Killer X

“Las Vegas?” ulang Juan Pablo pelan, sampai tak terdengar oleh Pedro dan Jacob.

“Kenapa aku harus membawanya ke sana? Apa yang istimewa dari bocah kurus itu?” tanya Jacob. Bahasa Spanyol yang diucapkannya terdengar kaku. Dari ciri-ciri fisik pun, Jacob tak terlihat seperti orang Amerika Latin.

“Kau akan tahu sendiri nanti. Kita bisa mengasah kemampuannya,” jelas Pedro, seraya menoleh kepada Juan Pablo yang terlihat bingung. “Ikutlah dengan kami ke Las Vegas. Di sana, kau akan mendapatkan semua yang dirimu butuhkan,” ajak pria berkemeja putih tadi setengah membujuk.

Akan tetapi, Juan Pablo tak segera memberikan tanggapan. Dia tidak menolak atau menyetujui. Anak itu menatap penuh curiga kepada Pedro.

Melihat sikap yang Juan Pablo tunjukkan, membuat Pedro seakan memahami sesuatu. Pria itu sedikit membungkuk di hadapan anak dua belas tahun tadi. “Jangan takut, Juan. Kami tidak akan menyakitimu. Kami justru akan membantu mengasah kemampuan istimewa yang kau miliki. Percayalah.” Pedro meyakinkan Juan Pablo, agar bersedia menerima ajakannya.

“Benarkah, Tuan?” tanya Juan Pablo terdengar ragu.

Pedro langsung menanggapi dengan anggukan penuh keyakinan.

Juan Pablo diam terpaku beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk sebagai tanda setuju.

“Bagus,” ucap Pedro diiringi senyum puas.

......................

Keesokan harinya. Juan Pablo, Pedro, dan Jacob telah tiba di Las Vegas, setelah menempuh perjalanan udara sekitar tiga jam lebih. Dengan mobil jemputan yang sudah siap menunggu di bandara, ketiganya langsung melanjutkan perjalanan menuju suatu tempat yang membuat Juan Pablo berdecak kagum.

Mustang merah klasik yang dikendarai sang sopir, berhenti di suatu tempat tersembunyi. Mereka keluar, lalu berjalan menyusuri gurun tandus, dengan tanaman khas yang tumbuh di sana. Keempat pria tadi terus menyusuri lahan tanpa jalan setapak di bawah terik matahari, hingga akhirnya tiba di dekat tebing batu cukup tinggi.

Jacob mengambil sesuatu dari saku jaketnya, yaitu berupa benda kecil mirip remote. Dia menekan salah satu tombol. Tak berselang lama, tebing batu tadi tiba-tiba bergeser.

“Ini seperti dalam film,” gumam Juan Pablo kagum.

“Mari masuk,” ajak Pedro. Dia mengikuti Jacob, yang lebih dulu berjalan melewati pintu masuk tadi.

Setelah berada di dalam, pintu masuk itu kembali tertutup rapat. Suasana menjadi sangat gelap. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Pria yang tadi menjadi sopir, lebih dulu melangkah hingga beberapa meter ke depan. Dia terdengar menghentakkan kaki sebanyak dua kali.

Tak berselang lama, tiba-tiba banyak titik cahaya yang menyala. Makin lama, suasana semakin terang. Cahaya itu berasal dari lampu-lampu bulat yang menempel di sepanjang dinding terowongan.

“Tempat apa ini?” desis Juan Pablo.

“Nanti kau juga akan tahu sendiri,” jawab Jacob. Suasana saat itu menjadi sangat terang, sehingga mereka bisa berjalan tanpa ada hambatan.

Mereka terus berjalan sampai terowongan berakhir di sebuah gerbang besi berukuran sangat besar. Jacob maju, lalu meletakkan telapak tangannya di tengah-tengah gerbang.

Terdengar suara berdenging yang memekakkan telinga, sebelum gerbang itu terbuka pelan dan memperlihatkan apa yang ada di baliknya. Siapa sangka, ternyata tebing batu tadi merupakan satu bangunan berupa markas, yang luas dan terdiri dari beberapa tingkat. Suasana di dalam sana terlihat sangat luar biasa, dengan berbagai peralatan canggih. Penerangan pun sangat memadai.

“Ayo, Juan,” ajak Pedro, karena Juan Pablo hanya terpaku menatap sekeliling. Anak itu tampak sangat takjub, termasuk saat melihat aktivitas orang-orang di sana. Mereka semua mengenakan buff masker hitam, dengan tanda ‘X’ warna merah, di bagian kanan penutup wajah itu.

Juan Pablo tersadar. Dia langsung menoleh, lalu mengangguk. Si pemilik mata hazel tadi kembali berjalan mengekor Pedro dan Jacob, hingga tiba di depan pintu besi lain.

