknya yang kini sedang tertidur pulas di ruangan tamu. Sedari tadi pula ia tetap bergeming tanpa menghiraukan Samudra.
“Kejora, maafkan aku.” Samudra mulai membuka suara. Sedikit bergeser mendekati Kejora.
“Nggak ada yang perlu dimaafkan, Samudra. Semuanya terjadi begitu saja atas keinginan kita. Jika boleh jujur, saat itu aku memang sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi adikku.”
Samudra tercengang mendengar pengakuan Kejora. Pikirnya, demi sang adik gadis itu rela mengorbankan diri.
Kejora beralih menatap wajah Samudra lalu berucap lirih, “Bagaimana bisa aku melupakan wajah ini, karena setiap hari aku berhadapan dengan duplikatnya.”
“Sekalipun kamu menyangkal aku juga nggak akan percaya,” balas Samudra. “Naluriku sebagai ayah begitu kuat sejak pertama kali bertemu dengan Angkasa di Plaza Mall kala itu.”
Kejora bergeming dan tampak berpikir. Ia baru menyadari jika pertanyaan Angkasa sebulan lalu tentu saja ada hubungannya dengan Samudra.
.
.
.
Di kediaman Samudra, Ayumi begitu kesal karena sang suami sejak semalam belum juga pulang. Kekesalannya semakin bertambah karena mata-matanya gagal mendapat informasi apapun.
Belum lagi saat ia berulangkali menghubungi Samudra, ponsel suaminya itu malah tak aktif.
“Sebenarnya dia mau ke mana tadi? Apa menemui wanita misterius itu?!” gumam Ayumi dengan perasaan gusar.
Sebelum lanjut menapaki anak tangga, ia meminta ART-nya untuk membuatkan segelas teh.
Sesaat setelah tiba di lantai dua, Ayumi memilih masuk ke ruangan kerja Samudra. Mencari foto lima tahun yang lalu.
“Di mana Samudra menyimpannya? Kok, aku jadi penasaran banget sama gadis itu. Tapi, jika dilihat dari seragam yang dikenakan, sepertinya dia seorang pelayan di club' malam itu.”
Karena tak menemukan benda yang dicari, Ayumi mendaratkan bokongnya di kursi kerja. Tak lama berselang bik Een mengantarkan teh.
“Bu, ini tehnya.”
“Makasih Bik, oh ya, apa tadi siang Samudra pulang ke rumah?”
“Sejak ke luar kota dua Minggu yang lalu, bapak belum pernah pulang, Bu. Mungkin malam nanti,” tutur bik Een lalu pamit undur diri.
Sepeninggal bik Een, Ayumi merenung sejenak. Benaknya kini dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.
Menyesal karena sejak awal, ia mengabaikan keinginan Samudra yang ingin segera memiliki momongan.
Di saat Ayumi benar-benar sudah siap, justru Samudra yang ogah-ogahan kecuali suaminya itu dalam pengaruh minuman alkohol.
Meninggalkan Ayumi yang diselimuti dengan perasaan gusar, sebaliknya Samudra yang kini seperti mendapat mood booster.
“Kejora, demi anak-anak kita, maka menikahlah denganku.”
Kejora mengernyit, meletakkan kopi yang baru saja diseduh ke atas meja makan. Meski keinginan Samudra terdengar sangat menyakinkan, akan tetapi Kejora merasa masih ada yang mengganjal di hatinya.
Samudra menarik pelan lengan Kejora. Mendudukkan gadis itu ke pangkuannya seraya menatapnya penuh cinta.
“Are you sure, hmm?” bisik Kejora. Jemari lentiknya mengelus bulu-bulu di wajah Samudra. Tersenyum tipis lalu menyatukan kening.
Perlakuan lembut Kejora malah mengingatkan Samudra adegan yang sama persis lima tahun yang lalu kala keduanya baru pertama kali bertemu.
“Kamu belum menjawabku, Baby. Please, demi anak kita. Aku nggak ingin berpisah lagi dengan kalian. Kamu, Satria, Angkasa juga Lintang adalah tanggung jawabku sekarang. Aku ingin kita tinggal dalam satu atap sebagai keluarga lengkap!” tegas Samudra.
“Yakinkan aku dan anak-anak jika kamu nggak memiliki wanita lain. Aku takut timbul masalah di kemudian hari setelah kita menikah.”
Deg!
Kalimat yang terlontar barusan seolah menampar Samudra. Meski terkesan egois akan tetapi ia tak bisa membohongi hatinya. Rasa cintanya pada Ayumi mulai hambar sejak Kejora masuk ke dalam kehidupannya.
Kejora mengecup singkat bibir Samudra lalu berkata, “Kopinya sudah hampir dingin, sebaiknya diminum mumpung masih anget.”
“Baiklah.”
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Mazree Gati
jangan sampai kejora sama samudera,,samudera punya istri,,unsubscribe klo sampai merebut suami orang
2024-11-26
0
Bunda HB
Bagus alur ceratanya....Semangat thor...💪💪👌👌😘😘
2023-12-25
2