Pria Sesungguhnya

“Sudah dua hari aku tidak melihatnya. Kurasa, Jonathan sedang pergi,” ucap Juan Pablo datar, setelah mengisap rokoknya. 

“Kau tahu dia pergi ke mana?” tanya Pedro, sambil merapikan kerah kemeja lengan pendeknya. 

Juan Pablo menggeleng samar. “Aku tidak tahu,” jawabnya, lalu mengisap kembali sisa rokok yang tinggal setengah. Pria tampan itu menatap heran pada Pedro, yang sudah terlihat rapi. “Apa Paman akan pergi?” 

“Ya. Hari ini aku harus kontrol ke dokter.” Pedro tersenyum kelu, diiringi helaan napas berat. “Aku seperti akan mati besok. Siapa sangka bahwa diriku akan berakhir karena suatu penyakit.” 

Juan Pablo yang awalnya duduk santai di kursi kayu, langsung berdiri. Dia menghampiri Pedro. Satu-satunya keluarga yang dirinya miliki. “Jangan bicara seperti itu, Paman. Kau adalah pria hebat dan kuat. Aku dan Jacob bahkan tak sebanding dengan dirimu.” 

Mendengar ucapan Juan Pablo yang bermaksud menghiburnya, membuat Pedro justru merasa lucu. Selama ini, Juan Pablo jarang sekali berkata demikian. Pria muda itu bahkan lebih banyak diam dan bicara seperlunya. “Apa ada sesuatu yang mulai mengubahmu, Juan?” tanya Pedro seraya memicingkan mata. 

Bukannya memberikan jawaban, Juan Pablo justru menaikkan sebelah alis. 

Pedro tertawa pelan. “Ah, sudahlah. Aku harus segera pergi.” Dia menepuk lengan Juan Pablo sambil berlalu. 

“Bagaimana jika kuantar?” tawar Juan Pablo cukup nyaring, karena Pedro sudah tiba di pintu depan. 

“Tidak usah, Nak. Aku akan naik taksi saja,” tolak Pedro seraya melambaikan tangan. 

Seperti itulah Pedro. Meskipun saat ini usianya sudah tak muda lagi, tapi dia tidak manja. Pedro tetap menjadi pribadi yang mandiri dan selalu ingin terlihat kuat. Padahal, pria paruh baya tersebut sedang berjuang melawan penyakit parah yang menggerogoti kesehatannya. 

Namun, walaupun Pedro menolak, Juan Pablo tak peduli. Dia langsung mengambil kunci mobil, lalu bergegas menyusul pria itu. “Kau pikir, aku akan tega membiarkanmu pergi sendirian?” 

Pedro tersenyum, seraya menggeleng pelan. “Apa kau sangat menyayangiku, Juan?” godanya. 

“Tutup mulutmu, Paman. Cepat masuk,” suruh Juan Pablo yang sudah berada dalam mobil. Dia memberi isyarat, agar Pedro segera duduk di jok sebelahnya. 

“Baiklah.” Pedro tidak banyak membantah.

Tanpa berlama-lama, Mustang hitam yang Juan Pablo kendarai melaju tenang meninggalkan jalan depan rumahnya dan Pedro. Seperti biasa, Juan Pablo mengendarai Mustang hitam tadi tanpa banyak bicara, hingga mereka tiba di rumah sakit yang dituju. 

“Aku akan menungumu hingga selesai,” ucap Juan Pablo, saat Pedro tengah melepas sabuk pengaman. “Di luar,” tambahnya.

“Kau yakin?” Pedro menatap ragu. 

“Tidak masalah. Aku sedang tidak ada pekerjaan.” 

“Kau tidak ke bengkel?” Bukannya keluar dari mobil, Pedro justru kembali bertanya. 

“Aku bisa membukanya nanti. Setelah membawamu kembali ke rumah.” Seulas senyuman, muncul di sudut bibir Juan Pablo. Meskipun tak berlangsung lama, tapi itu cukup membuatnya terlihat semakin menawan. 

Pedro mengangguk. “Carilah kesibukan sampai aku selesai, agar kau tidak merasa bosan,” pesannya. 

“Tentu.” Juan Pablo terus memperhatikan, saat Pedro keluar dari kendaraan. Dia menatap pria paruh baya tersebut, hingga menghilang di balik bangunan beberapa lantai tadi. 

Sesaat kemudian, Juan Pablo memutuskan turun dari mobil. Tak ada tempat yang ingin dirinya tuju, selain kantin rumah sakit. Di sana, Juan Pablo memesan kopi. Pria itu sempat menoleh ke pintu rumah sakit. Namun, dia tak berniat masuk ke sana. Si pemilik mata hazel tadi lebih memilih duduk di bawah pohon, sambil memainkan ponsel. 

“Juan?” Suara sapaan seorang gadis, membuat Juan Pablo sontak mengangkat wajah. “Kau di sini?” 