Jacob tampak menekan beberapa kombinasi angka. Sesuatu yang tak luput dari pengamatan Juan Pablo. Saat pintu besi tadi terbuka, tampaklah satu ruangan dengan beberapa peralatan canggih di dalamnya.

“Selamat datang di markas besar Killer X. Kami merupakan aliansi pembunuh bayaran nomor satu di Amerika. Asal kau tahu Juan, semua orang mungkin mengetahui tempat ini. Namun, tak ada seorang pun yang berpikir, bahwa di dalam tebing batu terdapat sebuah markas rahasia. Kau menjadi salah satu yang beruntung, karena bisa masuk kemari. Kau tahu apa artinya Juan?” Pedro menatap lekat Juan Pablo yang masih terlihat kebingungan.

“Siapa pun yang masuk kemari, artinya telah resmi menjadi anggota kami,” ujar Jacob, seraya berjalan mendekat kepada Juan Pablo. “Apa kau bisa bicara Bahasa Inggris?” tanyanya.

Juan Pablo menggeleng.

“Baiklah. Itu bukan hal sulit.” Sepasang mata hijau Jacob menatap tajam Juan Pablo. “Pedro sudah mengatakan semua padaku. Mari buktikan, bahwa kau memang layak menjadi bagian dari Killer X.” Jacob berbalik, kemudian melangkah ke dekat meja. Dia membuka salah satu laci, lalu mengambil senjata api jenis double action revolver berkaliber 38.

Jacob kembali ke hadapan Juan Pablo. Pria berambut pirang dengan iris mata hijau itu menyodorkan senjata api tadi, pada anak dua belas tahun tersebut. “Tunjukkan padaku, Nak,” ucapnya pelan, tapi bernada penuh tantangan.

Juan Pablo menatap senjata api tadi untuk beberapa saat, sebelum menerimanya. Saat sudah menggenggam gagang revolver tadi, dia belum juga mengatakan apa pun. Juan Pablo justru membolak-balik senjata yang Jacob berikan.

“Ikuti aku,” ajak Jacob. Dia melangkah lebih dulu ke ruangan lain, yang masih menyatu dengan ruangan tadi.

Juan Pablo kembali dibuat takjub, dengan ruangan yang baru dirinya masuki. Itu merupakan area untuk berlatih menembak. Di sana, terdapat beberapa objek sasaran yang sudah dipasang dalam jarak beragam.

“Ada empat peluru dalam senjata itu. Aku ingin kau menghabiskannya, tanpa membuang percuma. Kau paham maksudku, Nak?” Nada bicara Jacob terdengar sangat mengintimidasi. Membuat Juan Pablo sedikit gugup. “Jawablah, jika kau memang memahami apa yang kukatakan,” ucap Jacob lagi.

“Iya, Tuan. Aku paham,” sahut Juan Pablo. Dia berusaha menguasai diri, agar tidak dikalahkan oleh rasa gugup yang hanya akan membuatnya kehilangan konsentrasi.

“Kalau begitu, lakukan. Jangan membuat Pedro kehilangan muka di hadapanku, karena telah membawa pecundang tak berguna.” Jacob tersenyum sinis. Dari awal, dia memang tak yakin dengan bakat yang Juan Pablo miliki, karena secara fisik anak itu tidak terlihat istimewa.

Juan Pablo tidak menanggapi. Dia sudah terbiasa menerima hinaan serta cercaan, selama berada di perkebunan tequila milik Ramos. Namun, si pemilik mata hazel berdarah Meksiko tersebut tak juga melakukan apa pun. Juan Pablo justru menoleh kepada Pedro, yang berdiri tenang beberapa langkah tak jauh darinya.

“Lakukan, Juan. Tunjukkan bahwa kau memang istimewa,” ucap Pedro, memberikan semangat kepada Juan Pablo.

Juan Pablo mengangguk dengan raut datar. Dia berdiri di tempat yang sudah ditentukan, sambil memusatkan perhatian pada sasaran yang akan dirinya bidik. Juan Pablo mengangkat tangan sejajar dengan dada. Keduanya lurus tertuju ke depan. Mengarahkan moncong senjata ke target.

Namun, Juan Pablo tak langsung menarik pelatuk. Bayangan menyedihkan saat dirinya menurunkan mayat Juliana dari pohon, dengan tali yang menjerat leher gadis tersebut, kembali hadir di pelupuk mata. Saat itulah, gemuruh dalam dada Juan Pablo meluap, menimbulkan tekanan yang sangat besar. Dia langsung menarik pelatuk. Sebutir peluru melesat cepat, menembus sasaran dengan tepat.

Terpopuler

Comments

Aurizra Rabani

Aurizra Rabani

hebat

2023-12-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!