Terpesona

Hingga beberapa saat, Juan Pablo tak mengalihkan lensa teropong dari gadis cantik, dengan rambut cokelat yang tergerai menutupi sebagian pundak. Pria tampan bermata hazel itu seperti ingin bersantai sejenak, dari rutinitas berdarah yang akan segera dia lakukan. Tak seperti biasa, Juan Pablo tampak asyik memperhatikan keindahan ragawi lawan jenisnya.

“Ah, sial!” gerutu Juan Pablo pelan. Dia mengambil rokok yang sedari tadi diapit mulut, karena kedua tangannya sibuk memegangi senjata. “Di mana Abraham Moore?” gumam pria itu keheranan. Pasalnya, dia tak melihat target yang akan dieksekusi.

“Jacob sialan!” umpat Juan Pablo kesal, seraya meletakkan rokok di sebelahnya. Asap tipis terus mengepul, dari gulungan tembakau berfilter tadi.

Juan Pablo menarik napas dalam-dalam. Dia kembali fokus mengamati suasana pemakaman, melalui teleskop monocular yang terpasang di senapan khusus miliknya. Lewat teleskop tadi, Juan Pablo dapat menangkap objek dengan jelas, meski dari jarak hingga 3 km.

Tak berselang lama, mata elang Juan Pablo menangkap seorang pria yang baru keluar dari kendaraan. Pria itu datang terlambat, dan langsung bergabung dengan para pengiring jenazah.

Juan Pablo menyunggingkan senyum samar, seraya mengarahkan bidikan pada pria tadi. Sniper andal berjuluk Elang Rimba tersebut tak langsung menarik pelatuk. Dia terdiam beberapa saat. “Abraham Moore,” ucapnya pelan dan dalam. Bersamaan dengan itu, sebutir peluru melesat cepat dari salah satu jendela sebuah bangunan tua terbengkalai, yang berjarak sekitar 2 km dari tempat pemakaman Richard Bennett.

Seulas senyuman kembali terlukis di bibir berkumis tipis Juan Pablo, menyaksikan tubuh targetnya roboh. Seperti kemarin saat Richard Bennett terbunuh, suasana khidmat di pemakaman itu menjadi ricuh. Para pengiring jenazah lari berhamburan. Mereka terlalu takut, akan adanya penembakkan susulan.

Begitu juga dengan wanita dan gadis cantik, yang tadi sempat tertangkap oleh pengamatan Juan Pablo. Pria bertubuh tegap yang berada di dekat mereka, langsung mengarahkan agar keduanya segera kembali ke mobil. Sementara, si pria mengedarkan pandangan. Dia seakan tengah mencari arah tembakan berasal.

Setelah selesai mengeksekusi dengan hasil memuaskan, Juan Pablo segera merapikan kembali senjatanya yang telah dipreteli. Senapan itu dimasukkan ke ransel kesayangan. Sebelum beranjak dari sana, Juan Pablo mengambil sisa rokok yang tadi dia letakkan. Dia mengisapnya tenang sambil berjalan menuruni tangga, dalam bangunan terbengkalai tadi.

Embusan napas pelan, meluncur dari bibir pria dua puluh tujuh tahun tadi. Dia melangkah tenang meninggalkan tempat itu, hingga tiba di tempat di mana dirinya memarkirkan Mustang hitam klasik yang selalu menemani dalam setiap aksi.

Sementara itu, suasana di area pemakaman sudah berangsur terkendali. Jasad Abraham Moore telah dibawa ambulans, untuk dilakukan tindakan lebih lanjut. Sedangkan, pria bersetelan serba hitam tadi masih di sana, bersama seorang rekan yang menemaninya.

“Kemarin Richard Bennett, sekarang Abraham Moore. Ini terlalu berdekatan,” ujar seorang pria berambut pirang. “Bagaimana menurutmu, Joe?” tanyanya kemudian, pada sang rekan yang tengah memeriksa keadaan sekitar tempat kejadian.

“Bisa saja, ini dilakukan oleh orang yang sama. Kita akan mendapatkan jawabannya, setelah mengetahui jenis peluru yang ada dalam tubuh pamanku,” balas si pria bersetelan serba hitam, yang tak lain adalah Jonathan Fletcher.

“Lihatlah. Entah dari mana pelaku melancarkan aksinya, karena di sekitar area pemakaman ini tak ada tempat yang strategis untuk ….” Jonathan menatap sang rekan. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu. “Killer X. Mereka sangat profesional.”

“Kau yakin bahwa ini ada kaitannya dengan aliansi pembunuh bayaran itu?” Rekan Jonathan terdengar ragu.

