Sang Pemberani

“Di mana ini, Tuan?” tanya Juan Pablo, sambil berusaha bangkit.

“Tidak apa-apa. Tidur saja.” Pria bernama Pedro tadi menahan Juan Pablo, agar kembali berbaring di kasur. “Kau ada di rumahku. Aku menemukanmu tergeletak di trotoar depan,” jelas pria berambut cokelat itu. “Katakan, Nak. Apa yang terjadi padamu?”

Juan Pablo tak langsung menjawab. Sepasang mata hazelnya menatap ragu dan penuh waspada. Dia tak mengenal pria berambut cokelat itu. Juan Pablo harus tetap berhati-hati.

“Bicaralah,” ucap Pedro hangat. Pria dengan rentang usia sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun itu seakan paham, dengan bahasa tubuh yang Juan Pablo tunjukkan. “Apa kau ingin makan dulu?” Pedro mengambil piring dari meja dekat tempat tidur, lalu menyodorkannya kepada Juan Pablo yang langsung bangkit.

Melihat makanan enak yang tak pernah dirinya santap selama berada di tempat Ramos, membuat Juan Pablo yang belum mengisi perut tampak semringah. Walaupun dia berhasil menghabisi empat pria dalam semalam, tapi dirinya tetaplah bocah dengan naluri tak berbeda dari anak-anak pada umumnya. “Ini untukku?” tanya Juan Pablo tak percaya.

Pedro mengangguk yakin.

“Terima kasih, Tuan. Boleh kumakan sekarang?” Juan Pablo kembali bertanya.

“Tentu saja. Itu untukmu … siapa namamu?” Kali ini, giliran Pedro yang mengajukan pertanyaan.

“Juan Pablo. Juan Pablo Herrera,” jawab anak itu dengan mulut penuh makanan. Dia terlalu senang, karena akhirnya bisa mengisi perut. Sehingga, kembali mendapat asupan tenaga. “Ini sangat enak, Tuan.” Juan Pablo bicara sambil terus mengunyah.

Pedro tersenyum hangat. “Habiskan dulu makananmu, Juan. Kita lanjutkan perbincangan ini nanti. Sebentar lagi, aku akan kedatangan tamu.” Pedro beranjak dari duduk, lalu merapikan kemeja tanpa blazer yang dia kenakan. Sebelum berlalu dari kamar itu, dia sempat memeriksa luka yang Juan Pablo derita. “Untunglah lukanya tidak terlalu dalam. Namun, kau kehilangan cukup banyak darah. Selain itu, sepertinya kau memaksakan banyak bergerak saat terluka.”

Juan Pablo mengangguk samar. Dia sudah menghabiskan makanan dalam piring. “Jika aku diam, maka diriku pasti mati, Tuan,” ucapnya. “Karena itulah, aku harus tetap bergerak dan melawan.”

“Melawan?” Pedro memicingkan mata. Dia melipat kedua tangan di dada. Pria itu tampak sangat berwibawa. “Melawan dari apa atau siapa?” pancingnya.

Juan Pablo yang sudah dibuat kenyang oleh makanan lezat tadi, tak lagi merasa ragu untuk bercerita kepada Pedro. Anak itu menuturkan rentetan peristiwa luar biasa yang dilakukannya semalam, tanpa melewatkan satu bagian pun.

Mendengar penuturan Juan Pablo, Pedro tiba-tiba memasang mimik berbeda. Pria dengan kemeja putih itu kembali duduk di tepian tempat tidur, dengan posisi menghadap kepada anak kecil yang dia selamatkan. “Sejak kapan kau mulai memegang senjata?” tanyanya serius.

Pertanyaan yang Pedro ajukan, membuat raut wajah Juan Pablo seketika menjadi tegang. Dia menatap pria berambut cokelat di hadapannya. Sejurus kemudian, adik Juliana tersebut kembali terlihat biasa. “Itu pertama kalinya diriku menarik pelatuk, Tuan. Ternyata sangat mudah dan … dan aku … tembakanku tepat mengenai kepala mereka.” Juan Pablo kembali mengingat kejadian semalam, saat dirinya melumpuhkan anak buah Ramos dengan senjata api.

Pedro manggut-manggut. Entah apa yang dipikirkan pria itu. Sesaat kemudian, Pedro tersenyum dan kembali terlihat biasa. Sikapnya sama seperti saat pertama kali muncul di hadapan Juan Pablo. “Boleh kutahu sesuatu, Nak?” tanyanya.

“Apa?” Juan Pablo tak melepaskan tatapan dari Pedro.

“Mungkin, ini pertanyaan yang terdengar aneh. Namun, aku hanya ingin tahu.” Pedro sedikit mencondongkan tubuh ke hadapan Juan Pablo. “Apa yang kau rasakan saat menghabisi orang-orang itu?”