Juan Pablo terdiam beberapa saat, sebelum berdiri. “Alma.” Nama itu dia ucapkan pelan dan dalam. “Sedang apa kau di sini?” Juan Pablo balik bertanya. 

“Aku baru menjenguk seorang teman. Dia mengalami kecelakaan lalu lintas,” jelas Alma. “Kau sendiri?” 

“Aku datang bersama pamanku. Dia harus kontrol ke dokter.” Juan Pablo terlihat kikuk. Dia mengusap tengkuk beberapa kali. Pria tampan itu kian salah tingkah, saat Alma tersenyum padanya. “Apa kau akan pulang sekarang?” tanya Juan Pablo beberapa saat kemudian. 

“Memangnya kenapa? Apa kau akan mengantarku?” Alma kembali tersenyum manis. Namun, senyum itu perlahan memudar, saat dia teringat akan pemilik Mustang hitam klasik yang tengah diburu sang ayah. “Ah, aku lupa. Kau kemari bersama pamanmu.” 

Juan Pablo mengangguk samar. 

“Jangan sampai, pamanmu kebingungan mencari keponakannya.” Lagi-lagi, Alma memamerkan senyum manis yang membuat Juan Pablo harus menahan napas.

"Pamanku biasanya tidak lama," ucap Juan Pablo lagi. "Apa kau sedang terburu-buru?"

"Tidak juga. Kau ingin aku menemanimu?"

Tawaran yang terlalu menarik untuk ditolak. Juan Pablo menggumam pelan. Dia memang tak mengatakan apa pun. Namun, bahasa tubuh serta sorot matanya memberikan jawaban.

Alma seakan paham, dengan sorot mata pria di hadapannya. Gadis itu langsung duduk. Tatapan si pemilik rambut cokelat tadi seolah memberi isyarat, agar Juan Pablo segera mengikutinya.

Juan Pablo bukan pria yang bodoh. Dia juga bisa memahami apa yang Alma maksud. Pria itu duduk di sebelah si gadis, dengan setengah membungkukkan tubuh. Sesekali, pria tampan berdarah Meksiko tersebut menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.

"Pamanmu sakit apa?" tanya Alma.

"Dia baru melakukan cuci darah. Dokter menyuruhnya kembali," jawab Juan Pablo, seraya menoleh sekilas pada Alma yang menatap lekat dirinya.

Juan Pablo memicingkan mata. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanyanya heran.

Alma menggeleng pelan. "Kau mirip ayahku sewaktu muda," ucap gadis cantik tersebut, tanpa mengalihkan pandangan. "Maksudku, kalian terlihat seperti seorang pria. Pria sesungguhnya."

Juan Pablo menggumam pelan. Baru saja dia akan menanggapi, Pedro lebih dulu muncul di sana. "Apa aku mengganggu?" tanya pria paruh baya itu, seraya menatap Juan dan Alma secara bergantian.

"Apa kau sudah selesai, Paman?" Juan Pablo langsung berdiri.

"Ya. Kita bisa pulang sekarang." Pedro tersenyum hangat, seraya menoleh pada Alma. Dia seakan ingin bertanya tentang gadis itu.

"Apa kabar, Tuan. Namaku Alma." Gadis cantik tersebut mengulurkan tangan, mengajak Pedro bersalaman.

"Hai, Alma. Namaku Pedro Alcarez. Aku adalah paman Juan," balas Pedro ramah. "Bagaimana jika kau makan siang di tempat kami. Tadi pagi, aku sudah menyiapkan menu istimewa untuk disantap sepulang dari sini," tawar pria itu.

"Paman ...." Juan Pablo hendak melayangkan protes Namun, segera dia urungkan, saat melihat senyum manis Alma yang seakan menyetujui tawaran tadi. Juan Pablo hanya bisa mengembuskan napas pendek, lalu berjalan menuju ke tempat dirinya memarkirkan mobil.

Tak berselang lama, Mustang hitam yang Juan Pablo kendarai melaju tenang meninggalkan area rumah sakit tadi.

Selama dalam perjalanan, Alma berbincang akrab dengan Pedro. Mereka tak seperti dua orang yang baru pertama bertemu. Pemandangan cukup aneh, bagi Juan Pablo. Walaupun dirinya dan Alma pernah berciuman sebanyak dua kali, itu tak membuat pria tampan tersebut bisa menyingkirkan perasaan tidak biasa yang tiba-tiba menghinggapinya.

"Selamat datang di kediaman kami yang sederhana, Alma," sambut Pedro hangat, saat mereka sudah tiba di rumah. "Akan kusiapkan makan siang untuk kita." Setelah berkata demikian, Pedro langsung menuju dapur.

"Apa pamanmu tidak lelah?" Alma menatap heran pada Juan Pablo.

"Dia memang seperti itu," balas Juan Pablo.

Alma manggut-manggut. "Di mana kamarmu, Juan?" tanyanya tiba-tiba.

Terpopuler

Comments

Aurizra Rabani

Aurizra Rabani

eh mau ngapain nanyain kamar

2023-12-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!