“Peluru yang diambil dari kepala Richard Bennett, adalah peluru yang sama seperti yang ditemukan dalam tubuh beberapa orang penting lain. Mereka juga tewas dengan cara serupa. Elang Rimba pasti ada di balik kejadian ini,” ucap Jonathan yakin.

Keluhan pendek terdengar dari rekan seprofesi Jonathan. Dia sudah terlalu malas, saat mendengar nama Elang Rimba. Pasalnya, sejak dulu mereka kesulitan melacak salah satu pembunuh bayaran paling diincar oleh pihak agen federal pemerintah.

“Sudahlah. Sebaiknya, kita kembali ke kantor dan membahas masalah ini di sana,” ajak rekan Jonathan tadi. Dia berlalu lebih dulu menuju kendaraannya terparkir. “Hey, Joe! Apa istri dan putrimu sudah pulang?” tanya pria berambut pirang tadi, setengah berseru.

“Ya. Aku menyuruh mereka pergi, sebelum situasi makin memburuk,” sahut Jonathan tanpa menoleh. Pria itu masih penasaran, dengan tempat yang dijadikan persembunyian sang eksekutor. “Tidak mungkin dari area pemakaman ini,” gumamnya seraya memicingkan mata.

Sementara itu, Juan Pablo memarkirkan Mustang hitam klasik miliknya di depan mini market. Sebelum keluar dari kendaraan, pria tampan berkulit cokelat itu memakai topi baseball serta kacamata hitam terlebih dulu.

Juan Pablo melangkah gagah, memasuki mini market tadi. Tujuannya ke sana adalah untuk membeli rokok.

“Kau ini seperti anak kecil saja. Memilih es krim lama sekali,” ujar seorang wanita dari arah belakang.

Juan Pablo yang tengah membayar di kasir, langsung menoleh. Dari balik kacamata hitam yang dia kenakan, pria itu mendapati gadis cantik berambut cokelat yang dirinya lihat di upacara pemakaman tadi. Aneh, Juan Pablo seperti tak mampu memalingkan pandangan dari gadis itu.

“Maaf, Tuan. Uang kembalian Anda,” ujar petugas kasir, yang seketika membuat Juan Pablo tersadar dan langsung menoleh.

“Terima kasih.” Juan Pablo mengambil uang kembaliannya, lalu keluar dari sana. Namun, dia tak segera pergi. Pria tampan berdarah Meksiko tersebut berdiri sambil bersandar pada body samping mobil, sambil menyulut rokok.

Bersamaan dengan itu, si gadis dan wanita yang merupakan ibunya tampak keluar dengan membawa kantong belanja. Namun, keduanya tak langsung pergi, melainkan memilih duduk di bangku yang ada di bagian depan mini market.

Sedangkan, Juan Pablo mengisap rokok dengan tenang. Sesekali, mata hazelnya menoleh pada gadis cantik tadi. Memperhatikan gerak-gerik si gadis yang tampak begitu anggun dan teratur. Tampak jelas, bahwa dia terbiasa dengan didikan kepribadian khas wanita kelas atas.

Juan Pablo meneguk minuman kaleng, yang dirinya beli bersamaan dengan rokok. Lagi-lagi, perhatian pria dua puluh tujuh tahun itu kembali tertuju pada gadis berambut cokelat tadi. Namun, ‘kegilaan’ Juan Pablo harus terganggu, saat merasakan ponselnya bergetar. Dia seakan sudah mengetahui siapa yang menghubunginya.

[Datanglah ke markas]

Satu pesan masuk dari Jacob, sang ketua Aliansi Killer X.

[Ada apa? Kau tinggal menransfer bayaranku]

[Ada sesuatu yang harus kita bahas. Selain itu, kita juga perlu merayakan pekerjaan besar yang sudah kau tuntaskan dengan baik]

Juan Pablo tak membalas lagi pesan tadi. Dia memasukkan ponsel ke saku bagian dalam jaket, lalu mengambil kembali minuman kaleng yang dirinya letakkan di kap mobil. Sang eksekutor berjuluk Elang Rimba tersebut meneguk habis minumannya, kemudian meremas kaleng yang sudah kosong.

Sebelum memutuskan pergi dari sana, anak asuh Pedro Alcarez tersebut kembali menoleh pada gadis cantik berambut cokelat, yang bahkan tak menyadari kehadirannya.

Tak ingin berlama-lama berada di luar seperti itu, Juan Pablo langsung masuk ke mobil.

Sebelum sempat menyalakan mesin kendaraan, sebuah SUV Ford hitam datang dan berhenti tepat di sebelah Mustang klasik milik Juan Pablo. Dari dalam SUV hitam tadi, muncul seorang pria yang tak lain adalah Jonathan Fletcher. Pria itu berjalan gagah, menghampiri dua wanita di depan mini market.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!