Juan Pablo tak langsung memberikan jawaban. Dia seakan tengah mencerna maksud pertanyaan yang Pedro ajukan. Anak berusia dua belas tahun tadi seperti menatap kosong kepada Pedro. Namun, pada kenyataannya tidak.

“Apa kau menyesal, Juan?” tanya Pedro lagi.

Juan Pablo menggeleng.

“Kau merasa puas?” Sorot mata Pedro kembali terlihat lain.

“Ya, Tuan. Aku sangat puas melihat mereka tewas mengenaskan. Luka yang kuderita ini tak ada apa-apanya, dibandingkan saat melihat darah dari tubuh orang-orang itu.” Juan Pablo terdiam beberapa saat, seakan memikirkan kata-katanya tadi. “Apakah menurut Anda, aku adalah seorang penjahat? Apa aku akan dijebloskan ke dalam penjara?”

“Kenapa? Kau takut dengan hukum, Juan?” Pertanyaan yang Pedro ajukan, seperti bukan untuk anak berusia dua belas tahun.

Sesaat kemudian, Juan Pablo menggeleng.

“Kau tidak takut?” tanya Pedro lagi meyakinkan bahasa tubuh yang Juan Pablo tunjukkan tadi.

“Apa yang harus aku takutkan, Tuan?” Juan Pablo balik bertanya.

Mendengar pertanyaan seperti itu, tiba-tiba Pedro tersenyum lebar sambil berdiri. Dia bertepuk tangan. Entah apa yang membuatnya terlihat begitu bangga. “Juan Pablo Herrera. Berapa usiamu, Nak?”

“Dua belas tahun, Tuan.” Juan Pablo masih belum memahami sikap Pedro terhadapnya. Namun, dia tak mau ambil pusing. Lagi pula, perutnya sudah kenyang. Selain itu, dirinya tidur di kasur yang sangat empuk, meski tak tahu akan sampai kapan.

“Apa kau bersedia jika kuperkenalkan pada seseorang?” Pedro menaikkan sebelah alisnya.

“Siapa?” tanya Juan Pablo. Sikap si pemilik mata hazel itu sangat berbeda, dibandingkan anak-anak lain seusianya. Itulah yang membuat Pedro menjadi tertarik.

“Kau akan mengetahuinya sebentar lagi,” jawab Pedro, diiringi senyum lebar penuh kepuasan.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara ketukan di pintu. Seorang pria paruh baya muncul dari baliknya. “Maaf, Tuan. Aku hanya ingin memberitahukan, bahwa tamu Anda sudah datang. Dia berada di ruang tunggu,” lapor pria paruh baya tadi sopan.

“Katakan padanya, aku akan ke sana sebentar lagi,” suruh Pedro.

“Baik, Tuan. Permisi.” Pria paruh baya tadi mengangguk, sebelum berlalu dari sana.

Setelah mereka hanya berdua, Pedro kembali mengarahkan perhatian sepenuhnya kepada Juan Pablo. “Bagaimana, Juan? Apa kau bersedia ikut denganku?” tanyanya lagi.

Juan Pablo seperti tak memiliki pilihan lain. Dia tak ingin ditendang dari rumah itu, seandainya dirinya menolak. Juan Pablo memang selalu hidup susah sejak dulu. Akan tetapi, menjadi gelandangan tak pernah menjadi sesuatu yang terlintas dalam pikirannya. “Aku menurut saja, Tuan,” ucap anak itu patuh.

“Bagus, Juan.” Pedro menyentuh pucuk kepala Juan Pablo. “Kujamin, hidupmu pasti akan berubah drastis setelah ini. Tak ada lagi seorang pun yang berani mengusik, apalagi sampai berbuat macam-macam padamu. Ayo. Ikuti aku," ajaknya.

Pedro melangkah gagah keluar kamar. Sedangkan, Juan Pablo mengikutinya. Mereka berdua berjalan menuju ruang tunggu, di mana ada seseorang yang Pedro sebut sebagai tamu.

“Jacob.” Pedro menyapa pria berambut pirang dengan mata hijau, yang langsung berdiri saat melihat kehadirannya. “Apa kabar?”

“Sangat baik. Karena itulah aku bisa datang kemari,” balas pria bernama Jacob tadi. Ekor matanya mengarah kepada Juan Pablo, yang berdiri di belakang Pedro. Jacob tak mengatakan apa pun.

Namun, bahasa tubuh Jacob dapat dipahami oleh Pedro, yang tersenyum simpul. “Kebetulan kau datang kemari. Ada seseorang yang ingin kukenalkan padamu,” ucapnya, sambil menoleh kepada Juan Pablo.

Sorot mata Jacob terlihat sangat berbeda dari Pedro. Pria itu seperti tengah menganalisa dengan saksama. “Siapa dia?” tanyanya.

Pedro menoleh sekilas pada Juan Pablo. Setelah itu, dia kembali mengarahkan pandangan kepada Jacob. “Namanya Juan Pablo Herrera. Aku ingin, kau membawa anak ini ke Las Vegas."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!