Sniper Terbaik

Juan Pablo memperhatikan dengan saksama, interaksi antara Jonathan dengan kedua wanita tadi. Dari bahasa tubuh yang terlihat, sepertinya mereka merupakan satu keluarga. Namun, fokus Juan Pablo tetap pada gadis cantik berambut cokelat, yang membuatnya merasa lain.

Ketika sedang asyik memandang gadis cantik itu, telepon genggam milik Juan Pablo kembali berdering. Kali ini, bukan hanya pesan teks yang dia terima. Melainkan, panggilan suara langsung dari Jacob. Terpaksa, sang eksekutor berjuluk Elang Rimba tersebut menjawabnya. “Ada apa?” tanya Juan Pablo tanpa basa-basi.

“Aku menunggumu di markas pukul tiga sore ini. Datanglah tepat waktu,” sahut Jacob dari seberang sana.

“Kenapa aku harus ke sana? Kau tinggal menransfer bayaranku.” Juan Pablo kembali mengarahkan perhatian kepada gadis cantik berambut cokelat tadi, tanpa memutus sambungan telepon.

“Justru itu, Juan. Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu,” ujar Jacob tenang. “Akan tetapi, rasanya kurang nyaman, jika dibicarakan lewat telepon seperti ini. Kutunggu jam tiga. Jangan lupa.”

“Jangan katakan jika kau berniat untuk menangguhkan bayaran yang harus kuterima,” tukas Juan Pablo dingin.

“Tentu saja tidak.” Jacob tertawa renyah, sebelum mengakhiri perbincangan itu.

“Sialan kau, Jacob!” umpat Juan Pablo jengkel. Rasa tak sukanya terhadap pria bermata hijau asal Swedia itu kian bertambah. Jika bukan karena saran Pedro yang mengatakan agar dia menahan diri, Juan Pablo sudah menghabisinya sejak dulu.

Embusan napas berat dan dalam, meluncur dari bibir Juan Pablo. Dia melihat arloji di pergelangan kiri, sebelum menyalakan mesin mobil. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 14.30. Artinya, Juan Pablo memiliki waktu tiga puluh menit, hingga dirinya tiba di markas Killer X.

Sesuatu yang sangat Juan Pablo sayangkan. Dia harus mengakhiri pengamatan terhadap gadis berambut cokelat, yang masih duduk bersama kedua orang tuanya. Juan Pablo melajukan Mustang hitam klasik-nya, meninggalkan area parkir mini market. Saat mobil yang Juan Pablo kendarai sudah melaju, Jonathan menoleh sekilas. Dia bahkan sempat melihat plat nomor kendaraan itu

Juan Pablo memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tak sampai setengah jam, dia sudah tiba di gurun tandus, yang menjadi lokasi markas Killer X. Setelah memarkirkan Mustang hitam miliknya di tempat biasa, pria tampan berdarah Meksiko tersebut melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Di dekat tebing batu, tampak seorang pria yang sudah menunggu kedatangan Juan Pablo. Dia adalah Elijah Dalbert, ajudan kepercayaan Jacob. Meski begitu, kenyataannya Elijah tidak terlalu setia. Jika bukan karena uang, sudah sejak dulu dirinya meninggalkan Jacob yang dinilai sangat menyebalkan.

“Kau tahu apa yang akan Jacob bicarakan denganku?” tanya Juan Pablo datar.

“Entahlah, Juan. Aku hanya disuruh menunggumu di sini,” jawab Elijah, pria muda berambut pirang. Posturnya tak jauh lebih tinggi dibanding Juan Pablo.

Juan Pablo tak segera beranjak dari tempatnya berdiri. Dia menatap lekat Elijah, yang tampak sedikit kikuk. Bagaimana tidak? Sorot mata pria tampan yang memiliki tinggi 187 cm itu terlihat sangat tajam, bagai seekor elang yang tengah mengintai buruannya.

“Um … baiklah.” Elijah semakin mendekat ke hadapan Juan Pablo. “Setahuku, Jacob tadi membahas tentang seseorang bernama Jonathan Fletcher. Namun, aku tidak menyimak sampai selesai. Agar lebih jelas, sebaiknya langsung saja temui dia.”

Lagi-lagi, Juan Pablo hanya terpaku dengan tatapan yang sama, setelah mendengar penjelasan Elijah. Tanpa ada reaksi apa pun, si pemilik mata hazel tadi berlalu meninggalkan pria berambut pirang yang langsung mengikutinya.

Setelah berada di dalam, Juan Pablo bergegas menuju ruangan milik Jacob. Tanpa permisi terlebih dulu, dia langsung masuk ke sana. Juan Pablo melangkah gagah ke dekat kursi, di mana Jacob berada. “Jangan buang-buang waktu. Aku sangat lelah,” ujar Juan Pablo, tanpa basa-basi.

“Hey, bersantailah sejenak,” ujar Jacob tenang. Dia menurunkan kaki dari meja, lalu mempersilakan Juan Pablo agar duduk. “Biar kuambilkan minum untukmu,” ucapnya lagi.

“Tidak usah. Aku ingin segera pulang,” tolak Juan Pablo dingin.

Jacob yang sudah menyiapkan dua botol bir, langsung menoleh. “Bukankah sudah kukatakan, bahwa kita akan merayakan keberhasilanmu dalam mengeksekusi Richard Bennett dan Abraham Moore?” Pria berambut pirang asal Swedia itu membawa botol bir tadi, kemudian meletakkannya di meja. “Minumlah dulu, Juan. Tenang saja, kita tidak akan sampai mabuk di sini.”

Juan Pablo tak menanggapi. Dia tak punya pilihan lain. Diambilnya botol berisi minuman beralkohol itu. “Bagaimana dengan bayaranku?” tanyanya, setelah menikmati beberapa tegukan.

Mendengar pertanyaan demikian, Jacob langsung tertawa renyah. “Astaga, Juan. Memangnya, sudah berapa tahun kau bekerja padaku? Apa selama ini aku pernah mengkhianatimu? Kenyataannya, bayaranmu selalu kau terima tepat waktu,” ujar pria asal Swedia tersebut, setelah meneguk isi dalam botol yang dia pegang.

“Setiap orang bisa saja khilaf dan berkhianat. Benar, kan?”

“Orang itu bukan aku,” sanggah Jacob segera. Dia membalas tatapan aneh Juan Pablo. Jacob seakan paham, akan makna sorot mata milik sang eksekutor.

“Ah, ya. Baiklah,” ucap Jacob kemudian. “Kau harus tahu kenapa aku sampai menggulingkan Melker dari kursi kekuasaannya. Alasanku hanya satu, yaitu ketidakbecusan dia dalam memimpin organisasi. Aku tidak menyukai caranya dalam mengambil keputusan, yang terlalu banyak pertimbangan dan … sangat membosankan. Ya! Bekerja pada Melker, sangatlah membosankan.”

Juan Pablo tak menanggapi. Dia hanya menaikkan sebelah alisnya, seraya kembali meneguk bir dalam botol.

“Intinya, kau tidak perlu merisaukan masalah uang. Lagi pula, klien kita sudah memberikan bayaran sesuai dengan yang apa yang telah disepakati di awal. Jangan khawatir, karena aku tak akan menikmati uang itu seorang diri,” jelas Jacob tenang.

“Tentu saja. Kau tahu bahwa akulah yang bekerja dalam hal ini. Seharusnya, aku mendapat bagian paling besar.” Juan Pablo kembali meneguk sisa bir dalam botol.

“Kau sudah tahu seperti apa pembagiannya. Kenapa jadi mempermasalahkan hal itu?”

“Kau memberiku tugas dengan risiko yang tidak main-main. Suatu saat nanti, aku pasti ditemukan. Mereka akan mengetahui siapa Elang Rimba sebenarnya. Saat itulah, posisiku tak akan senyaman sekarang. Kau tak akan peduli. Itu pasti. Kau bisa mencari sniper lain yang mungkin jauh lebih hebat dariku. Lalu, bagaimana dengan nasib Elang Rimba?” Juan Pablo menatap lekat Jacob. Sorot matanya tak pernah berubah. Selalu tajam dan mematikan.

Jacob tersenyum licik. Dia kembali mengangkat kedua kaki ke meja. Pria asal Swedia itu menikmati minumannya dengan begitu tenang. “Tak ada Elang Rimba yang lain. Bagiku hanya kau, Juan Pablo Herrera,” ujar pria itu terdengar meyakinkan.

Namun, pernyataan Jacob tadi tak membuat Juan Pablo terkesan. Dia justru menanggapi dengan senyum penuh cibiran.

“Aku punya penawaran menarik untukmu,” ujar Jacob lagi, seraya membetulkan sikap duduknya. “Aku sama sekali tidak menutup mata dari apa yang terjadi. Kau tahu Jonathan Fletcher? Dia memang sangat meresahkan. Banyak yang ingin menghabisinya. Namun, dia seperti memiliki sembilan nyawa. Licin bagaikan seekor belut.” Jacob tersenyum menyeringai.

Sedangkan, Juan Pablo hanya memicingkan mata.

“Aku yakin kau bisa menghabisi Jonathan Fletcher dengan sangat mudah. Jika dia hilang, maka tak ada lagi ancaman bagimu, Juan. Setelah kau berhasil menghabisinya, aku akan memberikan bayaranmu dua kali lipat.” Jacob merogoh saku kemejanya. Dia melemparkan selembar foto ke hadapan Juan Pablo, yang membuat pria itu diam terpaku.

Terpopuler

Comments

Aurizra Rabani

Aurizra Rabani

jacob pria yang licik

2023-12-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!